tag:blogger.com,1999:blog-17374463026118614862024-03-12T17:53:58.889-07:00Catatan DidaMerangkai kata, menuai maknaDidahttp://www.blogger.com/profile/02077373309792184119noreply@blogger.comBlogger86125tag:blogger.com,1999:blog-1737446302611861486.post-88641753345603009122019-05-01T15:19:00.001-07:002019-05-01T15:47:29.877-07:00Mengenang Ibu<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt;">
<div style="font-stretch: normal; line-height: normal;">
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt;">
<span style="font-family: inherit;">“Geura bobo atuh. Ibu mah teu nanaon,” kata Ibu sambil terbaring dan beristigfar. Karena rasa kantuk tak tertahan, saya pun tertidur di klinik tapi salah satu teteh saya tetap terjaga. Saya tak pernah berpikir bahwa itu merupakan pesan terakhir Ibu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt;">
<span style="font-family: inherit;">Ibu adalah orang yang paling berpengaruh bagi kami, anak-anaknya. Sepertinya secara umum memang dalam sebuah keluarga, faktor yang paling berperan secara psikologis bagi anak-anak adalah ibu. Bagi saya sendiri, Ibu lebih dari itu. Ia teman curhat yang sebenarnya. Sering saya menelepon Ibu untuk sekadar bertanya kabar dan mengobrol, mengobrol tentang apa pun. Ada satu nasihatnya yang selalu tebersit: “Pokokna mah tulung tinulung bae.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt;">
<span style="font-family: inherit;"></span></div>
<a name='more'></a><span style="font-family: inherit;">Semasa hidupnya yang coba saya ingat-ingat, Ibu memang orang yang selalu mengajarkan kepedulian kepada siapa pun. Ia memang tak pernah berpesan secara eksplisit tapi hal tersebut tak pernah luput dari perhatian saya. Banyak sepupu/saudara yang sempat ia asuh. Karena itu, saya tidak kaget ketika banyak orang datang bertakziah ke rumah. Bagi saya, perihal kepedulian ini sangat membekas.</span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt;">
<span style="font-family: inherit;">Ketika Ibu pergi, saya tak kuasa menahan tangis meski saya sadar bahwa kami, anak-anaknya, harus ikhlas melepasnya. Ikhlas melepas Ibu ini seumpama ikhlas Ibu merelakan saya pergi ke Jakarta. Bila hendak berangkat, Ibu selalu mencium kedua pipi saya dan mengantar sampai ke depan rumah. Teladan itu selalu saya tiru.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt;">
<span style="font-family: inherit;">Sampai saat ini, saya masih ingat bagaimana Ibu mendidik semasa Sekolah Dasar (SD). Sewaktu usaha warung makan, saya sering diminta Ibu untuk mencuci beras dan memeras kelapa untuk nasi uduk. Tak hanya itu, Ibu sering minta saya mencuci piring dan menyapu halaman. Bahkan, saya diajarkan untuk mencuci baju sendiri.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt;">
<span style="font-family: inherit;">Sepulang mengaji dari bibi, saya bersama kakak selalu mengangkut air dari dapur ke warung di depan rumah. Kami berdua membantu Ibu mempersiapkan masakan untuk warung makannya. Mempersiapkan air dan hal-hal yang kira-kira bisa kami bantu sampai pukul sembilan malam. Karena itu, secara personal saya begitu dekat dengannya.</span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEivALLULfLk_D_axS1TUG-ZWW-wNfLgJRBZogwu2SuHJHoCzGCFhxLIMqWrpO__wzJWMU-wR9xWilFu1KZ48C0dKuZfNQZdbXDJ-H7MoXPhk_Nh251M8PT5pXxyhRanvmUcdKYh3HtOdTA/s1600/58608380_10217973968923853_5619665463559585792_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="720" data-original-width="960" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEivALLULfLk_D_axS1TUG-ZWW-wNfLgJRBZogwu2SuHJHoCzGCFhxLIMqWrpO__wzJWMU-wR9xWilFu1KZ48C0dKuZfNQZdbXDJ-H7MoXPhk_Nh251M8PT5pXxyhRanvmUcdKYh3HtOdTA/s320/58608380_10217973968923853_5619665463559585792_n.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Ibu bersama saya (2017)</td></tr>
</tbody></table>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt;">
<span style="font-family: inherit;">Namanya Uju Juz’aniah, lahir di sebuah kampung yang mungkin bisa dikatakan terpencil pada masanya, Kadugedong. Letaknya di Pandeglang, Banten. Setahu saya, Ibu dibesarkan dalam keluarga religius dan bergaul di lingkungan keagamaan. Semasa hidupnya, Ibu sering bercerita tentang masa kecilnya yang penuh dengan perjuangan dan kerja keras untuk menempuh pendidikan walaupun Ibu hanya tamatan Sekolah Rakyat (SR).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt;">
<span style="font-family: inherit;">Pernah ia marah kepada saya dan kakak karena kami malas belajar. Omelan Ibu itu masih saya ingat betul sampai sekarang: “Yang gak sekolah ingin sekolah. Ini yang sudah sekolah malah malas sekolah.” Ibu bukan orang yang mengharapkan anaknya menjadi juara kelas atau unggul di antara yang lain tapi ia hanya ingin anaknya rajin belajar apa pun profesinya nanti. Sepertinya ini filosofi yang sangat mendasar untuk siapa pun.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt;">
<span style="font-family: inherit;">Ia selalu mengajarkan kami agar senantiasa berbuat baik dan bersyukur. Saya tak tahu mengapa Ibu sering menyampaikan hal ini berulang-ulang. Belakangan saya mulai sadar: Ibu merupakan pribadi yang sederhana dan hidupnya tidak neko-neko.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt;">
<span style="font-family: inherit;">Dalam beberapa kesempatan ke luar negeri, saya pasti menelepon Bapak dan Ibu untuk berkabar. Setiap kali saya tanya Ibu untuk oleh-oleh, dia pasti jawab: “Naon nyah. Entoslah anu penting mah salamet di jalan. Ibu mah entos bersyukur.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt;">
<span style="font-family: inherit;">Saya paham bahwa sebelumnya Ibu tak pernah membayangkan anaknya ke luar negeri tapi jawabannya, bagi saya, terasa begitu tulus. Pernah sepulang dari Sri Lanka (2012), Ibu langsung menangis dan memeluk saya sambil berkata: “Anak aing balik deui (ti luar negeri).”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt;">
<span lang="IN" style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt;">
<span lang="IN" style="font-family: inherit;">Pengalaman berharga lain yang saya ingat dari Ibu adalah pesannya tentang kejujuran. Dalam agama-agama, kejujuran adalah perihal mendasar. Sebab, firman Tuhan tak mungkin disampaikan melalui lisan si pembohong. Karena itu, dalam Islam, di antaranya, Nabi Muhammad adalah orang yang jujur dalam hidupnya sehingga mendapat kepercayaan masyarakat dan gelar dengan <i>al-am</i></span><i style="font-family: inherit;"><span lang="IN">î</span></i><i style="font-family: inherit;"><span lang="IN">n </span></i><span lang="IN" style="font-family: inherit;">(orang yang terpercaya).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt;">
<span style="font-family: inherit;">Ibu tentu tak bisa menjelaskan konsep kejujuran dalam agama-agama itu. Tapi, ia sering berpesan tentang itu. Pada 2004, saya mengabdi di sebuah pondok pesantren di Pandeglang. Dalam masa pengabdian itu, tidak ada insentif. Kalaupun ada, ala kadarnya. Ibu tahu hal tersebut tapi malah berpesan agar tetap mempertahankan kejujuran dalam hidup. Saya tak ingat persis perkataannya tapi pada intinya, kalau kita jujur, rezeki mah bakal ada saja.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt;">
<span style="font-family: inherit;">Ibu memang meninggalkan kami semua pada 13 April 2019/07 Syakban 1440. Namun, pesan-pesannya pasti akan selalu kami ingat dan teladannya pasti akan kami amalkan. Tulisan ini hanya sebagian kecil saja dari apa yang telah Ibu berikan. Tulisan ini hanya sekadar ungkapan rindu kepada Ibu. Terima kasih, Ibu.</span></div>
</div>
</div>
</div>
Catatan Didahttp://www.blogger.com/profile/16323248210928419446noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-1737446302611861486.post-35171187679938792532018-12-18T05:40:00.000-08:002018-12-18T05:42:13.122-08:00Cinta Lakshmi untuk Gayatri<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal; text-align: left;">
<span style="font-family: inherit;">Perempuan dan pembalut adalah dua hal tak terpisahkan. Ke mana pun ia pergi, pembalut akan setia menemaninya. Sebentar! Status iseng ini tak hendak menggambarkan bahwa saya orang yang benar-benar paham persoalan-persoalan perempuan. Ini hanya sekadar pelajaran yang saya ambil dari sebuah film India dibintangi Akshay Kumar, <i>Pad Man</i> (2018).</span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal; text-align: left;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal; text-align: left;">
<span style="font-family: inherit;">Saya tahu film ini dari idola saya, </span><a href="https://www.facebook.com/maio.sunyroh?__tn__=%2CdK-R-R&eid=ARDugO1WadcN-mUB70zUgDjM6AkHrshlrlC3KRndIJYukemENUew43ljheWQs_szVI17vX9hikLXeTUU&fref=mentions" style="font-family: inherit;" target="_blank"><span style="color: #e4af09;">Mariyo Suniroh</span></a><span style="font-family: inherit;"> yang mengabdikan hidupnya ke dalam kerja-kerja kebudayaan. Kak Mariyo adalah pengampu Angkringan Gondrong (Anggon)—sebuah nama yang diambil dari penampilannya meski ia sekarang tak lagi gondrong. Alasannya tak lagi gondrong … entahlah. Mungkin kita perlu bertanya langsung kepadanya.</span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal; text-align: left;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal; text-align: left;">
<span style="font-family: inherit;"></span></div>
<a name='more'></a><span style="color: #454545; font-family: inherit;">Di angkringan, kami biasanya menghindari obrolan-obrolan politik meski sering tak terhindarkan. Jenuh! Pada akhirnya, kami berusaha membahas isu-isu kebudayaan walaupun kami sadar bahwa kami bukan siapa-siapa. “Kita mah apa atuh!”</span><br />
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal; text-align: left;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal; text-align: left;">
<span style="font-family: inherit;">Kita balik lagi ke soal film. Seingat saya, ini film pertama Akshay Kumar yang saya tonton sampai habis. Saya tahu dia tapi tak pernah menonton filmnya secara serius. Selain film ini, ada film yang dibintanginya yang saya tahu dari Pak </span><a href="https://www.facebook.com/budhymunawar.rachman.7?__tn__=,dK-R-R&eid=ARBGgsRn3yEwBW6aWRP2Kjj5L" style="font-family: inherit;" target="_blank"><span style="color: #e4af09;">Budhy Munawar Rachman</span></a><span style="font-family: inherit;"> melalui status Facebook-nya, <i>Toilet: A Love Story</i> (2017).</span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal; text-align: left;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiCizUEwtgj8GqPVgHVCWL5qAwBh4AofuDEa72mQKSfNa3T8J7GSh_wXznQcetdoThyphenhypheneTa3hjx70x-nCQo5jWsngtVVtWqU0wy3tD-d3g5yRdVYt_cZW80FOQwCc1UzZadyoBGaQ7fF6fU/s1600/Akshay_Kumar_and_Siddharth_Malhotra_with_suresh_sharma.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="900" data-original-width="1600" height="180" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiCizUEwtgj8GqPVgHVCWL5qAwBh4AofuDEa72mQKSfNa3T8J7GSh_wXznQcetdoThyphenhypheneTa3hjx70x-nCQo5jWsngtVVtWqU0wy3tD-d3g5yRdVYt_cZW80FOQwCc1UzZadyoBGaQ7fF6fU/s320/Akshay_Kumar_and_Siddharth_Malhotra_with_suresh_sharma.JPG" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Akshay Kumar (Sumber: Wikimedia Commons)</td></tr>
</tbody></table>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal; text-align: left;">
<span style="font-family: inherit;">Film tersebut bercerita tentang pentingnya sebuah toilet dalam rumah tangga. Sepele ya? Memang sepele sih tapi itu persoalan serius di India. Gara-gara absennya toilet dalam rumah tangga, para perempuan di India harus pergi ke kebun pada malam hari untuk buang hajat. Hal ini juga menjadi salah satu faktor tingginya tingkat pemerkosaan di sana. Cerita dalam <i>Pad Man</i> pun punya pola yang kurang lebih sama. Ceritanya fokus pada isu perempuan (dan pembalut).</span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal; text-align: left;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal; text-align: left;">
<span style="font-family: inherit;">Di India, dari sekian jumlah populasinya yang tinggi, hanya sebagian kecil perempuan yang menggunakan pembalut. Saya lupa persisnya. Di desa-desa, para perempuan enggan menggunakannya. Sehingga, kalau datang bulan, perempuan gak ke mana-mana. Ia hanya akan berdiam diri di rumah seakan-akan terkena kutukan. Bahkan, sang suami tak boleh menyentuhnya karena alasan kesucian.</span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal; text-align: left;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal; text-align: left;">
<span style="font-family: inherit;">Ini yang melatarbelakangi Lakshmi yang miskin membuat sendiri pembalut untuk istrinya, Gayatri.</span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal; text-align: left;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal; text-align: left;">
<span style="font-family: inherit;">Saya gak mau bercerita panjang karena takut jadi bocoran. Pada intinya, film yang disutradarai R. Balki ini diadaptasi dari kisah Arunachalam Muruganantham. Ya ... tentunya ada adegan-adegan yang ditambahkan agar drama komedinya menghibur. Namanya juga film. Tapi, secara umum pesannya menggugah kesadaran kita. Karena itu, </span><span style="font-family: inherit;">yang belum menonton sebaiknya menonton.</span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal; text-align: left;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal; text-align: left;">
<span style="font-family: inherit;">Tontonlah film India sebelum film India semakin bagus!</span></div>
</div>
Catatan Didahttp://www.blogger.com/profile/16323248210928419446noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1737446302611861486.post-78725113358277587312018-12-18T05:14:00.003-08:002018-12-18T05:18:58.398-08:00Tak Ada Anak yang Dungu<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal; text-align: left;">
<span style="font-family: inherit;"><a href="https://www.imdb.com/title/tt0986264/" target="_blank">Film</a> ini saya tonton di masa libur Lebaran. Ceritanya tentang seorang anak yang mengidap disleksia, semacam gangguan penglihatan dan pendengaran yang disebabkan kelainan saraf pada otak sehingga anak sulit membaca. Terus terang, saya “terlambat” menontonnya.</span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal; text-align: left;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal; text-align: left;">
<span style="font-family: inherit;">Film yang dibintangi dan disutradarai Aamir Khan ini bagus karena memberikan kita kesadaran bahwa pada hakikatnya tak ada anak yang dungu. Yang ada hanyalah tipe kecerdasan yang unik pada setiap anak. Ketika santri, misalnya, saya temukan di antara teman-teman yang kuat di matematika tapi lemah di hafalan, yang lemah di hampir semua mata pelajaran tapi main musiknya berbakat sekali, dan sebagainya.</span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal; text-align: left;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal; text-align: left;">
<span style="font-family: inherit;"></span></div>
<a name='more'></a><span style="color: #454545; font-family: inherit;">Kembali sejenak ke masa lebih jauh. Waktu kecil, saya pernah menemukan seorang teman yang sulit sekali belajar mengaji (huruf Arab). Padahal, ia rajin sekali belajar. Bahkan, ia mungkin lebih rajin dari yang lain. Namun, sayangnya ia tak melanjutkan belajar mengajinya karena tak tahan ejekan teman-teman dan gurunya.</span><br />
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal; text-align: left;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal; text-align: left;">
<span style="font-family: inherit;"></span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal; text-align: left;">
<span style="font-family: inherit;">Adik bungsu saya juga sempat bercerita. Di kelas 3 SD, ia sulit sekali membaca karena setiap huruf yang ada di kepalanya sering terbalik, seperti apa yang digambarkan dalam film. Ia pun sering disetrap dan ibu gurunya terpaksa datang ke rumah untuk menemui Ibu. Meski begitu, Ibu tidak pernah marah karena tahu si bungsu bukan pemalas. Ia malah meminta Bapak membeli papan tulis dan meminta teteh pertama saya mengajarinya secara perlahan setiap hari sampai ia bisa membaca dengan baik.</span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal; text-align: left;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgrrB7ieTRk5HJwH0LD8f0iOLsKGdm_C-E-UG1N0-FMA8utHr-xbpFu5SaKVotRrQbdboCRmhZvLbHHNArONC98SH0KdKKcIP0dY1TxcYiUbnX0v0zBEX-1ubmXjhp0AvzDhBdOXzbbqFQ/s1600/Taare-zameen-par-samir-mondal-watercolor-painting.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="1106" data-original-width="1500" height="235" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgrrB7ieTRk5HJwH0LD8f0iOLsKGdm_C-E-UG1N0-FMA8utHr-xbpFu5SaKVotRrQbdboCRmhZvLbHHNArONC98SH0KdKKcIP0dY1TxcYiUbnX0v0zBEX-1ubmXjhp0AvzDhBdOXzbbqFQ/s320/Taare-zameen-par-samir-mondal-watercolor-painting.JPG" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Sumber: Wikimedia Commons</td></tr>
</tbody></table>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal; text-align: left;">
<span style="font-family: inherit;">Setelah menonton film itu, saya langsung sadar bahwa itu semua masalah disleksia dan masalah disleksia bukan masalah sederhana. Jika tidak ditangani, akan berdampak buruk pada mental si anak. Setiap orang perlu tahu gejala ini.</span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal; text-align: left;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal; text-align: left;">
<span style="font-family: inherit;">Terakhir, saya ingin mengutip ungkapan Pak </span><a href="https://www.facebook.com/budhymunawar.rachman.7" style="font-family: inherit;" target="_blank"><span style="color: #e4af09;">Budhy Munawar Rachman</span></a><span style="font-family: inherit;">, “Tontonlah film India sebelum film India semakin bagus.”</span></div>
</div>
Catatan Didahttp://www.blogger.com/profile/16323248210928419446noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1737446302611861486.post-28109992984068921792018-12-08T10:27:00.000-08:002018-12-08T10:28:48.955-08:00Catatan Paruh Waktu tentang Islam di Hati dan Pikiran Bung Karno<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal;">
<span style="font-family: inherit;">“... apa yang kita “<i>cutat</i>” dari Kalam Allah dan Sunah Rasul itu? Bukan apinya, bukan nyalanya, bukan! Abunya, debunya, ah ya, asapnya!”</span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal;">
<span style="font-family: inherit;">Bung Karno, pada masa pembuangannya di Ende, pertama kali mengirim surat kepada A. Hassan pada 01 Desember 1934. Dalam surat tersebut, ia minta dihadiahi beberapa buku. Di antaranya, pengajaran salat dan sebuah risalah tentang “sayid”.</span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal;">
<span style="font-family: inherit;">“Ini buat saya bandingkan dengan alasan-alasan saya sendiri tentang hal ini. Walaupun Islam zaman sekarang menghadapi soal-soal yang beribu-ribu kali lebih besar dan lebih sulit daripada soal “sayid” itu, maka toh menurut keyakinan saya, salah satu kecelaan Islam zaman sekarang ini, ialah pengeramatan manusia yang menghampiri kemusyrikan itu,” tulisnya ketika itu.</span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal;">
<span style="font-family: inherit;"></span></div>
<a name='more'></a><span style="color: #454545;"><span style="font-family: inherit;">Sepertinya saat itulah titik balik Bung Karno mendalami ajaran-ajaran Islam. Ia mulai membaca berbagai macam pemikiran yang berkembang, yang dari sana muncul kesadaran bahwa dunia Islam sedang tertinggal. Ia pun menulis beberapa artikel mengkritik kejumudan berpikir umat Islam.</span></span><br />
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal;">
<span style="font-family: inherit;">Pada 1940, Bung Karno pernah menulis sebuah artikel berjudul “Masyarakat Unta dan Masyarakat Kapal Udara” di <i>Panji Islam</i>. Artikel tersebut lahir karena kegelisahan Bung Karno melihat mandeknya dinamika pemikiran yang terjadi di kalangan umat Islam. Ia menyampaikan bahwa semangat keislaman seharusnya bersifat dinamis.</span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal;">
<span style="font-family: inherit;">Masih pada 1940, Bung Karno juga pernah menulis artikel berjudul “Me-“muda”-kan Pengertian Islam” di media yang sama. Ia memaparkan bahwa reorientasi pemikiran Islam betul-betul diperlukan. Kita perlu kembali menyegarkan pemikiran Islam dan menyelidiki apakah kita benar-benar paham tentang Islam. Dari Islam yang selama ini kita paham, adakah yang perlu dikoreksi?</span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal;">
<span style="font-family: inherit;">Kira-kira begitulah inti dari apa yang disampaikannya. Jadi, Bung Karno dan Islam merupakan dua hal dari dinamika pemikiran dalam sejarah bangsa kita. Dalam pandangannya, Islam merupakan spirit pergerakan dan ide-ide pembaruan tentang gagasan kemajuan (kemodernan).</span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal;">
<span style="font-family: inherit;">Bagi Bung Karno, Islam adalah kemajuan. Artinya, Islam memiliki dasar-dasar ajaran atau roh yang menjadi bekal bersama untuk bisa merespons perkembangan zaman. Islam bukanlah agama yang kolot yang membuat umatnya terbelakang karena ajarannya. Sebab, umat Islam bukanlah masyarakat unta tetapi masyarakat kapal udara.</span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal;">
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-family: inherit;">Islam harus mampu menjawab tantangan yang ditawarkan oleh zaman. Dan untuk menghadirkan kembali masa-masa kejayaan Islam di masa lalu, Islam hari ini harus mampu dan berani mengejar zaman. Sebab, menurutnya, Islam </span><i style="font-family: inherit;">is progress</i><span style="font-family: inherit;">.</span></span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal;">
<span style="font-family: inherit;">Dalam soal ilmu pengetahuan, Bung Karno sebenarnya memiliki pandangan jauh ke depan tentang perkembangan dan kemodernan dalam Islam. Karenanya, ilmu pengetahuan merupakan hal yang sangat penting dalam memaparkan orientasi dari ajaran Islam sendiri.</span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal;">
<span style="font-family: inherit;">Tak kurang dari itu, keinginannya dalam mewujudkan sebuah paradigma berpikir logis, tidak taklid tetapi modern banyak ia tuangkan dalam berbagai tulisan. “Masyarakat Unta dan Masyarakat Kapal Udara” dan “Islam Sontoloyo” di antaranya.</span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal;">
<span style="font-family: inherit;">Kekolotan, kejahilan, kejumudan juga kemusyrikan karena percaya kepada azimat, mitos, takhayul dan lain sebagainya, menurut Bung Karno, sebenarnya akan membawa Islam pada kemunduran. Sebab, Islam sendiri bukan agama yang kolot. Bung Karno meyakini, jika Islam dipropagandakan dengan cara-cara yang masuk akal dan <i>up-to-date</i>, maka seluruh dunia akan sadar akan kebenaran Islam.</span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal;">
<span style="font-family: inherit;">Bung Karno yang memang seorang muslim modern juga rasionalis, secara tegas mengajak umat Islam untuk terus belajar dan menyerap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) kendatipun hal tersebut bukan terlahir dari produk Islam. Karena itu, ia sangat menentang tradisi/kultur taklid dalam Islam. Sebab, taklid itu sendiri merupakan tradisi pengajaran tanpa referensi yang logis dan mudah dipahami.</span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal;">
<span style="font-family: inherit;">Seorang muslim yang baik, dalam pandangannya, haruslah paham substansi dari ajaran Islam secara menyeluruh. Jika tidak, yang terjadi adalah penyempitan makna dari Islam yang sesungguhnya.</span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal;">
<span style="font-family: inherit;">Sependek bacaan saya terhadap catatan-catatan Bung Karno, pemikiran keislamannya berpijak pada ide-ide kemajuan (kemodernan). Pentingnya memudakan pengertian Islam yang telah disampaikannya merupakan sebuah gagasan yang menekankan bahwa pemikiran keagamaan harus menyesuaikan perkembangan zaman. Namun, sayangnya kondisi sekarang tidak berbanding lurus dengan apa yang dicita-citakan.</span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal;">
<span style="font-family: inherit;">Kritik-kritik Bung Karno atas kemandekan berpikir umat Islam sekarang sepertinya akan tetap relevan sampai kapan pun. Paling tidak, selama umat Islam belum bisa mengedepankan rasionalitas dan menghidupkan tradisi keilmuan.</span></div>
<div style="color: #454545; font-stretch: normal; line-height: normal;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-family: inherit;"><iframe allowfullscreen="" class="YOUTUBE-iframe-video" data-thumbnail-src="https://i.ytimg.com/vi/vPwLnVH0d8c/0.jpg" frameborder="0" height="266" src="https://www.youtube.com/embed/vPwLnVH0d8c?feature=player_embedded" width="320"></iframe></span></div>
</div>
Catatan Didahttp://www.blogger.com/profile/16323248210928419446noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1737446302611861486.post-40645589582239298052017-12-14T20:11:00.000-08:002017-12-14T18:55:28.811-08:00Membela Islam, Membela Kebebasan<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Islam dan kebebasan merupakan dua hal yang sampai saat
ini masih dibahas. Salah satu sebabnya, keadaan umat Islam di berbagai negara
secara umum yang masih alergi dengan apa disebut sebagai kebebasan atau
liberalisme dalam istilah lebih ilmiah.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span>
<span style="font-size: 12pt;">Liberalisme atau kebebasan dalam hal ini tentu perlu
dimaknai secara luas cakupannya. Kebebasan individu misalnya harus dimaknai
dalam konteks kebebasan yang tidak hanya bersifat kebebasan hidup secara umum
tapi juga kebebasan beragama, berekonomi, berpolitik dan sebagainya. Semuanya
bermuara pada kehendak individu yang ingin memilih jalan hidup yang
diidam-idamkannya.</span><br />
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<a name='more'></a></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Kebebasan itu sendiri ada yang bersifat negatif dan
positif (Berlin, 1969). Secara sederhana, kebebasan negatif berarti keadaan
setiap individu yang bebas dari gangguan atau intervensi orang lain. Sedangkan,
kebebasan positif berarti kehendak individu yang tidak hanya bebas dari
intervensi orang lain tapi juga memiliki cara untuk mewujudkan pilihan-pilihan
hidupnya. Hal ini merupakan dua konsep kebebasan yang begitu mendasar (hlm.
13-14).</span><br />
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="MsoNormal">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEirfN4NNg135LM8an0uTfTBwRH-6WknriyqdrPqfoLkhk8jvXdJTyXgi1pJ6ktejTgUW6CCdyQoXbEryanLuKaEvI-tRe8K-xP3Oo9DUcm-ieJztOHYrOD2eBUG7I-KjerSOJrxTdCSesw/s1600/25299719_10214090563281139_6364194885679821057_o.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="746" data-original-width="996" height="239" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEirfN4NNg135LM8an0uTfTBwRH-6WknriyqdrPqfoLkhk8jvXdJTyXgi1pJ6ktejTgUW6CCdyQoXbEryanLuKaEvI-tRe8K-xP3Oo9DUcm-ieJztOHYrOD2eBUG7I-KjerSOJrxTdCSesw/s320/25299719_10214090563281139_6364194885679821057_o.jpg" width="320" /></a></div>
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Dalam konteks sejarah Islam, kebebasan selalu terbentur
syariat. Setiap Muslim pasti meyakini bahwa syariat adalah jalan hidup yang
harus diterapkan setiap individu. Namun, persoalannya adalah apakah syariat itu
perlu diformalkan dalam sebuah tatanan masyarakat atau tidak. Tentunya, ketika
syariat diformalkan, ada konsekuensi-konsekuensi yang perlu ditanggung seperti kebebasan
untuk bermazhab dan sebagainya (hlm. 25-29).</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Abdullahi Ahmed An-Na’im (1990) mencatat, syariat pada
dasarnya bukanlah keseluruhan Islam itu sendiri. Namun, syariat merupakan
produk pemahaman atau interpretasi terhadap teks suci yang berkembang dalam
konteks sejarah tertentu.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">An-Na’im menekankan, syariat yang selama ini kita pahami
sebenarnya merupakan hasil ijtihad para ahli hukum perintis. Dengan demikian,
syariat bisa direkonstruksi sesuai dengan perkembangan zaman. Ia bersifat
dinamis, tak statis.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Proyek dekonstruksi syariat ala An-Na’im merupakan salah
satu usaha menyelaraskan syariat di masa lalu dengan kebebasan di dunia Islam
di masa kini. Karenanya, kita perlu pahami bahwa ide-ide kebebasan merupakan
sesuatu yang tak bisa dinafikan sejak masa Islam awal hingga masa kini.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Di kalangan filsuf, misalnya, ada Ibn Rusyd yang memiliki
proyek rasionalisme Islam di masa klasik. Di kalangan teolog, ada Muktazilah
yang menekankan pentingnya peran akal dalam rangka pengukuhan kebebasan
individu (hlm. 47-49).</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Dalam konteks sekarang, kebebasan masih menjadi pekerjaan
rumah yang rumit di dunia Islam. <a href="https://freedomhouse.org/sites/default/files/01152015_FIW_2015_final.pdf" target="_blank">Freedom House (2015)</a> menunjukkan, hampir tidak
ada negara yang kebebasannya terjamin di antara negara-negara Muslim.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Meski Tunisia, satu-satunya negara di dunia Arab, menjadi
harapan di mana indeks kebebasannya menjadi lebih baik setelah mengadakan
pemilu demokratis di bawah konstitusi baru, negara-negara tetangga lain, di
Timur Tengah dan Afrika Utara khususnya, masih berkutat dengan
peristiwa-peristiwa yang tidak menguntungkan. Artinya, kebebasan di
negara-negara Muslim masih menjadi tantangan yang besar.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Buku ini berhasil memotret secara sosiologis apa yang
menjadi halangan mendasar dari berbagai persoalan ini. Ditulis oleh para
akademisi yang berasal dari berbagai negara seperti Maroko, Pakistan dan AS,
buku ini menjadi kaya akan perspektif dalam membaca kenyataan yang ada di dunia
Islam. Dimulai dari diskursus klasik hingga yang bersifat kontemporer, kita
bisa mendapatkan keterpautan antara masa lalu dan masa kini.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Persoalan kebebasan berekonomi, misalnya, menjadi salah
satu pembahasan yang menarik. Sebab, kebebasan berekonomi di kawasan Timur
Tengah dan Afrika Utara bisa menjadi jalan menuju emansipasi perempuan. Hal ini
tentunya bukan sebuah omong kosong di negara yang budaya patriarkatnya begitu
kuat (hlm. 108-112).</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Dalam sejarah Islam, Khadijah merupakan contoh ideal. Ia
merupakan perempuan berkarier semasa hidupnya dan mempekerjakan Muhammad yang
kelak menjadi suaminya. Kisah Khadijah merupakan contoh berkebalikan dari
larangan kebebasan berekonomi bagi perempuan atas nama Islam.</span><br />
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span>
<span style="font-size: 12pt;">Judul</span><span style="font-size: 12pt;">: <b>Islam dan Kebebasan</b> I </span><span style="font-size: 12pt;">Penulis</span><span style="font-size: 12pt;">: <b>Nouh El Harmouzi & Linda Whetstone (Eds)</b> I </span><span style="font-size: 12pt;">Penerjemah: <b>Suryo Waskito</b> I </span><span style="font-size: 12pt;">Penerbit: <b>Suara Kebebasan</b> I </span><span style="font-size: 12pt;">Cetakan: <b>2017</b> I </span><span style="font-size: 12pt;">Tebal: <b>214 hlm.</b></span><br />
<br />
Catatan: Tulisan ini merupakan versi awal dari tulisan berjudul <span style="font-size: 12pt;">“<a href="http://www.koran-jakarta.com/perkembangan-pemahaman-kebebasan-dalam-islam/" target="_blank">Perkembangan Pemahaman Kebebasan dalam Islam</a>” di <i>Koran Jakarta</i> (13/12/2017).</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 107%;"><o:p></o:p></span></div>
</div>
Catatan Didahttp://www.blogger.com/profile/16323248210928419446noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1737446302611861486.post-12309795943000329572017-10-09T22:50:00.001-07:002017-10-09T22:53:46.507-07:00Petuah Sang Kiai<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Musyawarah besar (mubes) ketiga Ikatan Keluarga Alumni
Manahijussadat (IKAM) telah berlangsung pada Ahad, 24 September 2017, di Pondok
Pesantren Manahijussadat. Acara tersebut merupakan salah satu rangkaian dari
syukuran ulang tahun pondok yang kedua puluh, usia yang cukup dewasa bagi sebuah
lembaga pendidikan Islam.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Pondok yang didirikan pada 03 Agustus 1997 telah
menghasilkan ratusan alumni yang tidak hanya berkarier di Pulau Jawa. Ada yang
di Sumatra dan bahkan luar negeri. Karena itu, semakin tersebar jumlah alumni
semakin terbuka lebar peluang pondok untuk dikenal di masyarakat luas. Meski
begitu, tantangan justru akan semakin besar entah bagi pondok maupun alumninya
sendiri. Hal ini tentunya konsekuensi logis dari tuntutan zaman.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"></span></div>
<span style="font-size: 12pt;"></span><br />
<a name='more'></a>Diadakannya mubes IKAM merupakan sebuah langkah penting
pondok untuk terus menjalin ikatan kekeluargaan di antara alumni dalam
merespons hal tersebut. Ini terbukti dari visi organisasi alumni yang selalu
berusaha menjadi wadah berkomunikasi di mana pun mereka berada.<br />
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Di sela-sela acara mubes yang dijadwalkan pada pukul
09.00 WIB, ada kesan yang menarik. Mulai dari sambutan Ketua IKAM yang kini
demisioner, Ustadz Nasrun Saragih, sampai acara pemilihan ketua baru, suasana
begitu asyik karena berkumpulnya alumni dari angkatan tertua hingga angkatan
termuda meski tak semuanya. Kami sempat berbincang sambil bersenda gurau.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Dari rangkaian acara mubes, ada hal yang begitu penting
untuk disimak kembali. Yaitu pesan-pesan Pak Kiai, KH Sulaiman Effendi, untuk
alumni dalam sambutannya. Pak Kiai memang tidak mengatakan apa yang
disampaikannya sebagai nasihat atau wejangan secara eksplisit. Namun, ia hanya
berbagi pengalamannya sebagai guru yang pernah jatuh-bangun mendirikan sebuah
lembaga pendidikan semacam pondok pesantren.</span><br />
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhGmXPP8k9arH4FCY1C5PhcFLVmTEsO1mr0uDx3n9CgzBVIUrCO5n44ROjM3dUawBw7aFzvV_CB0eLBUF9ZC4Vlx5xyBflGCoeVsfj6Fn3TBUqFGGVAZ_1Q4rvhYXngj1D73Djl-oescj4/s1600/21950656_226266774570801_4353265911388311609_o.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="720" data-original-width="1080" height="265" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhGmXPP8k9arH4FCY1C5PhcFLVmTEsO1mr0uDx3n9CgzBVIUrCO5n44ROjM3dUawBw7aFzvV_CB0eLBUF9ZC4Vlx5xyBflGCoeVsfj6Fn3TBUqFGGVAZ_1Q4rvhYXngj1D73Djl-oescj4/s400/21950656_226266774570801_4353265911388311609_o.jpg" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Pak Kiai sedang menyampaikan sambutannya.</td></tr>
</tbody></table>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Hal ini mungkin cermin dari sikapnya yang rendah hati dan
menganggap alumni sebagai teman dialog yang sejajar. Sehingga, dalam proses
mubes, ia bersedia mendengarkan setiap pendapat dari murid-murid yang ia ajar
dahulu. Bagi saya, pengalaman tersebut sangat berharga yang mana seorang guru
yang kami segani mau bertukar pikiran.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Ada sembilan hal yang ia sampaikan dalam sambutannya.
Namun, esai ini merangkumnya menjadi empat hal yang begitu penting. </span><i style="font-size: 12pt;">Pertama</i><span style="font-size: 12pt;">, perlunya menggali potensi diri.
</span><i style="font-size: 12pt;">Kedua</i><span style="font-size: 12pt;">, optimisme. </span><i style="font-size: 12pt;">Ketiga</i><span style="font-size: 12pt;">, memaafkan. </span><i style="font-size: 12pt;">Keempat</i><span style="font-size: 12pt;">, </span><i style="font-size: 12pt;">al-tasamuh</i><span style="font-size: 12pt;">
(toleransi).</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Sebelum ke sana, ada sesuatu yang perlu kita perhatikan.
Pak Kiai mengawali sambutannya dengan sebuah pertanyaan “basa-basi” terkait
berapa panjang Pulau Jawa yang kami tempati. Ketika itu, kami bingung sambil
mengingat-ingat.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Tak lama, ia menjawab sambil tersenyum, “1.000 kilometer.”
Ia mengaku tahu hal tersebut karena membaca sebuah novel sejarah yang ditulis
salah satu sastrawan besar yang dimiliki bangsa Indonesia, Pramoedya Ananta
Toer.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Pak Kiai sempat menyinggung secara singkat isi dari novel
sejarah yang ditulis Pramoedya itu, </span><i style="font-size: 12pt;">Jalan
Raya Pos, Jalan Daendels</i><span style="font-size: 12pt;">, dengan menyebut Anyer dan Panarukan sebagai dua
tempat bermula dan berakhir jalan yang dibangun Daendels.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Dari persinggungannya dengan karya Pramoedya, kita bisa
mengambil pelajaran bahwa membaca pada dasarnya merupakan sebuah kebutuhan. Pak
Kiai pada usianya yang di atas 50 masih memenuhi dahaga intelektualnya meski
hal tersebut mungkin hanya dilakukannya di waktu senggang. Apalagi, bacaan
tersebut tidak terkait dengan statusnya sebagai pimpinan pondok. Karena itu,
membaca merupakan sesuatu yang dibutuhkan siapa saja.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Setelah menyinggung secara singkat karya Pramoedya, Pak
Kiai mulai menyampaikan petuahnya. Dalam soal menggali potensi diri, ia
berpesan agar alumni mampu berkiprah di masyarakat sesuai dengan kemampuannya </span><i style="font-size: 12pt;">tanpa pamrih</i><span style="font-size: 12pt;">. Tampaknya, Pak Kiai sadar
dalam hal ini bahwa tidak setiap orang berminat menjadi guru. Ada yang
berdagang, bekerja di kantor dan sebagainya. Apa pun profesinya, pesannya
adalah menggali potensi diri.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Pesan yang disampaikan Pak Kiai tentang menggali potensi
diri berangkat dari sebuah adagium yang begitu terkenal di kalangan santri:
“Celakalah orang yang tidak tahu potensinya.” Dengan ungkapan yang lebih populer
sekarang, kita tidak akan bisa bersaing kalau kita tidak mau mengembangkan apa
yang bisa kita lakukan.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Dalam hal kedua, Pak Kiai berpesan bahwa hidup harus
optimis. Kata “optimisme” memang sering kita dengar, apalagi kata tersebut
adalah kata yang sering dipakai para motivator. Namun optimisme yang
disampaikan Pak Kiai terdengar begitu berbeda. Sebab, kata tersebut disampaikan
seorang guru yang memang telah melewati fase-fase perjuangan. Sehingga, kata
tersebut bukanlah sebuah omong kosong.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Kita perlu garis bawahi bahwa optimisme di sini harus
dibarengi sebuah keyakinan berdasarkan semangat Alquran (Qs. 29:09): “Dan
orang-orang yang berjihad [bersungguh-sungguh] di jalan Kami, benar-benar akan
Kami tunjukkan kepada mereka jalan Kami dan sesungguhnya Allah bersama
orang-orang yang berbuat baik.”</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Menurut Pak Kiai, apa yang telah ia capai sekarang adalah
hasil jerih payahnya di masa lalu. Ia bahkan sempat bercerita tentang
kegalauannya mendirikan Manahijussadat di mana jumlah santri awal tidak sesuai dengan
yang dibayangkannya. “Namun, berbekal keyakinan,” akunya, “pondok pesantren ini
bisa berkembang sampai sekarang.”</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Dalam hal ketiga, Pak Kiai menyampaikan pentingnya
memaafkan. Memaafkan memang sesuatu yang mudah dikatakan namun sulit dilakukan.
Bahkan, Tuhan pun memaklumi perasaan orang yang tersakiti. Sehingga, kejahatan
yang dibalas dengan hukuman atau perlakuan yang sama tetap dibolehkan. Meski
demikian, memaafkan adalah jalan yang terbaik. Hal tersebut merupakan prinsip
etis Alquran.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Pak Kiai pun mengutip sebuah ayat Alquran (Qs. 42:40): “…
maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas [tanggungan] Allah.
Sesungguhnya Ia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” Dalam hal ini, kita perlu
meneladani Nabi Muhammad yang selalu memaafkan orang-orang yang menghinanya dan
bahkan melemparinya dengan kotoran.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Terakhir tentang </span><i style="font-size: 12pt;">al-tasamuh</i><span style="font-size: 12pt;">
atau toleransi. Poin ini menjadi yang terakhir karena memang poin ini penting
di tengah hidup kita yang bermasyarakat. Karena bermasyarakat, kita perlu
memahami orang lain. Memahami orang lain memang terdengar sederhana tapi
sungguh bermakna. Adanya berbagai perbedaan di lingkungan sekitar bisa menjadi
sebuah kenyataan yang memberikan kita kesadaran akan hal tersebut.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Kata “</span><i style="font-size: 12pt;">al-tasamuh</i><span style="font-size: 12pt;">”
ataupun “toleransi” memang berbeda asal bahasanya. Namun, dua kata tersebut
memiliki makna yang sama sehingga bisa dipadankan. Di sini, tidak akan dibahas
sejarah atau perkembangan kedua kata tersebut karena terbatasnya kolom ini.
Tapi, pada intinya kedua kata tersebut mencerminkan kelapangan spiritual dan
kerendahhatian (</span><i style="font-size: 12pt;">tawadhu’</i><span style="font-size: 12pt;">).</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Kelapangan spiritual dan kerendahhatian tersebut bisa
menjadi modal untuk hidup dalam perbedaan. Sebab, zaman semakin berkembang dan
secara otomatis pemahaman manusia terhadap apa yang diyakini semakin beragam.
Dengan demikian, kita harus selalu siap dengan perbedaan.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Mungkin ini catatan saya tentang petuah Pak Kiai yang
begitu menginspirasi. Setiap orang yang mendengarkan pasti memiliki
penafsiraannya sendiri. Meski demikian, saya tetap merasa perlu menuliskannya
karena pesan-pesan Pak Kiai mengingatkan kami kembali pada etika Alquran.</span></div>
</div>
Catatan Didahttp://www.blogger.com/profile/16323248210928419446noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-1737446302611861486.post-15484744040982283302017-07-29T03:02:00.000-07:002017-07-30T01:22:16.707-07:00Membaca Kembali Indonesia Kita<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Nurcholish Madjid yang telah membaktikan hidupnya dalam membangun Indonesia
memang telah meninggalkan kita. Namun, pikiran-pikirannya yang bertumpu pada keislaman,
kemodernan, dan keindonesiaan tak pernah hilang ditelan zaman. Itulah mungkin
apa yang kita sebut sebagai keabadian di mana pikiran-pikiran seseorang akan
tetap hidup meskipun ia telah wafat.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Salah satu karya besar Cak Nur, sapaan akrab Nurcholish Madjid, adalah </span><i style="font-size: 12pt;">Indonesia Kita</i><span style="font-size: 12pt;">. Tulisan/khotbah ini
hanya mengulas sebagian kecil dari isi buku tersebut. Sebab, ide-ide besar yang
tertulis di dalamnya tidak mungkin dijabarkan kembali dalam pemaparan yang
lebih ringkas. Apa lagi, sepuluh platform membangun kembali Indonesia yang
ditawarkannya, disampaikannya secara komprehensif.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"></span></div>
<a name='more'></a>Cak Nur banyak berbicara tentang pentingnya membangun kembali negara kita
tercinta setelah reformasi. Menurutnya, Indonesia terlalu berharga untuk hancur.
Karena itu, kita memerlukan apa yang disebut Bung Karno sebagai pengikatan bersama
seluruh kekuatan bangsa. “Samen bundeling van alle krachten van de natie.”<br />
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgVYOZEr0ZvMblLKgiTxLmnKdg5NDL4pgkxysVIXSvAQikass7BU6LCfhHMemaPajLjz_TeqXcZV6GXG6tIXpew9EIBAZpqo9QMnpRpYtvUK-v3dBi6WrC_G6tR6zju2HbmXh2x1Zxv-94/s1600/IMG_1388.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1200" data-original-width="1600" height="300" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgVYOZEr0ZvMblLKgiTxLmnKdg5NDL4pgkxysVIXSvAQikass7BU6LCfhHMemaPajLjz_TeqXcZV6GXG6tIXpew9EIBAZpqo9QMnpRpYtvUK-v3dBi6WrC_G6tR6zju2HbmXh2x1Zxv-94/s400/IMG_1388.JPG" width="400" /></a></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Dalam tinjauan Cak Nur, Indonesia sebagai sebuah bangsa maupun negara
bukanlah sesuatu yang bisa diterima begitu saja. Ada beragam tantangan yang
muncul. Di antaranya, adanya berbagai suku bangsa yang mendiami seluruh pelosok
Indonesia (atau Asia Tenggara pada mulanya). Dari adanya berbagai suku bangsa
tersebut, muncullah keanekaragaman budaya.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Keanekaragaman budaya tersebut, menurut Cak Nur, bisa menjadi kekayaan
tetapi bisa juga menjadi kerawanan. Sebagai kekayaan, keanekaragaman budaya
bisa kita analogikan sebagai keanekaragaman nabati di mana keanekaragaman yang
ada bisa menjadi pengembangan budaya hibrida yang tangguh dan kaya. Sehingga,
terjadilah apa yang kita sebut sebagai penyuburan silang budaya (</span><i style="font-size: 12pt;">cross-cultural fertilization</i><span style="font-size: 12pt;">).</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Meski demikian, Cak Nur mengakui bahwa berbagai bentuk penyuburan silang
budaya yang terjadi di Indonesia selama ini merupakan sebuah “kebetulan” pada
umumnya. Hal itu sebagai akibat sampingan interaksi perdagangan regional yang
ditunjang kekuasaan politik (hlm. 8).</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Sebagai kerawanan, keanekaragaman budaya melemahkan kohesi antarsuku dan
pulau. Karena itu, hal tersebut selamanya rentan terhadap penaklukan dan
penjajahan dari luar. Cak Nur menulis (hlm. 9):</span></div>
<blockquote class="tr_bq">
<span style="font-size: 12pt;">Usaha penguatan kohesi beberapa bagian atau seluruh
Nusantara melalui penyatuan dalam kekuasaan politik tunggal pernah terjadi,
seperti oleh kerajaan-kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan Aceh, misalnya. Tetapi
usaha-usaha itu menghasilkan suatu penyatuan wilayah yang tidak persis sama
dengan wilayah Indonesia modern sekarang.</span></blockquote>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Di satu sisi, penyatuan tersebut lebih kecil daripada Indonesia sekarang
karena tidak mencakup seluruh kawasan dari Sabang sampai Merauke. Tapi, di sisi
lain, penyatuan tersebut lebih besar karena mencakup wilayah-wilayah yang ada
di luar Indonesia sekarang seperti Semenanjung Melayu, Kalimantan Utara,
Mindanau, Formusa dan Madagaskar.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Apa yang disampaikan Cak Nur dalam bagian pembuka </span><i style="font-size: 12pt;">Indonesia Kita</i><span style="font-size: 12pt;"> merupakan sebuah usaha untuk terus mengingatkan kita
semua bahwa keanekaragaman budaya—atau taman sari Indonesia dalam istilah
Franky Sahilatua—dan bahkan mungkin di belahan dunia lain merupakan sebuah
keniscayaan. Ini sesuai dengan Qs. Al-Hujurat: 09 yang sering dikutip Cak Nur:</span></div>
<blockquote class="tr_bq">
<span style="background-color: white; font-size: 12pt;">Wahai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakanmu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Tuhan maha
mengetahui lagi maha mengenal.</span></blockquote>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Lantas, di mana peran Islam? Dalam pembahasannya tentang sejarah Indonesia
dalam bab “Nasionalisme Klasik di Bumi Nusantara”, Cak Nur tak lupa membahas budaya
</span><i style="font-size: 12pt;">hemispheric</i><span style="font-size: 12pt;"> Islam yang cukup rumit
untuk dijabarkan kembali. Sebab, kuatnya analisis Cak Nur dalam kajian sejarah
Islam, di samping menyulitkan kita, membuatnya mampu membaca sejarah secara
dialektis, tidak linear.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Ketika peradaban Islam sedang berjaya di masa tertentu, Cak Nur sering
melihat apa yang sedang terjadi di belahan bumi lain. Dalam </span><i style="font-size: 12pt;">Islam Doktrin dan Peradaban</i><span style="font-size: 12pt;">, misalnya,
Cak Nur mampu melihat perkembangan Dinasti Abbasiyah di masa tertentu yang
mungkin saja menjadi rekan dagang kerajaan Sriwijaya di Palembang.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Karena kerumitan tersebut, saya langsung melompat ke bahasan kesatuan dalam
perbedaan yang tercantum di bab “Lahirnya Nasionalisme Modern Indonesia”.
Sebagaimana karya-karyanya yang lain, Cak Nur hobi sekali membahas Piagam
Madinah yang diinisiasi Nabi Muhammad saw sebagai kesepakatan-kesepakatan
bernegara yang melampaui zamannya.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Dengan mengutip Robert N. Bellah, Cak Nur melihat bahwa piagam tersebut
bahkan terlalu modern sehingga tatanan masyarakat ketika itu tidak mampu
mempertahankannya. Hal tersebut terbukti dari sejarah dinasti-dinasti Islam
yang penuh dengan pertumpahan darah.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Dalam pembacaan saya, Piagam Madinah yang disusun Nabi Muhammad saw pada
masa itu memang luar biasa. Pasal-pasal yang tercantum melampaui zamannya,
sehingga piagam tersebut bisa diklaim sebagai konstitusi tertulis pertama di
dunia. Prinsip-prinsip kesetaraan tanpa mengunggulkan satu suku/golongan di
atas yang lain terukir di sana.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Salah satu hal paling menarik dalam Piagam Madinah adalah penggunaan
kata “</span><span style="font-size: 12pt;">ummah</span><span style="font-size: 12pt;">” (umat). Dengan
kata tersebut, Nabi saw berusaha menyatukan setiap golongan ke dalam tatanan
bangsa-negara (</span><i style="font-size: 12pt;">ummah</i><span style="font-size: 12pt;">) dengan ungkapan bahwa “kaum Yahudi dari suku Bani
Auf adalah satu bangsa-negara dengan warga yang beriman” dan “kaum Yahudi bebas
memeluk agama mereka sebagaimana kaum Muslimin bebas memeluk agama mereka.”</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Di samping itu, mereka dan umat-umat minoritas lain diberikan hak sama
dengan orang-orang beriman. Dengan kata lain, seluruh aturan yang tertulis
dalam Piagam Madinah tidak membeda-bedakan satu umat dari yang lain. Nabi saw
bahkan tidak mengistimewakan orang-orang beriman.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Selain Piagam Madinah yang penting kita simak, ada juga surat perjanjian
Nabi saw kepada kelompok Kristen Najran yang antara lain diungkapkan di sana
bahwa umat Islam harus membantu umat Kristen, sehingga jika mereka membutuhkan
dana/bantuan untuk membangun gereja-gereja mereka, hendaklah mereka dibantu
bukan sebagai utang, tetapi sebagai bantuan yang tulus. Lihat catatan saya
berjudul “<a href="http://darul-ulum.blogspot.co.id/2014/11/jomblo-dan-piagam-madinah.html" target="_blank">Piagam Madinah di Sabtu Sore</a>”.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Cak Nur melihat bahwa semangat Piagam Madinah merupakan semangat kesetaraan
yang sejalan dengan penegasan Nabi Muhammad saw bahwa semua nabi pada prinsipnya
adalah sama. “Kami, golongan para nabi, agama kami adalah satu,” kata Nabi. Hal
ini tentu sejalan dengan apa yang disampaikan Alquran bahwa tidak ada perbedaan
di antara para utusan Tuhan meski setiap umat pasti memiliki jalan atau syariat
yang berbeda.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Menurut Cak Nur, dalam keadaan yang berbeda-beda ini, entah dalam konteks
budaya maupun agama, kita semua sebagai umat diperintahkan untuk berlomba-lomba
dalam kebaikan. Dengan kata lain, perbedaan-perbedaan dalam hal sekunder, bukan
hal primer seperti nilai kemanusiaan universal, tidak dibenarkan dalam kebaikan
bersama atau kerja sama dalam kebaikan (hlm. 50).</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Atas dasar itu, setiap pemeluk agama maupun warga negara Indonesia harus
mampu memahami keanekaragaman budaya sebagai bekal untuk mencapai kemajuan
bangsa. Sebaiknya kita tidak perlu bertikai kecuali terhadap orang-orang yang
zalim.</span><br />
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span>
<span style="font-size: 12pt;">Catatan: Ini adalah teks khotbah Jumat yang disampaikan di Universitas Paramadina pada 28 Juli 2017.</span><br />
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
</div>
Catatan Didahttp://www.blogger.com/profile/16323248210928419446noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1737446302611861486.post-10342157502164469202016-06-20T02:42:00.000-07:002016-11-20T06:32:31.644-08:00Tantangan Alumni di Tengah Perkembangan Zaman<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Ilmu pengetahuan atau sains dan teknologi pada saat ini begitu maju. Segala misteri alam secara perlahan telah berhasil dipecahkan. Kita mau atau tidak mau dihadapkan pada <i>condicio sine qua non</i> (situasi yang sulit dibantah). Salah satu contohnya adalah perdebatan tentang relasi agama dan sains.<br />
<br />
Perdebatan tersebut mungkin akan bertahan sampai kapan pun. Sebab, agama pada dasarnya menyangkut soal-soal keyakinan, sedangkan sains menawarkan kepastian. Agama bersifat dogmatis dan sains meruntuhkan dogma-dogma tersebut karena ia mendasarkan dirinya pada fakta dan data.<br />
<br />
<a name='more'></a>Kenyataan-kenyataan bahwa sains menawarkan kepastian tidak bisa terbantahkan, apalagi kita hidup di zaman yang terus berkembang di mana ilmu pengetahuan selalu mengalami kemajuan.<br />
<br />
Islam sebagai sebuah agama yang memiliki sejarah panjang pun ikut “terseret” ke dalam diskursus-diskursus semacam ini. Meski para sarjana Muslim telah melakukan berbagai terobosan dalam ilmu pengetahuan, penemuan-penemuan terbaru sains tetap saja memiliki kecenderungan untuk menyerang dogma-dogma yang telah berkembang.<br />
<br />
Hal ini merupakan tanda bahwa ilmu pengetahuan atau sains yang bersifat dinamis dan pemahaman keagamaan yang bersifat statis menciptakan kesenjangan yang semakin hari semakin lebar.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhZOhONx5MGTH3Nk1oyy508Q7wKBAg7TwU6y-Fex678pOHRe7R_nMuVz-hUVIZgoLjGa9KhZu8joTU5pPG4G7ZsO6Fwv5hvWOMao-kZ1DYSxOnSecU9exRrwbhTkrD0van9C7DWOPpvXeU/s1600/COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Woningpark_voor_de_Europese_employees_van_de_Suiker_Onderneming_Pesantren_TMnr_10011597.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="296" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhZOhONx5MGTH3Nk1oyy508Q7wKBAg7TwU6y-Fex678pOHRe7R_nMuVz-hUVIZgoLjGa9KhZu8joTU5pPG4G7ZsO6Fwv5hvWOMao-kZ1DYSxOnSecU9exRrwbhTkrD0van9C7DWOPpvXeU/s400/COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Woningpark_voor_de_Europese_employees_van_de_Suiker_Onderneming_Pesantren_TMnr_10011597.jpg" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Foto: https://commons.wikimedia.org/</td></tr>
</tbody></table>
Salah satu fakta yang mengungkapkan bahwa alam ini terus berevolusi dan memiliki siklus adalah contoh kasus yang tidak bisa dinafikan. Kita terpaksa beradaptasi dengan perubahan-perubahan tersebut. Bila tidak, generasi kita tak mungkin bisa bertahan sampai saat ini.<br />
<br />
Masalah-masalah seperti pemanasan global, kekurangan air bersih, terbatasnya sumber daya alam dan lain sebagainya merupakan gejala-gejala yang ditemukan perkembangan ilmu pengetahuan.<br />
<br />
Kita sekarang tidak mungkin menganggap permasalahan-permasalahan tersebut sebagai cobaan atau peringatan dari “yang di sana”. Itu murni merupakan persoalan pengetahuan yang membutuhkan solusi dari pengetahuan yang lain.<br />
<br />
Selain persoalan perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin berkembang, alumni pesantren juga dihadapkan pada sebuah zaman di mana kebebasan beragama, persaingan berekonomi dan sebagainya tak terbendung. Hal ini tak bisa dihindari karena kecenderungan manusia secara alamiah menjadi “serigala” bagi yang lain.<br />
<br />
Dalam hal kebebasan beragama, kita tak bisa memaksakan apa yang kita anggap benar menjadi kebenaran bagi yang lain. Fenomena kemunculan berbagai pemahaman keagamaan sekarang merupakan cermin yang baik dalam soal ini. Sebab, zaman semakin berkembang dan secara otomatis pemahaman manusia terhadap agama semakin beragam.<br />
<br />
Alumni pesantren harus selalu sadar akan hal ini. Berbekal pengetahuan keagamaan yang selama ini dipelajari, mereka harus cermat dan terbuka dalam soal-soal kebebasan beragama, bukan malah ikut-ikutan menyesatkan aliran-aliran yang tak sepaham dengan keyakinan pribadi. Ingat bahwa beragama yang baik di tengah perkembangan zaman harus selalu didasari kerendahan hati (<i>tawadhu’</i> dalam bahasa Alquran).<br />
<br />
Dalam hal persaingan ekonomi, alumni harus berani menggali potensi diri dan apa yang mesti dilakukan selanjutnya. Kita perlu ingat bahwa alumnus dan alumna pesantren tak selamanya menjadi ustadz dan ustadzah. Kita pun harus sadar bahwa setiap pekerjaan pada dasarnya sama. Tidak ada yang lebih mulia karena soal kemuliaan itu urusan Tuhan. Yang penting adalah ketulusan (ikhlas) dalam perbuatan.<br />
<br />
Selain berbagai persoalan di atas, ada juga persoalan lain yang tak kalah pentingnya: pembubaran forum diskusi kelompok yang dianggap komunis oleh kelompok Islam tertentu. Di antaranya, pembubaran Belok Kiri Festival yang rencananya digelar pada 27 Februari-05 Maret 2016 dan pementasan monolog Tan Malaka di Bandung pada 23-24 Maret 2016. Tampaknya ini persoalan serius yang mengancam kebebasan berpendapat di Indonesia.<br />
<br />
Pembubaran yang mereka lakukan dilatarbelakangi ketakutan akan komunisme yang selama ini keliru. Bagi mereka, komunisme pasti anti-Tuhan, padahal apa yang mereka tahu tentang komunisme tidak benar. Mereka sepertinya terjebak dalam kenyamanan prasangka tak berdasar.<br />
<br />
<b>Bagaimana Alumni Menghadapinya?</b><br />
<br />
Berbagai persoalan yang disampaikan di atas merupakan fenomena yang terjadi selama ini. Bila kita cermati, fenomena tersebut pada dasarnya muncul karena lemahnya tradisi literasi di Indonesia secara umum. Literasi di sini perlu dimaknai secara luas. Ia tak hanya berarti kemampuan membaca tapi juga kemampuan menganalisis secara jernih berbagai bacaan yang telah dicerna.<br />
<br />
Kemampan menganalisis bacaan tentunya hadir dari tradisi membaca yang baik. Sebab, kemampuan menganalisis perlu didasari rasa keingintahuan dan kesabaran dalam membaca. Sehingga, kritisisme pun muncul. Bila kritisisme muncul, kesadaran kita menghadapi berbagai isu yang berkembang membuat kita dewasa dalam bersikap. Kita pasti tak akan mudah marah ketika perbedaan pandangan muncul.<br />
<br />
Kita juga perlu sadar bahwa membaca tidak identik dengan profesi tertentu. Membaca merupakan hal yang wajib dilakukan siapa pun, entah ia seorang petani, guru, buruh dan sebagainya. Kita perlu ingat bahwa membaca merupakan wahyu pertama yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. Karena itu, jangan pernah membatasi diri dengan bacaan-bacaan tertentu!<br />
<br />
Catatan: Tulisan ini telah dimuat di <i>Sabrina</i> Edisi 11/6/2016/Ramadhan/1437 H</div>
Catatan Didahttp://www.blogger.com/profile/16323248210928419446noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1737446302611861486.post-51512365960550390082016-05-13T00:26:00.000-07:002016-05-13T00:26:01.153-07:00Masalah Literasi Kita<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;">Central Connecticut State University belum lama
ini telah merilis sebuah hasil riset tentang tingkat literasi yang berkembang
di 61 negara. Di antara 61 negara tersebut, Indonesia menempati peringkat kedua
dari bawah. Sedangkan, posisi yang menempati peringkat pertama (dalam arti yang
sesungguhnya) adalah Finlandia.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Hal ini sungguh sangat memprihatinkan mengingat
Indonesia merupakan sebuah bangsa yang sangat besar. Kita tidak perlu berdebat
dalam validitas riset tersebut. Sebab, tanda-tanda rendahnya tradisi literasi
begitu tampak dalam kehidupan sehari-hari.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><a href="http://www.qureta.com/post/masalah-literasi-kita" target="_blank"><br /></a></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><a href="http://www.qureta.com/post/masalah-literasi-kita" target="_blank">Read more</a></span></div>
</div>
Catatan Didahttp://www.blogger.com/profile/16323248210928419446noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1737446302611861486.post-61791569686166003962016-04-14T22:10:00.002-07:002016-04-14T22:14:32.832-07:00Menaklukkan Ambisi Iannone<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;">“Ambisimu melebihi bakatmu,” kata Casey Stoner dengan
satire kepada Valentino Rossi di Jerez (2011). Ungkapan tersebut muncul karena
Rossi terjatuh dan menabrak Stoner ketika ia berusaha menyalipnya di lintasan
basah.</span><span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;"> </span><br />
<br />
<span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;">Stoner begitu kecewa dan marah. Rossi yang pada
saat itu mengendarai Ducati Desmosedici GP11 langsung menemuinya setelah
balapan untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf. Ia sadar, ia terlalu percaya
diri meski Ducati teruji punya keunggulan ketika hujan turun.</span><br />
<br />
<a href="http://www.qureta.com/post/menaklukkan-ambisi-iannone" target="_blank">Read more</a></div>
Catatan Didahttp://www.blogger.com/profile/16323248210928419446noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1737446302611861486.post-32323360167779400392016-04-14T22:08:00.002-07:002016-07-19T02:05:01.017-07:00Jakarta dan Kompleksitasnya<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;">Setiap kota selalu memiliki masalahnya sendiri.
Namun, Jakarta memiliki tingkat kompleksitas yang sangat tinggi. Hal ini
terlihat dari aktivitas warga dan hiruk pikuk lingkungannya sebagai ibu kota. Karena
itu, banyak seniman, sejarawan, pengamat kota dan sebagainya memiliki perhatian
khusus kepadanya.</span><span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;"> </span><br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;">Dari kalangan seniman, kita masih ingat sebuah
lagu dari Koes Plus tentang Jakarta berjudul <i>Kembali ke Jakarta</i>. Dari
kalangan sejarawan dan pengamat kota, kita bisa menyaksikan bagaimana mereka
mengadvokasi masyarakat pinggiran yang ada di Jakarta.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;"><a href="http://www.qureta.com/post/jakarta-dan-kompleksitasnya" target="_blank">Read more</a> </span>
</div>
</div>
Catatan Didahttp://www.blogger.com/profile/16323248210928419446noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1737446302611861486.post-89677431375694246202016-04-14T22:06:00.003-07:002016-04-14T22:11:52.449-07:00Pesan-Pesan Kebebasan dalam “Intersisi”<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;">“<i>When words fail, music speaks.</i>” – Hans Christian Andersen</span><br />
<br />
<span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;">Musikimia telah mengeluarkan album terbarunya, <i>Intersisi</i> (2016). Album tersebut merupakan hasil perpaduan apik dari berbagai genre musik yang ada sekarang. Diawali gebrakan lagu <i>Dan Bernyanyilah</i>, rangkaian lagu yang diciptakan selanjutnya dikemas dalam susunan lirik bermakna.</span><br />
<br />
<span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;">Dalam perkembangan industri musik Indonesia sekarang, lirik lagu yang tidak hanya mempertimbangkan aspek mudah didengar (<i>easy listening</i>) tapi punya makna sulit ditemukan. Ini terlihat dari berbagai tayangan di televisi dan media (visual) lain yang menyajikan lagu-lagu yang hanya mengikuti selera pasar.</span><br />
<span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;"><br /></span><span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;"></span>
<span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;"><a href="http://www.qureta.com/post/pesan-pesan-kebebasan-dalam-%E2%80%9Cintersisi%E2%80%9D" target="_blank">Read more</a> </span>
<span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;"></span></div>
Catatan Didahttp://www.blogger.com/profile/16323248210928419446noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1737446302611861486.post-72326203641726588402016-03-19T08:23:00.002-07:002016-04-19T08:16:49.860-07:00Sekilas Humanisme Islam<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<!--[if gte mso 9]><xml>
<o:OfficeDocumentSettings>
<o:RelyOnVML/>
<o:AllowPNG/>
</o:OfficeDocumentSettings>
</xml><![endif]--><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;"></span></b><span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;"></span><span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;">Humanisme dalam banyak literatur diungkapkan, berasal
dari kata </span><span style="font-size: 12.0pt;">“</span><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;">umanista</span></i><span style="font-size: 12.0pt;">”</span><span style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;"> <span lang="IN">dari bahasa Latin atau </span></span><span style="font-size: 12.0pt;">“</span><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;">umanesimo</span></i><span style="font-size: 12.0pt;">”</span><span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;"> dari bahasa Italia (Campana, 1946). Dua kata tersebut
kini berarti <i style="mso-bidi-font-style: normal;">manusia</i> atau <i style="mso-bidi-font-style: normal;">human</i>.</span><span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;"> </span><br />
<br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;">Lorens Bagus (2005) mendefinisikan humanisme
sebagai aliran filsafat yang menganggap individu rasional sebagai nilai paling
tinggi dan sumber nilai terakhir untuk memupuk perkembangan kreatif dan moral
manusia secara rasional dan tanpa acuan dari konsep-konsep adikodrati.</span><span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;"></span><span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;"></span></div>
<a name='more'></a>Pengertian humanisme pada dasarnya tidak tunggal.
Di satu sisi, ia berarti gerakan untuk menghidupkan ilmu-ilmu kemanusiaan atau
biasa disebut sebagai “humaniora”. Di sisi lain, ia berarti sebuah gerakan
filsafat yang menekankan sentralitas manusia (Luthfi Assyaukanie, 2009). Esai
ini tentunya fokus pada sisi kedua meski sisi pertama belum tentu terabaikan.<span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;"> </span><br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;">Humanisme dalam tradisi ilmiah Islam memiliki
padanan kata yang sungguh menarik: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">al-insaniyyah</i>.
Kata “<i style="mso-bidi-font-style: normal;">insan</i>” yang sudah dibakukan ke
dalam bahasa Indonesia merupakan derivasi dari kata “<i style="mso-bidi-font-style: normal;">al-uns</i>” yang berarti akal-budi—sebuah terjemahan yang diambil dari
filsafat etika Ibn Miskawayh dalam karyanya berjudul <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Tahdzib al-Akhlaq</i>.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;">Berbeda dari tradisi ilmiah yang berkembang di
Eropa, humanisme Islam justru lahir dari persinggungannya dengan teologi dan
metafisika. Setiap cabang ilmu yang berkembang di dunia Islam selalu memiliki
latar belakang atau pendasaran teologis dari Kitab Suci.</span><span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;">Setiap filsuf, teolog, ahli fikih, ahli tafsir
dalam merumuskan pikiran-pikiran mereka pasti berangkat dari kebutuhan akan
peran manusia sebagai pusat semesta. Salah satu contoh sederhana</span><span style="font-size: 12.0pt;">n</span><span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;">ya adalah ditemukannya tanda baca dalam membaca Alquran
yang melahirkan studi-studi humaniora atau <i style="mso-bidi-font-style: normal;">adabiyyah</i>
(yang dikenal dengan Fakultas Adab di universitas Islam).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;">Dalam ilmu fikih misalnya kita bisa menemukan
sebuah perangkat yang dirumuskan al-Syafi’i untuk menentukan sebuah pendasaran hukum
yang dikenal sebagai <i style="mso-bidi-font-style: normal;">ushul al-fiqh</i>
(dasar-dasar ketentuan hukum). Di dalamnya kita banyak menemukan kaidah-kaidah
logis dalam menentukan sebuah kebijakan.</span><span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;">Salah satu kaidah yang begitu populer dalam <i style="mso-bidi-font-style: normal;">ushul al-fiqh</i> adalah “<i style="mso-bidi-font-style: normal;">al-hukmu yaduru ma’al ‘illati wujudan wa
‘adaman</i>”. Artinya, ada atau tidaknya sebuah ketentuan hukum ditinjau dari keadaannya
atau sebab-sebab hukum tersebut berlaku (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">‘illatul
hukmi</i>).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;">Kaidah ini membuat ketentuan hukum yang berlaku
menjadi begitu lentur ketika undang-undang dalam sebuah negara memang
bertentangan dengan semangat zaman atau kebutuhan masyarakat setempat.</span><span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;">Dalam teologi, kita bisa menemukan bagaimana para
teolog menemukan konsep-konsep keadilan Tuhan yang sebenarnya terkait dengan
kehidupan manusia. Ketika keadilan Tuhan telah “dirumuskan”, setiap manusia
dalam pandangan mereka diharapkan hidup dalam kebaikan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;">Contoh yang paling konkret adalah apa yang coba
dilakukan kelompok Muktazilah. Mereka pada hakikatnya berusaha membawa tradisi
filsafat yang mengutamakan kebebasan manusia sebagai ketentuan di Hari Akhir.
Bagi mereka, hidup manusia bebas sepenuhnya dari intervensi Tuhan. Lihat <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Teologi Rasional Muktazilah</i> di</span><span lang="IN" style="font-size: 12.0pt;"> </span><span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;"><a href="http://islamlib.com/kajian/teologi/teologi-rasional-muktazilah/" target="_blank">IslamLib</a>.</span><span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;">Dalam filsafat, humanisme mendapatkan tempatnya
yang paling lengkap. Dimulai dari al-Kindi yang menulis <i style="mso-bidi-font-style: normal;">al-Falsafah al-Ula</i> sampai Ibn Rusyd yang memiliki proyek
rasionalisme untuk dunia Islam, manusia sebagai pusat semesta menjadi pembahasan
utama.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;">Kita bisa memahami bagaimana Ibn Thufayl menulis
roman filsafatnya yang kental dengan pendekatan metafisika tanpa menafikan
peran manusia sebagai pusatnya dalam <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Hayy
bin Haqzhan</i> (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">Si Hidup Anak Si Sadar</i>).
Di dalamnya, Ibn Thufayl berusaha menyakinkan kita bahwa kebenaran bisa
didapatkan melalui akal meski kita hanya berinteraksi dengan seekor rusa dan
binatang lain.</span><span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;">Ibn Rusyd seorang filsuf rasionalis sejati pernah
berujar dalam <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Fashlul Maqal</i>-nya bahwa
jika akal dan wahyu berbenturan, wahyu harus ditafsirkan agar sesuai dengan
pemahaman akal (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">fa in kana muwafiqan fa
la qawla hunalika, wa in kana mukhalifan thuliba hunalika ta’wiluhu</i>).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;">Dalam teori sosial, kita bisa membaca karya Ibn
Khaldun, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Muqaddimah</i>. Di dalamnya ia
berbicara tentang berbagai fenomena masyarakat, teori ekonomi, pajak dan
sebagainya yang menempatkan manusia sebagai pusat kajiannya.</span><span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;">Sayangnya perkembangan filsafat (atau humanisme)
menjadi tidak menarik sekarang karena pembahasannya justru kembali ke soal-soal
metafisika yang cenderung abstrak, tidak menjadikan manusia sebagai pusat
kajian. Kita bisa membacanya dari karya-karya Suhrawardi yang membahas <i style="mso-bidi-font-style: normal;">mahiyah </i>(esensi) dan Mulla Shadra yang
tidak bisa <i style="mso-bidi-font-style: normal;">move on</i> dari persoala</span><span style="font-size: 12.0pt;">n</span><span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="IN">wujud</span></i><span lang="IN"> (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">being</i>).</span> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;">Karena itu, filsafat yang berkembang di dunia
Islam sekarang adalah filsafat yang bercampur dengan mistisisme (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">tashawwuf</i>). Saya tidak bisa membayangkan
betapa pusingnya kita memikirkan empat perjalanan manusia yang begitu abstrak
menuju Sang Pencipta. Sementara itu, persoalan kemunduran umat Islam sekarang begitu
nyata.</span><span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;">Dalam perkembangan tradisi ilmiah Islam, filsafat
sudah mengalami reduksi besar-besaran. Setiap karya yang lahir dari pemikir
Islam belum tentu merupakan sebuah karya filsafat. Alasannya adalah istilah
“filsafat” yang kini selalu diidentikkan dengan soal-soal yang abstrak
sebagaimana yang tercermin dalam filsafat Suhrawardi dan Mulla Shadra.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;">Hal ini menyebabkan karya-karya monumental dari para
pemikir Islam modern tidak pernah dianggap sebagai karya-karya filsafat.
Padahal, ada beberapa tokoh yang layak disebut sebagai para filsuf. Di
antaranya Abduh, Ali Abdur Raziq dan tokoh-tokoh kontemporer sekarang.</span><span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;">Kalau kita ingin mengembalikan humanisme yang dulu
pernah berkembang di tradisi ilmiah Islam, kita perlu mengembalikan filsafat
yang menempatkan manusia sebagai pusat kajiannya. Kita perlu menghidupkan
kembali proyek rasionalisme Ibn Rusyd dan mengembangkan kembali teori-teori sosial
Ibn Khaldun.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;">Catatan: Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di <a href="http://darul-ulum.blogspot.co.id/2016/03/sekilas-humanisme-islam.html" target="_blank">IslamLib</a></span>
</div>
</div>
Catatan Didahttp://www.blogger.com/profile/16323248210928419446noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1737446302611861486.post-13383250153701214792016-02-04T22:59:00.001-08:002017-07-15T13:44:10.666-07:00Agama dan Demokrasi di Indonesia<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="font-size: 12pt;">Pusat Studi Agama dan Demokrasi Yayasan Wakaf
Paramadina (PUSAD Paramadina) yang fokus pada isu-isu kebebasan beragama di
Indonesia baru saja memublikasikan <a href="http://www.paramadina-pusad.or.id/pustaka/agama-keterbukaan-dan-demokrasi" target="_blank"><i>Agama, Keterbukaan dan Demokrasi: Harapan dan Tantangan</i></a> </span><span lang="IN" style="font-size: 12pt;">(2015).</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Buku yang terdiri dari beberapa penulis itu
diawali dari orasi ilmiah yang disampaikan Franz Magnis-Suseno, SJ dalam
Nurcholish Madjid Memorial Lecture (NMML) pada 31 Oktober 2014 di Universitas
Paramadina.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"></span></div>
<a name='more'></a><span style="font-size: 12pt;">Dalam orasi ilmiahnya, Magnis berangkat dari
sebuah pernyataan Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang tercatat dalam bukunya, </span><i style="font-size: 12pt;">Islam Doktrin dan Peradaban</i><span style="font-size: 12pt;">, bahwa “Islam
adalah agama kemanusiaan terbuka.” Hal ini penting dicermati karena semua yang
disampaikan Magnis bermuara dari pernyataan tersebut.</span><br />
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Magnis melihat bahwa pandangan keislaman Cak Nur
begitu terbuka. Sehingga, ia melihat bahwa Islam yang ia baca melalui Cak Nur
memberi kita harapan untuk menjadi agama masa depan.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Kata Magnis:</span></div>
<blockquote class="tr_bq">
<span style="font-size: 12pt;">Pernyataan Cak Nur tentang
kemodernan dan kecocokan Islam dengan masa depan mendapat dimensi yang lebih
mendalam lagi. Lalu Islam, dalam pandangan Cak Nur, bukan hanya modern karena
tak kalah mendesain pesawat terbang atau menciptakan </span><i style="font-size: 12pt;">software</i><span style="font-size: 12pt;"> komputer, melainkan karena Islam membenarkan manusia dalam
martabatnya, padahal hormat terhadap manusia adalah inti harkat etis
modernitas.</span></blockquote>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;">Setelah mengawali dengan pernyataan Cak Nur,
Magnis juga menyoroti hubungan antara Tuhan dan manusia yang mana percaya
kepada Tuhan mengimplikasikan penghormatan kepada manusia. Hal ini sejalan
dengan apa yang disampaikan Cak Nur tentang hakikat tauhid dan kemanusiaan.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Bagi Cak Nur, tauhid adalah kemahaesaan Tuhan
sekaligus kemutlakan-Nya dan wujud Tuhan adalah wujud kepastian. Wujud Tuhanlah
wujud yang mutlak dan semua wujud selain wujud Tuhan adalah wujud yang nisbi.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Termasuk manusia itu sendiri. Betapapun tinggi
derajatnya atau kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna,
memutlakkan nilai manusia terhadap dirinya sendiri maupun orang lain
bertentangan dengan tauhid. Berbuat baik dan beribadah kepada Tuhan tidak akan
bisa terjalin dengan baik dengan memutlakkan sesama makhluk, termasuk manusia.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Salah satu kelanjutan logis dari prinsip keesaan
Tuhan itu ialah persamaan manusia. Semua manusia dilihat dari derajatnya, harkatnya
dan martabatnya adalah sama. Tak seorang pun dapat merendahkan atau menjatuhkan
derajat, harkat dan martabat sesama manusia, misalnya dengan memaksakan sesuatu
yang ia anggap benar kepada orang lain dan sebagainya.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Karena pendasaran itu, keesaan Tuhan adalah
kemutlakan-Nya. Ketiadaan sesuatu yang memiliki kebenaran mutlak selain
diri-Nya meniscayakan kebenaran yang relatif bagi seluruh makhluknya.</span><br />
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span>
<span style="font-size: 12pt;">Dari prinsip-prinsip tauhid di atas setiap manusia
memiliki hak penuh untuk kebebasan pribadinya dan menentukan kebenarannya tanpa
intimidasi dari manusia lain. Dengan kebebasan pribadinya, manusia berhak
menentukan secara sadar dan bertanggung jawab atas pilihannya yang baik dan
yang buruk.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="font-size: 12pt;">Tuhan pun sepenuhnya memberikan kebebasan kepada
setiap manusia untuk menentukan pilihannya untuk menerima atau menolak
petunjuk-Nya—tentunya dengan risiko yang akan ditanggung manusia itu sendiri
berdasarkan pilihannya.</span><span lang="IN" style="font-size: 12pt;"> </span><span style="font-size: 12pt;">Lihat </span><span style="font-size: 12pt;">“</span><span style="font-size: 12pt;"><a href="http://darul-ulum.blogspot.co.id/2008/10/terus-terang-saya-tidak-pernah-bertemu.html" target="_blank">Tauhid dalam Pandangan Nurcholish Madjid</a></span><span style="font-size: 12pt;">”</span><span style="font-size: 12pt;">.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Hadirin
yang berbahagia,</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Pandangan Cak Nur tentang tauhid ini, menurut
Magnis, bisa menjadi bekal untuk memperkokoh fondasi-fondasi hak asasi manusia
dan kebebasan beragama di masa depan meski hak asasi manusia di Indonesia masih
saja dicurigai sebagai kereta liberalisme dan individualisme.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Kata Magnis:</span></div>
<blockquote class="tr_bq">
<span style="font-size: 12pt;">Menganggap hak-hak asasi manusia
sebagai tanda individualisme [dan liberalisme] adalah prasangka—suatu prasangka
yang sering tidak jujur—prasangka elit berkuasa yang merasa terancam kalau
orang kecil diberdayakan.</span> </blockquote>
<blockquote class="tr_bq">
<span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;">Jaminan hak-hak asasi manusia adalah tanda
solidaritas bangsa dengan anggota-anggotanya yang paling lemah, yang tidak bisa
melawan, yang bisa digeser, digusur, dipukul, ditahan dan dibunuh begitu
saja—tetapi dengan memastikan bahwa hak asasi mereka pun tanpa kecuali
dihormati, masyarakat membuktikan bahwa ia solider dengan mereka.</span></blockquote>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;">Berbagai isu yang disampaikan Magnis pada tahun
pemilu itu masih memiliki relevansi yang kuat. Kita bisa melihat gejala-gejala
intoleransi dan antikemanusiaan terhadap kelompok-kelompok tertentu yang di
antaranya Ahmadiyah, Syiah dan LGBT. Hal ini seolah-olah menandakan pudarnya
Islam sebagai agama kemanusiaan.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Di dalam Qs. Al-Nahl: 93 Tuhan berfirman:</span></div>
<blockquote class="tr_bq">
<span style="font-size: 12pt;">Dan
kalau Tuhan berkehendak, niscaya Ia menjadikan kamu satu umat [saja], tetapi Ia
menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu
kerjakan.</span></blockquote>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;">Ayat di atas memberikan kita kesadaran bahwa
setiap manusia punya hak menentukan pilihannya sendiri. Setiap manusia berhak
memutuskan apakah ia mau beriman atau tidak, dan setiap manusia juga berhak
menentukan orientasi seksualnya, setiap tindakan yang dilakukannya. Karena itu,
setiap tindakan/pilihan manusia selalu disertai tanggung jawab.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Tidak hanya soal intoleransi di Indonesia, kita
juga bisa melihat gejala-gejala pudarnya Islam sebagai agama kemanusiaan ketika
negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam terpaksa mengungsi dari
Timur Tengah ke Eropa. Kita seolah-olah dihadapkan pada satu masa di mana Islam
menjadi agama yang sangat tidak manusiawi dan antikemajuan.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Kita mungkin keberatan dengan pernyataan tadi tapi
kenyataan tersebut sulit disangkal. Yang harus kita lakukan sekarang justru
mengembalikan Islam ke jalannya yang paling ideal. Kita tidak perlu menyalahkan
umat lain dengan mengatakan bahwa “ini konspirasi Yahudi” dan sebagainya.
Sebab, hal tersebut tidak pernah membuat kita semakin cerdas dalam menganalisis
apa yang sedang terjadi di kalangan umat Islam.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Salah satu cara untuk mengembalikan Islam ke jalan
yang paling ideal adalah melakukan introspeksi dan menumbuhkan kembali
kerendahan hati dalam beragama (</span><i style="font-size: 12pt;">tawadhu’</i><span style="font-size: 12pt;">)—sebagaimana
diusulkan Magnis dalam orasi ilmiahnya.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Menurut Magnis, tidak ada yang lebih menelanjangi
kebohongan seseorang selain berbicara tentang Tuhan dengan sombong sambil
menghina mereka yang berbeda. Kalau kita beragama dan dekat dengan Tuhan, kita
seharusnya merasakan betapa tidak berdayanya kita. Karena itu, beragama kita
harus didasari kerendahan hati.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 12pt;">Catatan: Ini adalah teks khotbah Jumat di Universitas
Paramadina pada 05 Februari 2016.</span></div>
</div>
Catatan Didahttp://www.blogger.com/profile/16323248210928419446noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1737446302611861486.post-85286606927663630112015-12-28T05:16:00.003-08:002016-01-14T08:36:05.984-08:00Mencipta Narasi di Anggon<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;">Di salah satu pojok Universitas Paramadina
terdapat sebuah tempat kongko-kongko yang bernama Anggon (Angkringan Gondrong).
Anggon merupakan sebuah “lokus” di mana para mahasiswa, dosen dan beberapa tamu
yang berkunjung berbincang-bincang tentang berbagai isu.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="font-size: 12pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="font-size: 12pt;">Dari berbagai isu yang menjadi perbincangan di
sana, muncullah berbagai diskursus tentang budaya, ekonomi, politik dan
sebagainya sambil menikmati secangkir kopi yang bebas unsur-unsur “<i>bid’ah</i>” alias kopi murni. Dalam hal ini,
kita perlu membaca kembali tulisan Hilmy Firdausy, </span><a href="http://qureta.com/kopi-sebagai-kata-kerja/"><i><span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;">Kopi
sebagai Kata Kerja</span></i></a><span lang="IN" style="font-size: 12pt;">.</span><br />
<br />
<a href="http://www.qureta.com/post/mencipta-narasi-di-anggon" target="_blank">Read more</a></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="font-size: 12pt;"> </span></div>
</div>
Catatan Didahttp://www.blogger.com/profile/16323248210928419446noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1737446302611861486.post-69010595947919632242015-12-05T21:24:00.001-08:002016-04-09T00:14:55.499-07:00Belajar dari Rossi dan Lauda<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Para pecinta MotoGP dan F1 pasti tahu siapa Valentino Rossi dan Niki Lauda. Bagi yang tidak, mereka adalah dua legenda hidup dalam cabang olahraga berbeda. Rossi sejak awal kariernya sampai saat ini masih sangat dikenal siapa saja. Sedangkan, Lauda mungkin tidak begitu dikenal mengingat F1 adalah cabang olahraga yang tidak begitu populer sekarang. Di samping itu, karier puncaknya memang di era 70-an.<br />
<br />
Sebelum membahas Lauda, ada pembalap F1 lain yang perlu dikenang dan mendapatkan perhatian. Ia meninggal karena kecelakaan di San Marino Grand Prix pada 1994 ketika usianya 34 tahun. Usia yang relatif muda.<br />
<br />
<a href="http://www.qureta.com/post/belajar-dari-rossi-dan-lauda" target="_blank">Read more</a> </div>
Catatan Didahttp://www.blogger.com/profile/16323248210928419446noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1737446302611861486.post-42607201268578913132015-11-29T02:04:00.002-08:002016-01-14T08:38:12.901-08:00MotoGP dan Seputar Kontroversi Rossi<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
“<i>The people’s champion? Sounds pretty good to me,</i>” kata Max Kenton dalam <i>Real Steel</i> (2011). Film yang disutradarai Shawn Levy itu bercerita tentang Max dan Atom, sebuah robot tinju yang kalah di pertandingan final. Namun, mereka berhasil mendapatkan hati penonton dengan cara berjuang secara adil sampai akhir.<br />
<br />
Ungkapan Max tadi layak disematkan kepada legenda hidup MotoGP, Valentino Rossi. Ia di Valencia (08/11/2015) berhasil menyalip puluhan pembalap meski posisi empat yang diraih tidak mengantarkannya menjadi juara dunia. Ia pasti kecewa, tapi harus menerima kenyataan.<br />
<br />
<a href="http://www.qureta.com/post/motogp-dan-seputar-kontroversi-rossi" target="_blank">Read more</a> </div>
Catatan Didahttp://www.blogger.com/profile/16323248210928419446noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1737446302611861486.post-2276747899883403282015-11-21T08:05:00.001-08:002015-11-21T08:06:01.415-08:00Understanding Agus Salim and His Islamic Thought<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
He was born in Kota Gadang, West Sumatra, on 8 October 1884. Indonesian people often call him Haji Agus Salim or The Grand Old Man due to his life devoted to Indonesian independence and diplomacy. His first name was Masjudul Haq which means the defender of the truth.<br />
<br />
At the beginning, Salim was interested in studying medicine. So, he tried to apply scholarship but he failed. At the age of 22, he took a job at the Dutch consulate in Jeddah, Saudi Arabia respecting his mother’s last wish who expected him to study religious science from his uncle, Syaikh Ahmad Khatib. Briefly Salim had studied Islam since his childhood.<br />
<br />
<a href="http://ourindonesia.com/whos-who/understanding-agus-salim-and-his-islamic-thought/" target="_blank">Read more</a></div>
Catatan Didahttp://www.blogger.com/profile/16323248210928419446noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1737446302611861486.post-70095109997345664452015-10-12T21:33:00.002-07:002015-10-12T21:37:18.558-07:00Islam dan Fenomena Kebangkrutan Nalar<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div>
“Umat Islam ini memang sedang sakit dan bangkrut nalar. Salah satu tandanya, fitnah yang menyebar di mana-mana,” tulis saya di status Facebook pada 30 September 2015. Ungkapan itu muncul karena kegelisahan yang disebabkan maraknya berbagai berita tanpa sumber yang jelas.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Fenomena munculnya berbagai media sosial sekarang memberikan kita kemudahan mengakses berbagai informasi yang berkembang. Pada satu sisi, kita bisa mendapatkan berbagai pengetahuan yang sangat berharga. Pada sisi lain, tak sedikit yang memanfaatkan perkembangan dunia yang saling terhubung itu sebagai media untuk menyebarkan propaganda atau fitnah demi kepentingan tertentu.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<a href="http://islamlib.com/politik/islam-dan-fenomena-kebangkrutan-nalar/" target="_blank">Read more</a></div>
</div>
Catatan Didahttp://www.blogger.com/profile/16323248210928419446noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1737446302611861486.post-88368384920547644132015-09-22T22:43:00.001-07:002015-09-22T22:43:18.827-07:00Islam, Radicalism, and Freedom<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Pew Research Center (PRC), which focuses on the issues of religion and public life, has released the results of their research on 2 April 2015, <i>The Future of World Religions: Population Growth Projections, 2010-2050</i>. It mentioned that Islam was the most developed religion. This is because of the religion’s rate of growth and bigger size of the population of young people.<br />
<br />
If the trend rate of growth and size of the population continues, some things are projected to occur in 2050. <i>Firstly</i>, the number of Muslims will increase and equivalent to the number of Christians. <i>Secondly</i>, the number of atheists, agnostics, and those who are not affiliated to any religion will decrease in the total world population. <i>Thirdly</i>, the population of Buddhists all over the world will be the same as that recorded in 2010, while the population of Hindus and Jews will increase.<br />
<br />
<a href="http://suarakebebasan.org/en/analysis/item/439-islam-radicalism-and-freedom" target="_blank">Read more</a></div>
Catatan Didahttp://www.blogger.com/profile/16323248210928419446noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1737446302611861486.post-63658967929360762832015-09-22T22:28:00.003-07:002015-09-22T22:28:43.739-07:00Sepeda Wadjda<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Di Indonesia, sepeda bukan barang istimewa. Siapa pun mampu memilikinya dari kelas bawah sampai kelas atas, entah itu laki-laki atau perempuan. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Wadjda, seorang anak perempuan yang hidup di Riyadh, Arab Saudi.<br />
<br />
<i>Wadjda</i> adalah sebuah film dari Haifaa al-Mansour yang dirilis pada tahun 2012. Meski pemutarannya sudah agak lama, film ini masih tetap relevan untuk dibicarakan. Khususnya, karena isu-isu yang dihadapi umat Islam selalu berkutat dalam soal-soal itu saja seperti radikalisme dan kekerasan.<br />
<br />
Film ini bercerita tentang seorang gadis Saudi berusia 11 tahun yang tinggal di Riyadh, bernama Wadjda (Waad Mohammed). Impiannya sangat sederhana. Ia hanya ingin memiliki sepeda hijau yang ia lihat pada saat melewati sebuah toko menuju sekolahnya.<br />
<br />
<a href="https://islamlib.com/aksara/film/sepeda-wadjda/" target="_blank">Read more</a></div>
Catatan Didahttp://www.blogger.com/profile/16323248210928419446noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1737446302611861486.post-38218246635625967772015-09-15T21:54:00.001-07:002015-09-17T10:17:36.627-07:00Mengenal Sudirman dari Kritik Film<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Sudirman adalah tokoh bangsa yang sekarang menjadi perbincangan hangat. Hal itu disebabkan perjuangannya yang diangkat kembali ke dalam sebuah film, <i>Jenderal Sudirman</i> (2015). Viva Westi, sang sutradara, menyuguhkan film itu dalam rangka memperingati 70 tahun kemerdekaan Indonesia.<br />
<br />
Diangkatnya Sudirman yang merupakan seorang pejuang kemerdekaan ke layar lebar menandai kecenderungan positif industri film di Tanah Air yang menampilkan perjuangan tokoh bangsa. Di tengah-tengah persoalan korupsi dan tidak adanya keteladanan yang melanda kita, film sebagai media utama menjadi begitu relevan. Kita mungkin perlu lebih banyak lagi.<br />
<br />
<a name='more'></a>Sebetulnya ketokohan Sudirman sudah pernah diangkat ke layar lebar dalam <i>Janur Kuning</i> (1979) yang disutradarai Alam Surawidjaja. Meski film tersebut menjadi propaganda Orde Baru untuk meneguhkan kekuasaannya, ketokohan Sudirman yang diperankan Deddy Sutomo sangat tepat. Deddy berhasil menjiwainya.<br />
<br />
<i>Janur Kuning</i> mengisahkan perjuangan di Yogyakarta meraih kemerdekaan dari tentara sekutu yang dikenal sebagai Serangan Umum 1 Maret. Meski begitu, ketokohan Sudirman dijadikan sebagai “pemanis” dari peran besar Suharto. Suharto ditampilkan dengan begitu gagah dan dicintai rakyat meski fakta sejarahnya patut diragukan.<br />
<br />
Seingat saya, film-film yang muncul pada 1970-1990 memang sengaja dijadikan sebagai media “<i>psychological warfare</i>” untuk melawan musuh-musuh Orde Baru. Di antaranya, <i>Serangan Fajar</i> (1981) dan <i>Pengkhianatan G30S/PKI</i> (1984) dari Arifin C. Noer. Ada juga <i>Kereta Api Terakhir</i> (1981) dari Mochtar Soemodimedjo, <i>Tjoet Nja’ Dhien</i> (1988) dari Eros Djarot dan sebagainya.<br />
<br />
Berbeda dari <i>Janur Kuning</i>, peran Sudirman dalam film terbaru begitu menonjol. Viva memang berintensi menampilkan perspektif sejarah lain dengan tidak adanya peran Suharto sama sekali. Sebaliknya, Sukarno-Hatta tampil untuk bernegosiasi dan Sudirman memilih jalan bergerilya.<br />
<br />
Meski perbedaan politik muncul di antara Sukarno-Hatta dan Sudirman, mereka tetap menghormati setiap jalan yang ditempuh. Tidak ada dendam, dengki atau hasud yang melatarbelakangi. Semuanya hadir dengan keteduhan yang kita rindukan dalam panggung politik sekarang.<br />
<br />
Sudirman ditampilkan sebagaimana dirinya yang dikenal selama ini. Dalam catatan sejarah, ia seorang guru Muhammadiyah dan juga perokok berat. Ketika sakit paru-parunya begitu parah, Sudirman meminta istrinya merokok dan meniupkan asapnya ke mukanya. Tampilannya sebagai seorang guru dan perokok berat ada dalam film itu.<br />
<br />
Sebagai sebuah karya seni, <i>Jenderal Sudirman</i> pasti hadir dengan berbagai kritik. Di sini, teori tukang bakso yang saya dapat JJ Rizal berlaku. Ketika kita memesan semangkuk bakso dan rasanya tidak enak, kita tidak perlu menjadi tukang bakso untuk mengkritiknya. Kita hanya perlu menyampaikan kritik itu atau mungkin beralih ke tukang bakso lain.<br />
<br />
Teori di atas tentunya berlaku bagi Asvi Warman Adam yang telah mengkritik film tersebut secara serius di <a href="http://www.tempo.co/read/kolom/2015/09/02/2279/kontroversi-film-jenderal-soedirman" target="_blank">Koran Tempo</a> (02/09/2015). Yang menjadi fokusnya adalah adegan-adegan yang tak sesuai dengan fakta sejarah dan pemojokan terhadap ideologi dan tokoh tertentu. Esai ini tentunya tidak ingin mengulangi kritik-kritik tersebut.<br />
<br />
Nadine Labaki, seorang sutradara dari Lebanon, pernah berujar bahwa membuat film memiliki misi lebih tinggi daripada hanya sekadar menyampaikan sebuah cerita atau menghibur masyarakat. “I truly believe in that mission,” katanya dalam sebuah wawancara bersama E. Nina Rothe di <a href="http://www.huffingtonpost.com/e-nina-rothe/nadine-labaki-on-life-fre_b_7542390.html" target="_blank">The Huffington Post</a>.<br />
<br />
Tentunya kehadiran film-film sejarah nasional dalam beberapa tahun ini sejalan dengan apa yang didambakan Labaki selama ini. Para sutradara pasti sudah sadar akan hal itu. Di tengah kisruh politik yang begitu tampak di negeri ini, film-film tokoh bangsa menjadi sangat berarti.<br />
<br />
Dari film-film tersebut, kita mampu mendapatkan inspirasi sebagai contoh baik untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan dari penjajahan dan kebebasan dari penindasan. Namun, sayangnya abai terhadap riset sejarah yang serius masih sangat terlihat. Bila tujuan mengangkat tokoh perjuangan bangsa ke layar lebar hanya sekadar hiburan untuk meraih keuntungan dari selera pasar, efeknya pasti cuma sekejap.<br />
<br />
Yang perlu menjadi perhatian dalam esai ini karenanya adalah pentingnya visi kesejarahan dalam industri film Indonesia. Meski keadaannya belum mapan, industri film tidak berarti harus mengkhianati fakta sejarah demi kepentingan rezim-rezim tertentu. Sebab, hal itu hanya akan mereduksi karisma tokoh itu sendiri.<br />
<br />
Dalam filsafat sejarahnya, Ibn Khaldun pernah merumuskan sekurang-kurangnya tujuh kesalahan yang membuat kita mengabaikan visi kesejarahan yang di antaranya <i>kepentingan golongan atau partisan</i>, <i>kepercayaan berlebihan pada sumber tunggal</i>, <i>ketidakmampuan memahami konteks sejarah</i> dan <i>ketidaktahuan tentang hukum perubahan masyarakat</i>.<br />
<br />
Film-film tokoh bangsa belum sepenuhnya menjadikan visi kesejarahan sebagai landasan utama dalam sebuah karya seni. Kepentingan golongan atau partisan dan kepercayaan berlebihan pada sumber tunggal masih menjadi belenggu. Sehingga, akhirnya menyebabkan ketidakmampuan memahami konteks sejarah dan ketidaktahuan tentang hukum perubahan masyarakat.<br />
<br />
Bagi Ibn Khaldun, salah satu sumber kesalahan dalam menulis ataupun membaca sejarah adalah <i>mengabaikan perubahan</i>. Perubahan yang dimaksud di sini berarti bahwa masyarakat yang hidup dalam kebiasaan dan cara mereka berpikir maupun bekerja tidaklah selalu sama seiring dengan perubahan waktu. Begitu juga cara pandang masyarakat kita sekarang.<br />
<br />
Kini bukan saatnya lagi menutupi sejarah kelam bangsa kita atau mendistorsi apa yang sebenarnya telah terjadi—meski kebenaran itu tetap subjektif. Tampilkanlah sejarah dengan apa adanya tanpa pretensi apa pun. Sebab, masyarakat kita <i>berubah</i> seiring dengan berubahnya waktu. Mereka sekarang tidak mempan diberikan kebohongan dan pembodohan dalam setiap propaganda yang disampaikan melalui film.<br />
<br /></div>
Catatan Didahttp://www.blogger.com/profile/16323248210928419446noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1737446302611861486.post-53879029701438829162015-09-02T00:43:00.001-07:002015-09-02T00:48:50.991-07:00Islam Nusantara Berkemajuan<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: left;">
Awal Agustus diisi berbagai muktamar dari beberapa organisasi masyarakat (ormas) besar: Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Mathla’ul Anwar. Yang paling menjadi perhatian kita tentunya dua tema muktamar yang diusung dua ormas terbesar di Indonesia: NU dan Muhammadiyah. NU mengusung Islam Nusantara; Muhammadiyah mengusung Islam Berkemajuan.</div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: left;">
Dua tema muktamar tersebut tidak hadir dari ruang hampa. Fenomena keberagamaan yang cenderung radikal, saling mengafirkan, intoleran dan lain-lain pasti melatarbelakanginya. Dari sana, kita bisa tahu bahwa Islam Nusantara yang berkemajuan memiliki relevansi yang kuat.</div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<a name='more'></a><div style="text-align: left;">
<span style="text-align: justify;">Sebelum beranjak ke pembahasan, sebaiknya kita menyinggung secara singkat apa yang dimaksud dengan “Islam Nusantara” dan “Islam Berkemajuan” sejauh yang bisa dibaca dan pahami dari apa yang berkembang selama ini NU dan Muhammadiyah. Meski demikian, tulisan ini tidak akan mempersoalkan apa yang dimaksud dengan Nusantara itu sendiri.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: left;">
Dalam tulisannya, <a href="http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,60834-lang,id-c,kolom-t,Metodologi+Islam+Nusantara-.phpx" target="_blank"><i>Metodologi Islam Nusantara</i></a>, Abdul Moqsith Ghazali mengungkapkan bahwa Islam Nusantara tidak hadir untuk mengubah doktrin Islam. Ia hanya ingin mencari cara untuk melabuhkan Islam dalam konteks budaya masyarakat yang beragam. Gagasannya tentu berpijak pada kaidah-kaidah <i>ushuliyyah</i> yang di antaranya <i>mashlahah mursalah</i>, <i>istihsan</i> dan <i>‘urf</i>.</div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: left;">
Sementara itu, Islam Berkemajuan adalah cara pandang Islam yang mampu merespon perkembangan zaman. Muhammadiyah menganggap tema tersebut begitu penting karena menguatnya tanda-tanda keterbelakangan umat Islam selama ini. Kita bisa bayangkan betapa terbelakangnya umat Islam secara umum yang mana selama 14 abad lebih sejak kemunculannya, umat Islam masih saja sibuk dengan wacana kafir-mengafirkan.</div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: left;">
Membaca <a href="http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/15/08/08/nsr143346-ini-13-rekomendasi-muktamar-muhammadiyah" target="_blank">13 rekomendasi</a> Muhammadiyah dari hasil muktamar membuat kita sadar bahwa persoalan bangsa kita bermuara pada persoalan keagamaan yang begitu sempit. Kita karenanya sering lupa bahwa persoalan korupsi dan pentingnya membangun pemerintahan yang baik juga harus diutamakan. Bagi Muhammadiyah, hal tersebut hanya bisa diatasi dengan membangun masyarakat ilmu.</div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: left;">
Ide-ide tentang kemajuan sebenarnya bukanlah hal baru di Muhammadiyah yang didirikan pada 18 November 1912 oleh Ahmad Dahlan. Sebagaimana yang dicatat Deliar Noer (1996), Muhammadiyah hadir dengan ide-ide kemajuan di mana setiap persoalan umat dibicarakan melalui dialog. Untuk mencapai maksudnya, organisasi tersebut mendirikan lembaga-lembaga pendidikan (dengan sistem kelas), rumah sakit dan sebagainya.</div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: left;">
Apa yang dilakukan Muhammadiyah tentunya mendapatkan reaksi dari kalangan tradisional atau pesantren. Mereka merasa “terancam” bila mereka juga tidak melakukan apa yang telah dilakukan Muhammadiyah. Berdirilah Nahdlatul Ulama pada tahun 1926.</div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: left;">
Yang menjadi poin dari penjelasan singkat di atas, adalah pentingnya dua organisasi masyarakat tersebut di Indonesia. Karena itu, bukanlah sebuah hal berlebihan bila kita juga mengusung Islam Nusantara yang berkemajuan.</div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: left;">
<b>Membela Islam Nusantara Berkemajuan</b></div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: left;">
Islam Nusantara yang berkemajuan bukanlah Islam yang dibayangkan para pencibirnya di media sosial. Islam Nusantara yang berkemajuan bukanlah Islam yang hendak mengganti kain kafan dengan kain batik, ayat-ayat Alquran dengan ayat-ayat konstitusi menjelang kematian atau pengucapan salam dengan “selamat pagi, siang, sore dan malam”. Mereka berdalih bahwa Islam itu satu. “Islam, ya Islam. Tidak ada [Islam] Nusantara,” kata mereka.</div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: left;">
Pandangan di atas pada hakikatnya pandangan yang picik. Mereka benar bahwa Islam memang satu tapi itu hanya ada pada level Alquran. Mereka menafikan keragaman yang telah tumbuh sejak awal berkembangnya Islam. Mereka lupa atau mungkin tidak tahu sama sekali bahwa Islam itu punya ruang penafsiran yang begitu terbuka.</div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: left;">
Dari awal kemunculannya, Islam secara jelas begitu beragam setelah meninggalnya Nabi Muhammad saw. Kita tidak bisa menafikan adanya begitu banyak pendapat keagamaan yang muncul ketika itu. Sebab, hal tersebut adalah sebuah ketentuan Tuhan (<i>sunnatullah</i>). Jika saja Ia menghendaki, kita niscaya akan menjadi satu umat, satu pikiran dan satu visi. Namun, Ia hendak menguji kita dan karenanya kita harus berlomba-lomba dalam kebaikan (Qs. 05:48).</div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: left;">
Nurcholish Madjid (2013) pernah menulis tentang pentingnya mengembangkan Islam yang beorientasi pada kemodernan dan keindonesiaan—di mana Islam Nusantara mewakili keindonesiaan dan Islam Berkemajuan mewakili kemodernan. Di dalamnya, ia menyampaikan perlunya mengembangkan Islam yang sesuai dengan konteks budaya masyarakat Indonesia tanpa mengabaikan susbstansi-substansi keislaman.</div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: left;">
Substansi-substansi keislaman itu sendiri terdiri dari yang bersifat universal dan partikular. Substansi-substansi bersifat universal (global) yang antara lain adalah tauhid, keadilan sosial atau keberpihakan kepada orang-orang tertindas atau terzalimi, dan hak asasi manusia. Sedangkan, substansi-substansi bersifat partikular (lokal) yang antara lain adalah gaya berpakaian, hak waris dan poligami.</div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: left;">
Islam Nusantara berkemajuan tentunya hadir untuk meneguhkan keislaman yang merespon perkembangan zaman dalam konteks keindonesiaan tanpa mengabaikan substansi-substansi yang universal. Islam karenanya harus menegakkan keadilan bagi kaum-kaum tertindas karena pengafiran dan kemiskinan struktural. Islam Nusantara berkemajuan harus menebarkan Islam yang benar-benar menjadi rahmat bagi bangsa dan dunia (Qs. 21:107).</div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: left;">
NB: Tulisan ini adalah versi asli dari yang telah dimuat di <a href="http://liputanislam.com/analisis/islam-nusantara-berkemajuan/" target="_blank">Liputan Islam</a>.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
</div>
</div>
Catatan Didahttp://www.blogger.com/profile/16323248210928419446noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1737446302611861486.post-91834415906699084512015-08-20T07:52:00.003-07:002015-08-20T21:01:37.443-07:00Bermalam Melalui Film<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Saya bersama <a href="https://id-id.facebook.com/maio.sunyroh" target="_blank">Mariyo Suniroh</a> dan <a href="https://www.facebook.com/nandank.tamjid?fref=nf" target="_blank">Nandang Tamjid</a> di Anggon (Angkringan Gondrong) pada malam-malam lalu menonton film-film Arab Saudi dan Iran: <i>Wadjda</i> (2011) dari Haifaa Al-Mansour, <i>Circumstance</i> (2011) dari Maryam Keshavarz, <i>Children of Heaven</i> (1997) dan <i>The Song of Sparrows</i> (2008) dari Majid Majidi.<br />
<br />
Kami begitu saja memilih film-film yang ada di daftar tanpa rencana sebelumnya. Sebab, menonton adalah solusi tepat untuk mengatasi mati gaya. Apalagi, nyamuk-nyamuk di sana begitu dahsyat. <a href="https://www.facebook.com/billybismarak" target="_blank">Billy Bismarak</a> juga tahu soal itu.<br />
<br />
<i>Wadjda</i> menceritakan kehidupan seorang anak perempuan yang memiliki ibu penuh kasih dan ayah yang akan menikah lagi. Ia berjuang membeli sepeda--meski perempuan dilarang bersepeda di Arab Saudi--sampai ia mengikuti lomba membaca Alquran dengan baik.<br />
<br />
<a name='more'></a>Dalam proses pembuatan filmnya, Al-Mansour bahkan harus mengarahkan adegan eksterior di Riyadh dari dalam van karena perempuan di sana dilarang bekerja di depan umum. Selain itu, ia memang merupakan sutradara perempuan pertama yang berasal dari Arab Saudi.<br />
<br />
<i>Circumstance</i> adalah film kedua yang menjadi perhatian kami. Keshavarz berani menyajikan tontonan remaja yang tidak populer di kalangan masyarakat Iran. Perilaku seks sesama jenis yang menjadi fokus film itu masih menjadi aib sosial di sana. Indonesia pun sama <i>sich</i> di mana saya juga masih sulit menerima.<br />
<br />
Yang selanjutnya adalah dua film dari Majidi. Saya terus terang tidak tahu banyak soal film. Apalagi, film Iran. Salah satu sutradara ternama dari sana yang saya tahu cuma Asghar Farhadi. Itu pun setelah menonton <i>A Separation</i> (2011) dan <i>The Past</i> (2013).<br />
<br />
Sebenarnya ada juga teman yang menyarankan saya menonton film-film dari Jafar Panahi. Sayangnya saya belum sempat karena beberapa hal yang harus diprioritaskan. Semoga <a href="https://www.facebook.com/azkaFR" target="_blank">Azka Fahriza</a> memaklumi.<br />
<br />
Baiklah! Kita kembali lagi ke dua film dari Majidi ya, Bray. Dua film itu menceritakan kisah perjuangan keluarga <i>sich</i> yang alurnya gampang ditebak. Tapi, pemilihan karakter, pemain dan juga pengambilan kamera yang baik menjadi nilai tambah. Serius. Tanya Mariyo dan Nandang!<br />
<br />
Saya tidak perlu bercerita tentang dua film tersebut di sini karena saya tidak tega. Isinya sedih terus, tapi pesan-pesan yang disampaikan asyik dan lucu. Muhammad Amir Naji punya peran signifikan. Teman-teman sebaiknya langsung menonton saja ya.<br />
<br />
Setelah menyelam ke lautan Google, Mariyo bilang ke saya bahwa Majidi baru saja menyelesaikan film baru: <i>Muhammad</i> (2015). Saya tidak tahu apakah film itu masuk ke Indonesia atau tidak. Yang pasti, rasa penasaran yang muncul setelah menikmati dua film darinya.<br />
<br /></div>
Catatan Didahttp://www.blogger.com/profile/16323248210928419446noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1737446302611861486.post-49412605866190620292015-07-22T08:23:00.002-07:002015-07-22T08:42:56.132-07:00Teologi Rasional Muktazilah<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Dalam membaca sejarah Islam, kita harus membedakan Islam sebagai “doktrin” dari Islam sebagai “peradaban” (Nurcholish Madjid, 1992). Hal ini penting untuk disimak agar kita tidak terjebak ke dalam ideologi yang tertanam dalam benak kita sejak awal. Dengan begitu, kita bisa memahami perkembangan berbagai ilmu dalam sejarah Islam dengan lebih objektif tanpa menafikan hal-hal yang mungkin mencederainya.<br />
<br />
Islam sebagai “doktrin” adalah Islam yang dipahami sebagai sebuah agama yang sempurna. Meski ada berbagai perbedaan dalam pemahaman ajaran-ajarannya, Islam tetap diakui sebagai agama yang sempurna; Islam sebagai “peradaban” adalah Islam yang di dalamnya terdapat aspek-aspek sejarah yang memicu adanya berbagai konflik kepentingan di antara semua aliran.<br />
<br />
<a href="http://islamlib.com/kajian/teologi/teologi-rasional-muktazilah/" target="_blank">Read more</a></div>
Catatan Didahttp://www.blogger.com/profile/16323248210928419446noreply@blogger.com0