Monday, 1 December 2008

Kepahlawanan dalam Islam: Konteks Keindonesiaan

Hadirin salat Jumat yang berbahagia,

Pada kesempatan kali ini, marilah kita memanjatkan puja dan puji syukur kita kepada Allah swt. Berkat nikmat dan rahmat-Nya berupa iman dan Islam kita mampu melaksanakan kewajiban pekan yakni menunaikan salat Jumat bersama-sama di tempat yang mulia ini.

Selawat serta salam mari kita limpahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad saw, nabi akhir zaman, imam para rasul, yang telah membawa kita dari zaman kegelapan ke zaman modern.

Hadirin yang berbahagia,

Pesan inti dari khotbah Jumat adalah pesan takwa (taqwâ) karena takwa adalah sesuatu yang harus dioptimalkan secara terus menerus tanpa titik final oleh orang-orang yang beriman kepada Allah swt. Takwa kepada-Nya yang sebenar-benarnya adalah menjalankan segala perintah-perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-larangan-Nya di mana pun kita berada. Nabi berpesan, Ittaq-i ‘l-Lâh-a haytsu-mâ kunt-a.

Pada khotbah ini, khatib telah diminta oleh pihak Dewan Keluarga Masjid (DKM) Universitas Paramadina untuk menyampaikan tema kepahlawanan dalam Islam, khususnya dalam konteks keindonesiaan. Ini merupakan sebuah tema yang menarik untuk dikaji, mengingat sebagian bangsa kita cenderung mereduksi dan mempersempit makna pahlawan.

Kata pahlawandalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang yang berjuang dengan gagah berani dalam membela kebenaran. Dengan merujuk kata pahlawanyang tercatat dalam KBBI, menjadi pahlawan adalah hal yang memungkinkan bagi setiap orang, bahkan tukang sapu di jalan pun adalah seorang pahlawan.

Dalam konteks kenegaraan/kebangsaan, seorang pahlawan yang beriman kepada Allah swt yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini di dalam Alquran adalah orang-orang yang berjuang di jalan Allah. Seperti yang tercatat dalam Qs. al-Baqarah: 154:
Dan janganlah kalian sekali-kali mengatakan bahwa orang-orang yang berjuang (terbunuh) di jalan Allah itu mati melainkan mereka hidup tetapi kita tidak merasakan.
Sesungguhnya para pahlawan yang telah memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini, yang kita tahu maupun yang tidak kita tahu, mereka hidup, hidup di hati kita.

Hadirin yang berbahagia,


Lantas, apa pelajaran yang dapat kita petik dari para pahlawan bangsa kita? Di sini, khatib ingin menyampaikan sebuah cerita. Alkisah, seorang raja Persia yang bernama Kisra Anu Syirwan melakukan observasi ke rumah-rumah para penduduk kerajaannya. Ketika ia tiba di satu rumah, di sana ia menemukan seorang kakek yang menanam pohon di halaman rumah tersebut.


Sang raja tertawa dan bertanya, Wahai kakek, kenapa kau menanam sebuah pohon yang akan berbuah 10-20 tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun ke depan, sedangkan kau mungkin tahun depan sudah mati dan kau tidak dapat menikmati buah-buahan dari pohon yang telah kau tanam?


Dengan penuh senyum dan optimisme sang kakek menjawab, Wahai raja, laqad gharas-a man qabla-nâ fa akal-nâ wa naghris-u nahn-u li-ya’kul-a man ba‘da-nâ.” Orang-orang sebelum kita telah menanam pohon dan buah-buahan dari pohon tersebut kita nikmati sekarang maka kita menanam kembali pohon yang buah-buahannya akan dinikmati oleh orang-orang setelah kita.


Dari cerita di atas kita dapat memetik sebuah pelajaran bahwa kemerdekaan ibarat sebuah pohon yang telah ditanam oleh para pahlawan bangsa ini kendatipun mereka tidak pernah menikmatinya melainkan kenikmatan tersebut kita rasakan sekarang.


Oleh karena itu, hadirin salat Jumat Universitas Paramadina, khususnya para mahasiswa, mulai saat ini marilah kita bersama-sama berbuat untuk orang lain, orang-orang setelah kita. Marilah kita bersama-sama menanam pohon untuk mereka agar mereka dapat menikmati buah-buahan dari tanaman kita, hasil dari perbuatan kita, karena apa yang kita nikmati saat ini adalah hasil-hasil dari tanaman orang-orang sebelum kita.


Mudah-mudahan khotbah sederhana ini bermanfaat bagi kita semua untuk meningkatkan ketakwaan kita kepada allah swt.


Catatan: Ini adalah teks khotbah Jumat di Universitas Paramadina pada 21 November 2008

No comments: