Friday 8 August 2014

Idul Fitri dan Demokrasi Kita

Hadirin salat Jumat Universitas Paramadina yang berbahagia,

Pada pekan ini, kita masih berada dalam suasana Idul Fitri yang merupakan salah satu hari besar umat Islam di seluruh dunia. Idul Fitri yang baru saja kita rayakan begitu istimewa karena kita juga baru menyelesaikan pesta demokrasi dengan baik: pemilihan presiden 2014. Pemilihan presiden tahun ini begitu menggairahkan karena partisipasi masyarakat dalam berdemokrasi di Indonesia semakin meningkat.

Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam berdemokrasi menjadi hal positif bagi bangsa kita setelah Reformasi. Kita bisa melihat tanda-tandanya dari berbagai media sosial seperti Facebook, Twitter, dan lain sebagainya. Dari para pengguna media sosial tersebut, ada juga mungkin yang jenuh karena pemilihan presiden tahun ini. Setiap kali mereka membuka Facebook dan Twitter, mereka selalu menemukan muatan atau status yang secara eksplisit mendukung salah satu calon presiden.

Fenomena tersebut mengingatkan saya pada ungkapan Aung San Suu Kyi dalam The Lady (2011)—sebuah film yang disutradarai Luc Besson—bahwa “you may not think of politics but politics thinks of you.” Kita mungkin tidak suka berpolitik tapi politik tidak dapat kita hindari. Film yang dibintangi Michelle Yeoh tersebut sangat bagus karena itu menjelaskan bagaimana Aung San Suu Kyi berjuang untuk membangun demokrasi dengan baik di Myanmar.

Hadirin yang berbahagia,

Saya di sini tidak akan mengungkit kembali apakah Islam itu sejalan dengan demokrasi atau tidak. Bagi saya, persoalan itu sudah selesai. Banyak literatur lama yang menjelaskannya dengan baik. Kita bisa membaca Capita Selecta yang ditulis Pak Natsir, Demokrasi Kita yang ditulis Bung Hatta, dan lain sebagainya. Kita juga bisa membaca literatur kontemporer tentang hal tersebut seperti Islam dan Negara yang ditulis Bachtiar Effendi, Muslim Demokrat yang ditulis Saiful Mujani, dan Indonesia Kita yang ditulis Nurcholish Madjid.

Karya-karya di atas merupakan pemikiran jernih dari para pendiri bangsa yang telah berjuang untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Karena itu, kita sebaiknya tidak mudah mengharamkan demokrasi. Sebab, musyawarah mufakat sebagai landasan dalam kepemimpinan Islam menjadi pilar dalam berdemokrasi dan musyawarah mufakat tercatat dalam konstitusi negara kita.

Di dalam al-Qur’an (al-Syura:38), Allah swt menegaskan:
Dan [bagi] orang-orang yang menerima [mematuhi] seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka [diputuskan] dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rejeki yang kami berikan kepada mereka.
Di dalam al-Qur’an juga tidak ada konsep kepemimpinan atau pemerintahan yang baku. Yang ada hanya bimbingan atau garis besar dalam menegakkan kepemimpinan atau pemerintahan. Hal ini juga diamini oleh Ali Abd al-Raziq yang salah satu karyanya adalah al-Islam wa Nizham-u ‘l-Hukm. Dalam pandangannya, Islam tidak mengkhususkan bentuk pemerintahan tertentu. Karena itu, Islam membolehkan umatnya menciptakan pemerintahan yang demokratis (yang didasari musyawarah mufakat).

Hadirin yang berbahagia,

Moch. Nur Ichwan dalam tulisannya, Secularism, Islam and Pancasila: Political Debates on the Basis of the State in Indonesia, menyampaikan bahwa perdebatan tentang sekularisasi atau agama dan negara adalah fenomena modern. Di Barat, mereka datang setelah Pencerahan, dan di dunia Muslim, mereka datang bersama gelombang kolonisasi.

Di sebagian besar negara Muslim, perdebatan tentang Islam dan sekularisme berakhir dengan kemenangan satu atas yang lain, baik dengan kemenangan Islam, seperti di Pakistan, Iran, Arab Saudi, dan Malaysia; atau kemenangan sekularisme, seperti di Mesir, Turki, dan Tunisia. Indonesia berbeda!

Di Indonesia, perdebatan tentang persoalan tersebut diselesaikan dengan dialog untuk merumuskan ideologi yang disebut “Pancasila” yang sebenarnya “sekuler” karena itu bukan ideologi berbasis agama. Meski demikian, umat Islam Indonesia tidak menganggap Pancasila sebagai ideologi “sekuler” karena ia mengandung sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan empat sila yang lain tidak bertentangan dengan ajaran Islam seperti musyawarah mufakat yang merupakan prinsip dalam berdemokrasi.

Hadirin yang berbahagia,

Saya telah menyampaikan pada awal khotbah ini bahwa Idul Fitri atau lebaran yang baru saja kita rayakan adalah lebaran istimewa karena kita juga baru saja menyelesaikan pesta demokrasi dengan baik. Partisipasi masyarakat yang meningkat menjadi tren positif dan menjadi tanda bahwa kita semakin dewasa dalam berdemokrasi. Hal itu harus kita syukuri dan kita jaga. Ada pun kekurangannya harus kita tambahkan karena tantangan pasti akan selalu ada entah dari gerakan anti-demokrasi atau gerakan Islam radikal. ISIS yang sekarang menjadi perhatian dunia adalah salah satu contohnya.

Dalam hal Idul Fitri dan pesta demokrasi kita, saya sepakat dengan apa yang diungkapkan Ulil Abshar Abdalla dalam tulisannya, Lebaran Istimewa, bahwa kematangan sebuah bangsa tidak datang secara gratis. Ia akan diuji dengan fase-fase sulit. Jika suatu bangsa berhasil melalui fase-fase itu dengan baik, ia akan meningkat kematangannya sebagai sebuah bangsa. Pemilihan presiden tahun ini adalah salah satu di antara momen-momen politik yang menguji kematangan kebangsaan kita, dan kita sukses.

Jika perayaan Idul Fitri atau lebaran yang dimaknai sebagai sebuah perayaan kemenangan, maka lebaran tahun ini adalah perayaan kemenangan dalam pengertiannya yang komplit. Kita menang karena kita berhasil melalui tes spiritual melalui ritual puasa; dan juga bangsa Indonesia menang karena lulus melewati tes kebangsaan yang bukan main-main.

NB: Ini adalah teks khotbah Jumat di Universitas Paramadina pada 08 Agustus 2014.

No comments: