Wednesday 1 May 2019

Mengenang Ibu

“Geura bobo atuh. Ibu mah teu nanaon,” kata Ibu sambil terbaring dan beristigfar. Karena rasa kantuk tak tertahan, saya pun tertidur di klinik tapi salah satu teteh saya tetap terjaga. Saya tak pernah berpikir bahwa itu merupakan pesan terakhir Ibu.

Ibu adalah orang yang paling berpengaruh bagi kami, anak-anaknya. Sepertinya secara umum memang dalam sebuah keluarga, faktor yang paling berperan secara psikologis bagi anak-anak adalah ibu. Bagi saya sendiri, Ibu lebih dari itu. Ia teman curhat yang sebenarnya. Sering saya menelepon Ibu untuk sekadar bertanya kabar dan mengobrol, mengobrol tentang apa pun. Ada satu nasihatnya yang selalu tebersit: “Pokokna mah tulung tinulung bae.”

Semasa hidupnya yang coba saya ingat-ingat, Ibu memang orang yang selalu mengajarkan kepedulian kepada siapa pun. Ia memang tak pernah berpesan secara eksplisit tapi hal tersebut tak pernah luput dari perhatian saya. Banyak sepupu/saudara yang sempat ia asuh. Karena itu, saya tidak kaget ketika banyak orang datang bertakziah ke rumah. Bagi saya, perihal kepedulian ini sangat membekas.

Ketika Ibu pergi, saya tak kuasa menahan tangis meski saya sadar bahwa kami, anak-anaknya, harus ikhlas melepasnya. Ikhlas melepas Ibu ini seumpama ikhlas Ibu merelakan saya pergi ke Jakarta. Bila hendak berangkat, Ibu selalu mencium kedua pipi saya dan mengantar sampai ke depan rumah. Teladan itu selalu saya tiru.

Sampai saat ini, saya masih ingat bagaimana Ibu mendidik semasa Sekolah Dasar (SD). Sewaktu usaha warung makan, saya sering diminta Ibu untuk mencuci beras dan memeras kelapa untuk nasi uduk. Tak hanya itu, Ibu sering minta saya mencuci piring dan menyapu halaman. Bahkan, saya diajarkan untuk mencuci baju sendiri.

Sepulang mengaji dari bibi, saya bersama kakak selalu mengangkut air dari dapur ke warung di depan rumah. Kami berdua membantu Ibu mempersiapkan masakan untuk warung makannya. Mempersiapkan air dan hal-hal yang kira-kira bisa kami bantu sampai pukul sembilan malam. Karena itu, secara personal saya begitu dekat dengannya.

Ibu bersama saya (2017)
Namanya Uju Juz’aniah, lahir di sebuah kampung yang mungkin bisa dikatakan terpencil pada masanya, Kadugedong. Letaknya di Pandeglang, Banten. Setahu saya, Ibu dibesarkan dalam keluarga religius dan bergaul di lingkungan keagamaan. Semasa hidupnya, Ibu sering bercerita tentang masa kecilnya yang penuh dengan perjuangan dan kerja keras untuk menempuh pendidikan walaupun Ibu hanya tamatan Sekolah Rakyat (SR).

Pernah ia marah kepada saya dan kakak karena kami malas belajar. Omelan Ibu itu masih saya ingat betul sampai sekarang: “Yang gak sekolah ingin sekolah. Ini yang sudah sekolah malah malas sekolah.” Ibu bukan orang yang mengharapkan anaknya menjadi juara kelas atau unggul di antara yang lain tapi ia hanya ingin anaknya rajin belajar apa pun profesinya nanti. Sepertinya ini filosofi yang sangat mendasar untuk siapa pun.

Ia selalu mengajarkan kami agar senantiasa berbuat baik dan bersyukur. Saya tak tahu mengapa Ibu sering menyampaikan hal ini berulang-ulang. Belakangan saya mulai sadar: Ibu merupakan pribadi yang sederhana dan hidupnya tidak neko-neko.

Dalam beberapa kesempatan ke luar negeri, saya pasti menelepon Bapak dan Ibu untuk berkabar. Setiap kali saya tanya Ibu untuk oleh-oleh, dia pasti jawab: “Naon nyah. Entoslah anu penting mah salamet di jalan. Ibu mah entos bersyukur.”

Saya paham bahwa sebelumnya Ibu tak pernah membayangkan anaknya ke luar negeri tapi jawabannya, bagi saya, terasa begitu tulus. Pernah sepulang dari Sri Lanka (2012), Ibu langsung menangis dan memeluk saya sambil berkata: “Anak aing balik deui (ti luar negeri).”

Pengalaman berharga lain yang saya ingat dari Ibu adalah pesannya tentang kejujuran. Dalam agama-agama, kejujuran adalah perihal mendasar. Sebab, firman Tuhan tak mungkin disampaikan melalui lisan si pembohong. Karena itu, dalam Islam, di antaranya, Nabi Muhammad adalah orang yang jujur dalam hidupnya sehingga mendapat kepercayaan masyarakat dan gelar dengan­ al-amî(orang yang terpercaya).

Ibu tentu tak bisa menjelaskan konsep kejujuran dalam agama-agama itu. Tapi, ia sering berpesan tentang itu. Pada 2004, saya mengabdi di sebuah pondok pesantren di Pandeglang. Dalam masa pengabdian itu, tidak ada insentif. Kalaupun ada, ala kadarnya. Ibu tahu hal tersebut tapi malah berpesan agar tetap mempertahankan kejujuran dalam hidup. Saya tak ingat persis perkataannya tapi pada intinya, kalau kita jujur, rezeki mah bakal ada saja.

Ibu memang meninggalkan kami semua pada 13 April 2019/07 Syakban 1440. Namun, pesan-pesannya pasti akan selalu kami ingat dan teladannya pasti akan kami amalkan. Tulisan ini hanya sebagian kecil saja dari apa yang telah Ibu berikan. Tulisan ini hanya sekadar ungkapan rindu kepada Ibu. Terima kasih, Ibu.

2 comments:

Anonymous said...

Assalamu'alaikum Kang Dida. Turut berduka ya Kang. Semoga keluarga dapat ikhlas sepenuhnya. Semoga almarhumah ibunda mendapat ampunan dari Allah SWT dan dimuliakan di sisi-Nya. Amiiin ya Rabb (Reni)

Catatan Dida said...

amin. hatur nuhun Reni, mohon doanya aja untuk ibu