Friday 26 September 2008

Hati, Diri, dan Jiwa

7 comments:
Perbincangan mengenai psikologi sufi tidak pernah surut ditelan masa walaupun bagi sebagian orang yang hidup di jaman modern hal tersebut tidak terlalu signifikan dan cenderung memuakkan. Karena, gaya hidup yang ada di jaman tersebut adalah gaya hidup yang serba rasional dan sekular seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi. Padahal, kenyataannya orang yang hidup di jaman modern yang serba rasional dan sekular yang ditopang oleh perkembangan teknologi dan informasi tidak dapat melepaskan belenggu dirinya dari kebutuhan terhadap dimensi spiritualitas yang kita sebut sebagai psikologi sufi.

Psikologi sufi, merupakan bagian dari perkembangan disiplin pengetahuan tasawuf (tashawwuf) dalam Islam. Pengetahuan tersebut adalah salah satu dari empat pilar disiplin pengetahuan dalam Islam yang harus dikuasai oleh umatnya. Empat pilar pengetahuan tersebut adalah fikih (fiqh), kalam (kalâm), filsafat (falsafah), dan tasawuf (tashawwuf) (Nurcholish Madjid, 1992: 205). Sesuai dengan disiplinnya, tasawuf memiliki tingkatan teratas karena dalam pengertiannya yang universal tasawuf mencakup dimensi mistik dan mengakui kebenaran mendasar dari seluruh agama. Agama bagaikan sebatang pohon yang berakar pada amalan-amalan dan memiliki dahan-dahan mistisisme serta berbuah kebenaran. Oleh karena itu, orang yang telah berhasil mencapai tingkatan ini selalu mencari persamaan daripada perbedaan.

Hati, Diri, dan Jiwa: Psikologi Sufi untuk Transformasi, terj. Hasmiyah Rauf (Jakarta: Serambi, 2005) adalah sebuah buku yang telah ditulis oleh seorang mursyid sufi dan profesor psikologi pada Institute of Transpersonal Psychologi, California, Robert Frager, mengulas komparasi tajam antara psikologi Barat dan psikologi sufi yang menjelaskan secara tegas bahwa tasawuf merupakan pendekatan holistik yang mengintegrasikan fisik, psikis, dan spirit serta membimbing jiwa untuk tidak terjebak ke dalam bahaya model yang linear dan dan hirarkis, yang cenderung mengesampingkan dan membenarkan penindasan terhadap kaum perempuan dan minoritas. Tasawuf adalah disiplin pengetahuan (spiritual) yang dapat dimiliki oleh budaya, siapa pun, kapan pun, dan di mana pun.

Dalam buku tersebut, Robert Frager menjelaskan pengertian masing-masing dari hati, diri, dan jiwa. Kita terkadang keasyikan dalam mendengarkan lagu atau dalam percakapan sehari-hari mengatakan tiga hal tersebut tanpa mengetahui pengertian atau definisi masing-masing. Berbicara tentang hati, berbicara tentang diri, dan berbicara tentang jiwa tanpa mengetahui perbedaan pengertian dari ketiganya bagaikan “tong kosong nyaring bunyinya”. Bagi saya, buku Hati, Diri, dan Jiwa: Psikologi Sufi untuk Transformasi ini adalah sebuah buku yang teramat menarik untuk dibaca. Penjelasan tentang isi buku tidak membosankan karena disertai dengan cerita-cerita sufistik yang lucu namun kelucuan cerita-cerita sufistik tersebut tidak mendistorsi hikmah maupun pesan yang hendak disampaikan kepada para pembaca.

Hati dijelaskan sebagai sesuatu yang identik dengan spiritualitas. Ketulusan, niat baik, belas kasih, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan spiritualitas bersumber dari hati. Maka, kita cenderung mengatakan bahwa orang yang tidak memiliki ketulusan, niat baik, belas kasih, dan lain sebagainya tidak memiliki hati. Dalam psikologi sufi, hati memiliki kecerdasan dan kearifan terdalam. Kecerdasan yang dimiliki oleh hati lebih mendalam dan mendasar daripada kecerdasan yang kecerdasan yang cenderung abstrak, yang dimiliki oleh akal kita. Hati juga menyimpan roh ilahiah. Karenanya, bagi para sufi hati adalah kuil Tuhan dan rumah cinta. Semakin kita menggunakan hati kita untuk belajar mencintai orang lain, kita semakin mampu mencintai Tuhan.

Sedangkan diri atau nafs dalam psikologi sufi adalah sebuah aspek psikis pertama yang menjadi musuh kita. Tapi, nafs bisa menjadi teman yang sangat berharga bagi kita dan tak terhingga nilainya. Secara sederhana nafs memiliki beberapa tingkatan. Tingkat terendah adalah nafs tirani. Ia merupakan nafs yang dapat menjauhkan kita dari spritualitas. Pada sisi yang lain, tingkat tertinggi adalah nafs yang suci. Pada tingkat ini, kepribadian mencapai tingkat yang optimal bagaikan mencapai tingkat kesempurnaan yang dapat memantulkan cahaya Ilahi.

Terakhir, jiwa. Dalam psikologi sufi, jiwa diidentikkan dengan sesuatu yang selalu berevolusi. Jiwa memiliki tujuh aspek: mineral, nabati, hewani, pribadi, insani, rahasia, dan maharahasia. Setiap aspek memiliki penjelasan masing-masing dan ditulis dalam bab khusus. Namun secara umum, ketujuh aspek jiwa tersebut dapat dicapai secara bertahap dan tasawuf bertujuan agar ketujuh tingkat kesadaran ini bekerja secara seimbang dan harmonis.

Tasawuf memberikan pendekatan yang sangat holistik, sehingga jiwa terhindar dari bahaya model linear dan hirarkis yang digunakan untuk pembenaran dalam melakukan penindasan terhadap kaum perempuan dan minoritas. Ketujuh aspek jiwa kita mampu mengintegrasikan fisik, psikis, spiritual. Aspek kehidupan fisik kita ditopang oleh kearifan mineral, nabati, dan hewani sejak dahulu kala. Fungsi psikis kita berakar dari jiwa pribadi. Sedangkan, jiwa insani, jiwa rahasia, dan jiwa maharahasia berada dalam hati spiritual. Jiwa insani adalah tempat kasih sayang dan kreativitas. Jiwa rahasia adalah tempat berzikir kepada Tuhan dan jiwa maharahasia adalah percikan ilahiah yang tak terbatas.

Demikian, Robert Frager menjelaskan pengertian tentang hati, diri, dan jiwa. Penjelasan yang begitu sederhana namun memiliki pengertian yang teramat dalam. Selain menjelaskan hati, diri, dan jiwa, ia juga menjelaskan berbagai amalan tasawuf, bagaimana hubungan antara syekh dan darwis untuk bimbingan spiritual dalam tasawuf, dan menyingkap tabir, yang mungkin penjelasan tentang hal-hal tersebut tidak dapat diuraikan dalam tulisan yang sangat sederhana ini dan memiliki banyak kekurangan. Akhirnya, hanya kepada Allah kita berserah diri. Wa Allâh-u a‘lam bi ‘l-shawâb

*Tulisan ini telah dimuat di Tabloid al-Shahifah DKM Universitas Paramadina, Edisi Ramadhan 1429 H./01/IX/2008 M.

Friday 19 September 2008

Gerakan Pembaruan Islam Awal di Minangkabau

2 comments:

Kira-kira pada akhir abad ke-18/19 orang-orang Islam di Indonesia mulai menyadari bahwa mereka tidak mampu untuk berkompetisi dengan pihak-pihak yang mempunyai dukungan dan kekuasaan dari kolonialisme Belanda, menetrasi gerakan-gerakan yang dilancarkan oleh para penganut agama Kristen dan perjuangan untuk maju di masa depan apabila mereka tidak melakukan pembaruan-pembaruan dan terus melanjutkan praktek-praktek yang bersifat tradisional dalam mengembangkan, membangkitkan, dan menegakkan Islam.

Mereka mulai menyadari bahwa pentingnya perubahan-perubahan inovatif, apakah dengan cara menggali kembali khazanah intelektual Islam pada abad pertengahan yang mampu mencapai masa keemasannya dalam peradaban sehingga berpotensi untuk mengungguli peradaban-peradaban lain yang ada di dunia (salah satunya adalah dari segi ilmu pengetahuan) ataukah dengan cara mengadopsi metode-metode lain yang dipakai oleh negara-negara kolonial yang menguasai Indonesia dan para missionaris Kristen.

Kegelisahan inilah yang melatarbelakangi umat Islam di Indonesia untuk melakukan pembaruan dengan merekonstruksi pemikiran-pemikiran keagamaan yang sedang berkembang dan mengakar saat itu. Mau tidak mau, mereka harus menyadari betapa mereka tertinggal dari umat-umat yang lain dalam hal pengetahuan, infrastruktur masyarakat, dan lain sebagainya.

Setidak-tidaknya, ketika kita berbicara tentang “Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia”, kita harus memulai dari salah satu daerah yang terdapat di kepulauan Sumatera Barat yaitu Minangkabau, mengingat pentingnya peranan daerah tersebut dalam penyebaran gerakan-gerakan pembaruan ke daerah-daerah lain yang ada di Indonesia. Tapi juga, karena di daerah inilah terdapat berbagai indikasi dari gerakan-gerakan pembaruan yang ketika itu daerah-daerah lain di Indonesia merasa puas dan berkecukupan dengan gerakan-gerakan tradisional yang masih mereka lakukan. Maka dalam tulisan ini, akan diulas aspek-aspek penting dalam “Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia” – walaupun sukar untuk dikategorikan sebagai sebuah ulasan yang sempurna dan komprehensif – hal-hal yang kira-kira meliputi asal usul dan pertumbuhan dari gerakan-gerakan pembaruan di daerah tersebut.

Minangkabau, Tempat Para Pembaru Awal

Seperti yang telah diungkapkan di atas bahwa daerah yang paling memiliki peranan dalam pembaruan-pembaruan pemikiran Islam di Indonesia adalah Minangkabau yang terletak di kepulauan Sumatera bagian barat. Banyak sekali tokoh-tokoh pembaruan Islam yang berasal dari daerah tersebut, dari mulai Syaikh Ahmad Khatib, Agus Salim, sampai M. Natsir dan lain sebagainya dilahirkan dan dibesarkan di sana.

Dari sekian tokoh-tokoh tersebut Syaikh Ahmad Khatib adalah pembaru pertama, yang lahir pada tahun 1855 di Bukittinggi, di tengah-tengah keluarga yang kental dengan tradisi keagamaan dan adat istiadat yang kuat. Ia adalah seorang yang telah memperoleh pendidikan rendah namun mampu belajar ke Mekkah pada tahun 1876, di mana ia mendapatkan gelar yang tertinggi selaku imam besar dari mazhab Syafi’i di Masjidil Haram dan merupakan salah satu dari jaringan ulama internasional. Melalui dirinya pembaruan pemikiran Islam di Indonesia bermula.

Dikarenakan ia seorang penganut mazhab Imam Syafi’i maka ia tak kuasa untuk berpaling darinya atau meninggalkannya. Pemikiran keagamaannya cenderung berseberangan dengan para pembaru lain yang berasal dari Timur Tengah, khususnya Mesir, yang terwakili oleh Muhammad Abduh. Namun, walaupun begitu adanya, ia tidak pernah melarang murid-muridnya untuk membaca karya-karya dari Muhammad Abduh dengan tujuan agar mereka menolak pandangan-pandangannya berdasarkan pada pemahaman mereka sendiri terhadap agama. Sedangkan mengenai permasalahan-permasalahan yang terjadi di Minangkabau, Syaikh Ahmad Khatib terkenal sangat menolak aliran Thariqat Naqsyabandiyah dan peraturan pembagian hak waris yang berlaku di masyarakat karena menurutnya sudah tidak sejalan dengan pesan inti ajaran Islam. Kedua hal ini menjadi polemik/perdebatan yang terus menerus diperbincangkan oleh para pembaru lain di masanya.

Para pembaru lain di Minangkabau adalah Syaikh Thaher Djalaluddin yang mencoba melakukan gerakan-gerakan pembaruan dengan cara dengan menerbitkan majalah yang bernama Al-Imam berisi tentang isu-isu kontemporer seputar dunia Islam agar dapat meyakinkan dan membangkitkan semangat umat Islam bahwa mereka tidak ketinggalan dan mampu berkompetisi dengan Barat, serta mendirikan sekolah yang bernama Al-Iqbal al-Islamiyah di Singapura bersama Raja Haji Ali bin Ahmad.

Selain Syaikh Thaher Djalaluddin, ada juga beberapa tokoh pembaru Islam di Minangkabau seperti Syaikh Muhammad Djamil Djambek (disingkat Syaikh Djambek), yang telah dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1860. Ia – tidak berbeda jauh dengan Syaikh Ahmad Khatib – telah memperoleh pendidikan dari Mekkah. Setelah kembali dari sana ia memberikan pelajaran-pelajaran agama dengan memanfaatkan cara-cara tradisional. Tepatnya pada tahun 1913 ia mendirikan sebuah organisasi yang bernama Tsamaratul Ikhwan di Bukittinggi dengan tidak berorientasi untuk mencari keuntungan.

Setelah Syaikh Djambek ada Haji Abdul Karim Amrullah yang biasa dipanggil dengan Haji Rasul. Ia dilahirkan di Maninjau pada tahun 1879. ia memperoleh pendidikan elementer tradisional dan tepatnya pada tahun 1894 ia berangkat ke Mekkah untuk belajar di sana. Setelah kembali dari sana ia mengajar ke berbagai daerah di Minangkabau tanpa terikat dengan suatu tempat tertentu.

Kemudian ada Haji Abdullah Ahmad yang lahir di Padang pada tahun 1878. Ia adalah seorang ulama muda yang berpendapat bahwa dulu ketika ia belum bergerak bersama kawan-kawanya masayarakat telah diperosokkan ke limbah kesengsaraan oleh guru-guru dan pedagang-pedagang yang tidak benar (Abdullah, 1987: 88). Dengan alasan itulah ia melakukan pembaruan pemikiran Islam dengan mendirikan berbagai majalah yang di antaranya adalah Al-Munir, Al-Akhbar, dan lain sebagainya.

Penutup

Apabila kita mengamati perjuangan dari para pembaru awal di Indonesia maka kita bisa belajar bahwa perjuangan yang telah dilakukan didorong oleh realita sosial umat Islam ketika itu yang menuntut pencerahan. Gerakan-gerakan pembaruan tersebut dapat menjadi motivasi bagi kita untuk tetap mempertahankan tradisi-tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi-tradisi baru yang lebih baik, untuk tetap memelihara gagasan-gagasan lama yang baik dan mengambil gagasan-gagasan baru yang lebih baik demi kepentingan umat Islam.

Para pembaru Islam yang ada di seluruh pelosok dunia memiliki corak pemikiran masing-masing namun permasalahan yang dihadapi cenderung sama yaitu ketertinggalan umat Islam dari umat-umat lain. Relasi antara para pembaru Islam di Indonesia dengan para pembaru Islam di Timur Tengah saling menginspirasi satu sama lain. Para pembaru Islam di Indonesia terinspirasi dari para pembaru Islam dan sebaliknya. Wallahu a‘lamu bi ‘l-shawab

* Tulisan ini telah dimuat di Pendar Pena Nomor 9, Tahun 1, Agustus 2008

Saturday 6 September 2008

Mereguk Hikmah di Bulan Ramadhan

No comments:
Bulan Ramadhan adalah bulan suci yang selalu dinanti-nanti oleh setiap Muslim di seluruh penjuru dunia. Khususnya di Indonesia (yang mayoritas penduduknya beragama Islam), merupakan sebuah tradisi ketika datang Bulan Ramadhan banyak acara-acara dan iklan-iklan yang ditayangkan di televisi maupun media-media lain untuk menyambut dan memeriahkan bulan penuh hikmah tersebut. Tak lain, itu semua diadakan karena kegembiraan dan kerinduan yang dalam dan tiada tara kepadanya.

Bulan Ramadhan, Bulan Penuh Hikmah

Bulan Ramadhan adalah bulan yang paling istimewa di antara sebelas bulan lainnya bagi umat Islam. Mengapa demikian? Di dalam Bulan Ramadhan banyak sekali hikmah-hikmah yang dapat kita petik. Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa sepuluh hari pertama di bulan tersebut penuh dengan kasih sayang (rahmat), sepuluh hari kedua penuh dengan ampunan (maghfirah), dan sepuluh hari ketiga terhindar dari api neraka (‘itq-un min al-nâr). Bahkan, hasil dari seluruh amal baik yang kita lakukan akan dibalas dengan berlipat ganda oleh Allah swt.

Salah satu keistimewaan dari Bulan Ramadhan adalah turunnya al-Qur’an pertama kali atau yang sering kita kenal dengan istilah Nuzûl-u ‘l-Qur’ân di bulan itu. Seperti yang tercatat dalam QS 02: 185: “Bulan Ramadhan adalah bulan yang diturunkan di dalamnya (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang baik dan yang benar).” Dengan demikian, sudah menjadi tradisi bagi masyarakat kita untuk memperingati Nuzûl-u ‘l-Qur’ân setiap tahun.

Selain itu, ada lagi satu keistimewaan pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan yakni Laylat-u ‘l-Qadr. Ini adalah salah satu momen yang ditunggu-tunggu oleh orang-orang beriman karena ia lebih baik daripada seribu bulan, yang mana pada malam itu para malaikat dengan ijin Tuhannya turun untuk mengatur setiap urusan, maka malam itu penuh dengan kesejahteraan sampai terbit fajar (QS 97: 1-5).

Secara bahasa, Laylat-u ‘l-Qadr berarti “Malam Kepastian” atau “Malam Kemuliaan”, yang terdapat pada malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir di Bulan Ramadhan. Maka, pada malam-malam tersebut setiap Muslim dianjurkan untuk ber-i‘tikâf dengan penuh konsentrasi di masjid untuk memperoleh keberkahan dari malam tersebut. Dan Laylat-u ‘l-Qadr juga adalah malam diturunkannya al-Qur’an. Tapi, di Indonesia ada sebuah tradisi untuk memperingati hari turunnya (permulaan) al-Qur’an yakni Nuzûl-u ‘l-Qur’ân pada tanggal 17 Ramadhan, berbeda dengan waktu adanya Laylat-u ‘l-Qadr. Itulah beberapa hikmah yang dapat kita petik di Bulan Ramadhan, bulan suci yang penuh dengan rahmat, maghfirah, dan ‘itq-un min al-nâr.

Sesungguhnya, banyak sekali hikmah-hikmah yang mungkin belum kita ketahui, tapi hikmah-hikmah tersebut tidak dapat kita petik tanpa menunaikan ibadah-ibadah wajib maupun sunnah di bulan tersebut yang dilandaskan pada keikhlasan dalam mencari ridha Allah swt.

Berpuasa di Bulan Ramadhan

Yang paling esensial dari seluruh ibadah orang-orang beriman adalah berpuasa di Bulan Ramadhan. Puasa adalah sebuah kewajiban yang sudah ada sejak umat-umat sebelum kita dan bertujuan agar kita bertakwa (QS 02: 183). Dan berpuasa di Bulan Ramadhan merupakan sebuah pelatihan kita dalam beribadah kepada Sang Pencipta yang memiliki dampak personal maupun sosial.

Puasa dalam bahasa Arab berarti al-shawm yang berarti juga al-imsâk. Sedang al-imsâk berarti menahan. Maka puasa adalah menahan diri dari makan, minum, dan segala sesuatu hal yang membatalkannya dari mulai terbitnya sampai tenggelamnya fajar. Namun, jika dikaji lebih dalam lagi berpuasa di Bulan Ramadhan berarti juga menahan diri dari hal-hal yang bersifat negatif dari diri kita sendiri seperti meninggalkan gosip (ghîbah) dan lain sebagainya.

Di samping itu, berpuasa di Bulan Ramadhan memberikan kita latihan untuk menumbuh-kembangkan kesadaran personal yakni berbuat jujur terhadap diri sendiri sebagai bukti kecintaan kita kepada Allah swt. Karena, ibadah puasa bersifat tersembunyi (makhfî) dan tidak pernah ada yang dapat membuktikan jika seorang individu itu berpuasa atau tidak. Maka jelaslah bahwa puasa mendidik kita sebagai orang-orang yang beriman untuk senantiasa bertakwa kepada Sang Pencipta melalui kejujuran terhadap diri sendiri.

Yang tidak kalah penting dari kesadaran personal dalam berpuasa di Bulan Ramadhan adalah kesadaran sosial. Agama Islam adalah agama yang selalu mengajarkan umat untuk senatiasa menumbuh-kembangkan kesadaran sosial dalam bermasyarakat yang salah satunya adalah berpuasa di Bulan Ramadhan. Puasa, selain memberikan kita latihan untuk menumbuh-kembangkan kesadaran personal juga memberikan kita latihan untuk menumbuh-kembangkan kesadaran sosial. Dengan berpuasa kita menahan haus dan lapar yang secara tidak langsung mendidik kita agar ikut merasakan apa yang diderita oleh saudara-saudara kita yang kelaparan dan memiliki keterbatasan usaha. Dengan demikian, kita mampu menyadari bahwa penderitaan tersebut harus dihilangkan secara bersama sebagai bukti kesadaran sosial kita dalam berpuasa.

Kesimpulan

Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh hikmah. Berpuasa di Bulan Suci tersebut merupakan sebuah kewajiban yang memiliki makna yang dalam dan dampak personal serta sosial yang tinggi. Semua umat Islam selalu bergembira menyambut kedatangannya dan selalu meningkatkan volume ibadahnya agar dapat meraih hikmah dan keberkahan di dalamnya. Tapi, hikmah maupun berkah dari Bulan Ramadhan tidak hanya dapat kita raih pada bulan suci tersebut melainkan hikmah maupun berkah dari Bulan Ramadhan juga dapat kita raih pada sebelas bulan lainnya. Peningkatan volume ibadah kita di Bulan Ramadhan bisa menjadi sebuah berkah yang sesungguhnya apabila kita tetap mempertahankannya di sebelas bulan lainnya.

*Tulisan ini telah dimuat di Buletin Jumat al-Shahîfah DKM Universitas Paramadina, Jakarta