Kira-kira pada akhir abad ke-18/19 orang-orang Islam di Indonesia mulai menyadari bahwa mereka tidak mampu untuk berkompetisi dengan pihak-pihak yang mempunyai dukungan dan kekuasaan dari kolonialisme Belanda, menetrasi gerakan-gerakan yang dilancarkan oleh para penganut agama Kristen dan perjuangan untuk maju di masa depan apabila mereka tidak melakukan pembaruan-pembaruan dan terus melanjutkan praktek-praktek yang bersifat tradisional dalam mengembangkan, membangkitkan, dan menegakkan Islam.
Mereka mulai menyadari bahwa pentingnya perubahan-perubahan inovatif, apakah dengan cara menggali kembali khazanah intelektual Islam pada abad pertengahan yang mampu mencapai masa keemasannya dalam peradaban sehingga berpotensi untuk mengungguli peradaban-peradaban lain yang ada di dunia (salah satunya adalah dari segi ilmu pengetahuan) ataukah dengan cara mengadopsi metode-metode lain yang dipakai oleh negara-negara kolonial yang menguasai Indonesia dan para missionaris Kristen.
Kegelisahan inilah yang melatarbelakangi umat Islam di Indonesia untuk melakukan pembaruan dengan merekonstruksi pemikiran-pemikiran keagamaan yang sedang berkembang dan mengakar saat itu. Mau tidak mau, mereka harus menyadari betapa mereka tertinggal dari umat-umat yang lain dalam hal pengetahuan, infrastruktur masyarakat, dan lain sebagainya.
Setidak-tidaknya, ketika kita berbicara tentang “Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia”, kita harus memulai dari salah satu daerah yang terdapat di kepulauan Sumatera Barat yaitu Minangkabau, mengingat pentingnya peranan daerah tersebut dalam penyebaran gerakan-gerakan pembaruan ke daerah-daerah lain yang ada di Indonesia. Tapi juga, karena di daerah inilah terdapat berbagai indikasi dari gerakan-gerakan pembaruan yang ketika itu daerah-daerah lain di Indonesia merasa puas dan berkecukupan dengan gerakan-gerakan tradisional yang masih mereka lakukan. Maka dalam tulisan ini, akan diulas aspek-aspek penting dalam “Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia” – walaupun sukar untuk dikategorikan sebagai sebuah ulasan yang sempurna dan komprehensif – hal-hal yang kira-kira meliputi asal usul dan pertumbuhan dari gerakan-gerakan pembaruan di daerah tersebut.
Minangkabau, Tempat Para Pembaru Awal
Seperti yang telah diungkapkan di atas bahwa daerah yang paling memiliki peranan dalam pembaruan-pembaruan pemikiran Islam di Indonesia adalah Minangkabau yang terletak di kepulauan Sumatera bagian barat. Banyak sekali tokoh-tokoh pembaruan Islam yang berasal dari daerah tersebut, dari mulai Syaikh Ahmad Khatib, Agus Salim, sampai M. Natsir dan lain sebagainya dilahirkan dan dibesarkan di sana.
Dari sekian tokoh-tokoh tersebut Syaikh Ahmad Khatib adalah pembaru pertama, yang lahir pada tahun 1855 di Bukittinggi, di tengah-tengah keluarga yang kental dengan tradisi keagamaan dan adat istiadat yang kuat. Ia adalah seorang yang telah memperoleh pendidikan rendah namun mampu belajar ke Mekkah pada tahun 1876, di mana ia mendapatkan gelar yang tertinggi selaku imam besar dari mazhab Syafi’i di Masjidil Haram dan merupakan salah satu dari jaringan ulama internasional. Melalui dirinya pembaruan pemikiran Islam di Indonesia bermula.
Dikarenakan ia seorang penganut mazhab Imam Syafi’i maka ia tak kuasa untuk berpaling darinya atau meninggalkannya. Pemikiran keagamaannya cenderung berseberangan dengan para pembaru lain yang berasal dari Timur Tengah, khususnya Mesir, yang terwakili oleh Muhammad Abduh. Namun, walaupun begitu adanya, ia tidak pernah melarang murid-muridnya untuk membaca karya-karya dari Muhammad Abduh dengan tujuan agar mereka menolak pandangan-pandangannya berdasarkan pada pemahaman mereka sendiri terhadap agama. Sedangkan mengenai permasalahan-permasalahan yang terjadi di Minangkabau, Syaikh Ahmad Khatib terkenal sangat menolak aliran Thariqat Naqsyabandiyah dan peraturan pembagian hak waris yang berlaku di masyarakat karena menurutnya sudah tidak sejalan dengan pesan inti ajaran Islam. Kedua hal ini menjadi polemik/perdebatan yang terus menerus diperbincangkan oleh para pembaru lain di masanya.
Para pembaru lain di Minangkabau adalah Syaikh Thaher Djalaluddin yang mencoba melakukan gerakan-gerakan pembaruan dengan cara dengan menerbitkan majalah yang bernama Al-Imam berisi tentang isu-isu kontemporer seputar dunia Islam agar dapat meyakinkan dan membangkitkan semangat umat Islam bahwa mereka tidak ketinggalan dan mampu berkompetisi dengan Barat, serta mendirikan sekolah yang bernama Al-Iqbal al-Islamiyah di Singapura bersama Raja Haji Ali bin Ahmad.
Selain Syaikh Thaher Djalaluddin, ada juga beberapa tokoh pembaru Islam di Minangkabau seperti Syaikh Muhammad Djamil Djambek (disingkat Syaikh Djambek), yang telah dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1860. Ia – tidak berbeda jauh dengan Syaikh Ahmad Khatib – telah memperoleh pendidikan dari Mekkah. Setelah kembali dari sana ia memberikan pelajaran-pelajaran agama dengan memanfaatkan cara-cara tradisional. Tepatnya pada tahun 1913 ia mendirikan sebuah organisasi yang bernama Tsamaratul Ikhwan di Bukittinggi dengan tidak berorientasi untuk mencari keuntungan.
Setelah Syaikh Djambek ada Haji Abdul Karim Amrullah yang biasa dipanggil dengan Haji Rasul. Ia dilahirkan di Maninjau pada tahun 1879. ia memperoleh pendidikan elementer tradisional dan tepatnya pada tahun 1894 ia berangkat ke Mekkah untuk belajar di sana. Setelah kembali dari sana ia mengajar ke berbagai daerah di Minangkabau tanpa terikat dengan suatu tempat tertentu.
Kemudian ada Haji Abdullah Ahmad yang lahir di Padang pada tahun 1878. Ia adalah seorang ulama muda yang berpendapat bahwa dulu ketika ia belum bergerak bersama kawan-kawanya masayarakat telah diperosokkan ke limbah kesengsaraan oleh guru-guru dan pedagang-pedagang yang tidak benar (Abdullah, 1987: 88). Dengan alasan itulah ia melakukan pembaruan pemikiran Islam dengan mendirikan berbagai majalah yang di antaranya adalah Al-Munir, Al-Akhbar, dan lain sebagainya.
Penutup
Apabila kita mengamati perjuangan dari para pembaru awal di Indonesia maka kita bisa belajar bahwa perjuangan yang telah dilakukan didorong oleh realita sosial umat Islam ketika itu yang menuntut pencerahan. Gerakan-gerakan pembaruan tersebut dapat menjadi motivasi bagi kita untuk tetap mempertahankan tradisi-tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi-tradisi baru yang lebih baik, untuk tetap memelihara gagasan-gagasan lama yang baik dan mengambil gagasan-gagasan baru yang lebih baik demi kepentingan umat Islam.
Para pembaru Islam yang ada di seluruh pelosok dunia memiliki corak pemikiran masing-masing namun permasalahan yang dihadapi cenderung sama yaitu ketertinggalan umat Islam dari umat-umat lain. Relasi antara para pembaru Islam di Indonesia dengan para pembaru Islam di Timur Tengah saling menginspirasi satu sama lain. Para pembaru Islam di Indonesia terinspirasi dari para pembaru Islam dan sebaliknya. Wallahu a‘lamu bi ‘l-shawab
* Tulisan ini telah dimuat di Pendar Pena Nomor 9, Tahun 1, Agustus 2008
2 comments:
gerakan pembaruan dari minangkabau menyebar ke tanah jawa, termasuk dengan mendirikan banyak cabang muhamadiyah sebagai salah satu institusi representasi pembaruan islam, sampai hari ini gerakan pembaruan selalu mengalami "pembaruan"nya sendiri mengikuti kemajuan konteks... saya menyesal dengan Persis yang sekarang banyak menyebar di jawa barat, kenapa institusi pembaruan islam ini kurang melakukan "pembaruan", jika tidak dikatakan sama sekali? tanggapannya bung Dida?
yandi
saya memang tidak dibesarkan dalam tradisi Persis, Kang. namun, saya ingin menanggapi. menurut saya, organisasi keagamaan di Indonesia harus menyesuaikan gerakan dengan semangat jaman. dalam pandangan saya, NU dan Muhammadiyah relatif berhasil dalam hal ini. mereka mampu melahirkan kader-kader yang bisa memberikan penyegaran pemikiran di Indonesia. mereka juga bisa meninggalkan isu2 lama yang memang tidak relevan lagi dengan jaman sekarang. dulu mereka berdebat dalam soal ziarah kubur, sekarang mereka meninggalkan perdebatan tersebut.
Post a Comment