www.kautsar.co.id |
Berstatus jomlo memberikan berkah tersendiri. Sehingga, saya pada Sabtu sore, 15 November 2014, berkunjung ke Gramedia untuk mengisi akhir pekan di Plaza Kalibata. Dari sana, cerita ini bermula.
Saya berkeliling melihat-lihat berbagai macam buku yang terpajang. Ada dua buku menarik yang membuat saya terpaksa merogoh kocek lagi: (1) Piagam Madinah (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014); (2) Max Havelaar (Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2014).
Buku pertama ditulis H. Zainal Abidin Ahmad dan buku kedua ditulis Multatuli, nama samaran dari Eduard Douwes Dekker. Meski dua buku tersebut menarik dibaca, perhatian saya lebih fokus pada Piagam Madinah. Sebab, buku itu lebih membuat saya penasaran dan buku itu juga lebih tipis sich daripada buku kedua.
Saya di sini tidak ingin membandingkan mana yang lebih baik di antara dua buku yang saya sebutkan di atas. Bagi saya, dua buku tersebut tidak bisa dibandingkan satu sama lain karena perbedaan kajian yang mendasar. Saya hanya ingin bercerita tentang buku pertama saja.
Karena tidak ada acara bola yang penting, saya pun mengisi malam Minggu (para jomlo) dengan membaca buku itu dari awal sampai akhir. Saya hanya membutuhkan kurang lebih 6 jam untuk membaca buku yang terdiri dari 268 halaman. Tentu saja membacanya dibantu sajian kopi dan temannya.
Dalam buku tersebut, terdapat teks Piagam Madinah lengkap—disertai komentar dan kritik dari para sarjana Muslim maupun Barat—yang dikompilasi Zainal Abidin Ahmad. Hal itu yang membuat saya rela membelinya meski pengeluaran bulan ini di luar dugaan. Sebab, biaya pindah indekos besar juga euy.
Dalam pembacaan saya, Piagam Madinah yang disusun Nabi Muhammad saw pada masa itu memang dahsyat. Pasal-pasal yang tercantum melampaui zamannya, sehingga piagam tersebut bisa diklaim sebagai konstitusi tertulis pertama di dunia. Prinsip-prinsip kesetaraan tanpa mengunggulkan satu suku/golongan di atas yang lain terukir di sana.
Salah satu hal paling menarik dalam Piagam Madinah adalah penggunaan kata “ummah” (umat dalam bahasa Indonesia). Dengan kata tersebut, Nabi saw berusaha menyatukan setiap golongan ke dalam tatanan bangsa-negara (ummah) dengan ungkapan bahwa “kaum Yahudi dari suku Bani Auf adalah satu bangsa-negara dengan warga yang beriman” dan “kaum Yahudi bebas memeluk agama mereka sebagaimana kaum Muslimin bebas memeluk agama mereka.”
Di samping itu, mereka dan umat-umat minoritas lain diberikan hak sama dengan orang-orang beriman. Dengan kata lain, seluruh aturan yang tertulis dalam Piagam Madinah tidak membeda-bedakan satu umat dari yang lain. Nabi saw bahkan tidak mengistimewakan orang-orang beriman.
Selain Piagam Madinah, dalam buku tersebut ada juga surat perjanjian Nabi saw kepada kelompok Kristen Najran yang antara lain diungkapkan di sana bahwa umat Islam harus membantu umat Kristen, sehingga jika mereka membutuhkan dana/bantuan untuk membangun gereja-gereja mereka, hendaklah mereka dibantu bukan sebagai utang, tetapi sebagai bantuan yang tulus.
Inilah renungan saya setelah membaca Piagam Madinah yang dikompilasi Zainal Abidin Ahmad. Saya merasa berutang budi karena kerja ilmiahnya telah menemani kesepian pada akhir pekan. Meski begitu, saya tidak selalu sepakat dengan pandangan-pandangannya.
No comments:
Post a Comment