“... apa yang kita “cutat” dari Kalam Allah dan Sunah Rasul itu? Bukan apinya, bukan nyalanya, bukan! Abunya, debunya, ah ya, asapnya!”
Bung Karno, pada masa pembuangannya di Ende, pertama kali mengirim surat kepada A. Hassan pada 01 Desember 1934. Dalam surat tersebut, ia minta dihadiahi beberapa buku. Di antaranya, pengajaran salat dan sebuah risalah tentang “sayid”.
“Ini buat saya bandingkan dengan alasan-alasan saya sendiri tentang hal ini. Walaupun Islam zaman sekarang menghadapi soal-soal yang beribu-ribu kali lebih besar dan lebih sulit daripada soal “sayid” itu, maka toh menurut keyakinan saya, salah satu kecelaan Islam zaman sekarang ini, ialah pengeramatan manusia yang menghampiri kemusyrikan itu,” tulisnya ketika itu.
Pada 1940, Bung Karno pernah menulis sebuah artikel berjudul “Masyarakat Unta dan Masyarakat Kapal Udara” di Panji Islam. Artikel tersebut lahir karena kegelisahan Bung Karno melihat mandeknya dinamika pemikiran yang terjadi di kalangan umat Islam. Ia menyampaikan bahwa semangat keislaman seharusnya bersifat dinamis.
Masih pada 1940, Bung Karno juga pernah menulis artikel berjudul “Me-“muda”-kan Pengertian Islam” di media yang sama. Ia memaparkan bahwa reorientasi pemikiran Islam betul-betul diperlukan. Kita perlu kembali menyegarkan pemikiran Islam dan menyelidiki apakah kita benar-benar paham tentang Islam. Dari Islam yang selama ini kita paham, adakah yang perlu dikoreksi?
Kira-kira begitulah inti dari apa yang disampaikannya. Jadi, Bung Karno dan Islam merupakan dua hal dari dinamika pemikiran dalam sejarah bangsa kita. Dalam pandangannya, Islam merupakan spirit pergerakan dan ide-ide pembaruan tentang gagasan kemajuan (kemodernan).
Bagi Bung Karno, Islam adalah kemajuan. Artinya, Islam memiliki dasar-dasar ajaran atau roh yang menjadi bekal bersama untuk bisa merespons perkembangan zaman. Islam bukanlah agama yang kolot yang membuat umatnya terbelakang karena ajarannya. Sebab, umat Islam bukanlah masyarakat unta tetapi masyarakat kapal udara.
Islam harus mampu menjawab tantangan yang ditawarkan oleh zaman. Dan untuk menghadirkan kembali masa-masa kejayaan Islam di masa lalu, Islam hari ini harus mampu dan berani mengejar zaman. Sebab, menurutnya, Islam is progress.
Dalam soal ilmu pengetahuan, Bung Karno sebenarnya memiliki pandangan jauh ke depan tentang perkembangan dan kemodernan dalam Islam. Karenanya, ilmu pengetahuan merupakan hal yang sangat penting dalam memaparkan orientasi dari ajaran Islam sendiri.
Tak kurang dari itu, keinginannya dalam mewujudkan sebuah paradigma berpikir logis, tidak taklid tetapi modern banyak ia tuangkan dalam berbagai tulisan. “Masyarakat Unta dan Masyarakat Kapal Udara” dan “Islam Sontoloyo” di antaranya.
Kekolotan, kejahilan, kejumudan juga kemusyrikan karena percaya kepada azimat, mitos, takhayul dan lain sebagainya, menurut Bung Karno, sebenarnya akan membawa Islam pada kemunduran. Sebab, Islam sendiri bukan agama yang kolot. Bung Karno meyakini, jika Islam dipropagandakan dengan cara-cara yang masuk akal dan up-to-date, maka seluruh dunia akan sadar akan kebenaran Islam.
Bung Karno yang memang seorang muslim modern juga rasionalis, secara tegas mengajak umat Islam untuk terus belajar dan menyerap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) kendatipun hal tersebut bukan terlahir dari produk Islam. Karena itu, ia sangat menentang tradisi/kultur taklid dalam Islam. Sebab, taklid itu sendiri merupakan tradisi pengajaran tanpa referensi yang logis dan mudah dipahami.
Seorang muslim yang baik, dalam pandangannya, haruslah paham substansi dari ajaran Islam secara menyeluruh. Jika tidak, yang terjadi adalah penyempitan makna dari Islam yang sesungguhnya.
Sependek bacaan saya terhadap catatan-catatan Bung Karno, pemikiran keislamannya berpijak pada ide-ide kemajuan (kemodernan). Pentingnya memudakan pengertian Islam yang telah disampaikannya merupakan sebuah gagasan yang menekankan bahwa pemikiran keagamaan harus menyesuaikan perkembangan zaman. Namun, sayangnya kondisi sekarang tidak berbanding lurus dengan apa yang dicita-citakan.
Kritik-kritik Bung Karno atas kemandekan berpikir umat Islam sekarang sepertinya akan tetap relevan sampai kapan pun. Paling tidak, selama umat Islam belum bisa mengedepankan rasionalitas dan menghidupkan tradisi keilmuan.
No comments:
Post a Comment