Islam dan kebebasan merupakan dua hal yang sampai saat
ini masih dibahas. Salah satu sebabnya, keadaan umat Islam di berbagai negara
secara umum yang masih alergi dengan apa disebut sebagai kebebasan atau
liberalisme dalam istilah lebih ilmiah.
Liberalisme atau kebebasan dalam hal ini tentu perlu dimaknai secara luas cakupannya. Kebebasan individu misalnya harus dimaknai dalam konteks kebebasan yang tidak hanya bersifat kebebasan hidup secara umum tapi juga kebebasan beragama, berekonomi, berpolitik dan sebagainya. Semuanya bermuara pada kehendak individu yang ingin memilih jalan hidup yang diidam-idamkannya.
Kebebasan itu sendiri ada yang bersifat negatif dan
positif (Berlin, 1969). Secara sederhana, kebebasan negatif berarti keadaan
setiap individu yang bebas dari gangguan atau intervensi orang lain. Sedangkan,
kebebasan positif berarti kehendak individu yang tidak hanya bebas dari
intervensi orang lain tapi juga memiliki cara untuk mewujudkan pilihan-pilihan
hidupnya. Hal ini merupakan dua konsep kebebasan yang begitu mendasar (hlm.
13-14).
Dalam konteks sejarah Islam, kebebasan selalu terbentur
syariat. Setiap Muslim pasti meyakini bahwa syariat adalah jalan hidup yang
harus diterapkan setiap individu. Namun, persoalannya adalah apakah syariat itu
perlu diformalkan dalam sebuah tatanan masyarakat atau tidak. Tentunya, ketika
syariat diformalkan, ada konsekuensi-konsekuensi yang perlu ditanggung seperti kebebasan
untuk bermazhab dan sebagainya (hlm. 25-29).
Abdullahi Ahmed An-Na’im (1990) mencatat, syariat pada
dasarnya bukanlah keseluruhan Islam itu sendiri. Namun, syariat merupakan
produk pemahaman atau interpretasi terhadap teks suci yang berkembang dalam
konteks sejarah tertentu.
An-Na’im menekankan, syariat yang selama ini kita pahami
sebenarnya merupakan hasil ijtihad para ahli hukum perintis. Dengan demikian,
syariat bisa direkonstruksi sesuai dengan perkembangan zaman. Ia bersifat
dinamis, tak statis.
Proyek dekonstruksi syariat ala An-Na’im merupakan salah
satu usaha menyelaraskan syariat di masa lalu dengan kebebasan di dunia Islam
di masa kini. Karenanya, kita perlu pahami bahwa ide-ide kebebasan merupakan
sesuatu yang tak bisa dinafikan sejak masa Islam awal hingga masa kini.
Di kalangan filsuf, misalnya, ada Ibn Rusyd yang memiliki
proyek rasionalisme Islam di masa klasik. Di kalangan teolog, ada Muktazilah
yang menekankan pentingnya peran akal dalam rangka pengukuhan kebebasan
individu (hlm. 47-49).
Dalam konteks sekarang, kebebasan masih menjadi pekerjaan
rumah yang rumit di dunia Islam. Freedom House (2015) menunjukkan, hampir tidak
ada negara yang kebebasannya terjamin di antara negara-negara Muslim.
Meski Tunisia, satu-satunya negara di dunia Arab, menjadi
harapan di mana indeks kebebasannya menjadi lebih baik setelah mengadakan
pemilu demokratis di bawah konstitusi baru, negara-negara tetangga lain, di
Timur Tengah dan Afrika Utara khususnya, masih berkutat dengan
peristiwa-peristiwa yang tidak menguntungkan. Artinya, kebebasan di
negara-negara Muslim masih menjadi tantangan yang besar.
Buku ini berhasil memotret secara sosiologis apa yang
menjadi halangan mendasar dari berbagai persoalan ini. Ditulis oleh para
akademisi yang berasal dari berbagai negara seperti Maroko, Pakistan dan AS,
buku ini menjadi kaya akan perspektif dalam membaca kenyataan yang ada di dunia
Islam. Dimulai dari diskursus klasik hingga yang bersifat kontemporer, kita
bisa mendapatkan keterpautan antara masa lalu dan masa kini.
Persoalan kebebasan berekonomi, misalnya, menjadi salah
satu pembahasan yang menarik. Sebab, kebebasan berekonomi di kawasan Timur
Tengah dan Afrika Utara bisa menjadi jalan menuju emansipasi perempuan. Hal ini
tentunya bukan sebuah omong kosong di negara yang budaya patriarkatnya begitu
kuat (hlm. 108-112).
Dalam sejarah Islam, Khadijah merupakan contoh ideal. Ia
merupakan perempuan berkarier semasa hidupnya dan mempekerjakan Muhammad yang
kelak menjadi suaminya. Kisah Khadijah merupakan contoh berkebalikan dari
larangan kebebasan berekonomi bagi perempuan atas nama Islam.
Judul: Islam dan Kebebasan I Penulis: Nouh El Harmouzi & Linda Whetstone (Eds) I Penerjemah: Suryo Waskito I Penerbit: Suara Kebebasan I Cetakan: 2017 I Tebal: 214 hlm.
Catatan: Tulisan ini merupakan versi awal dari tulisan berjudul “Perkembangan Pemahaman Kebebasan dalam Islam” di Koran Jakarta (13/12/2017).
Judul: Islam dan Kebebasan I Penulis: Nouh El Harmouzi & Linda Whetstone (Eds) I Penerjemah: Suryo Waskito I Penerbit: Suara Kebebasan I Cetakan: 2017 I Tebal: 214 hlm.
Catatan: Tulisan ini merupakan versi awal dari tulisan berjudul “Perkembangan Pemahaman Kebebasan dalam Islam” di Koran Jakarta (13/12/2017).
No comments:
Post a Comment