Thursday, 14 December 2017

Membela Islam, Membela Kebebasan

Islam dan kebebasan merupakan dua hal yang sampai saat ini masih dibahas. Salah satu sebabnya, keadaan umat Islam di berbagai negara secara umum yang masih alergi dengan apa disebut sebagai kebebasan atau liberalisme dalam istilah lebih ilmiah.

Liberalisme atau kebebasan dalam hal ini tentu perlu dimaknai secara luas cakupannya. Kebebasan individu misalnya harus dimaknai dalam konteks kebebasan yang tidak hanya bersifat kebebasan hidup secara umum tapi juga kebebasan beragama, berekonomi, berpolitik dan sebagainya. Semuanya bermuara pada kehendak individu yang ingin memilih jalan hidup yang diidam-idamkannya.

Kebebasan itu sendiri ada yang bersifat negatif dan positif (Berlin, 1969). Secara sederhana, kebebasan negatif berarti keadaan setiap individu yang bebas dari gangguan atau intervensi orang lain. Sedangkan, kebebasan positif berarti kehendak individu yang tidak hanya bebas dari intervensi orang lain tapi juga memiliki cara untuk mewujudkan pilihan-pilihan hidupnya. Hal ini merupakan dua konsep kebebasan yang begitu mendasar (hlm. 13-14).


Dalam konteks sejarah Islam, kebebasan selalu terbentur syariat. Setiap Muslim pasti meyakini bahwa syariat adalah jalan hidup yang harus diterapkan setiap individu. Namun, persoalannya adalah apakah syariat itu perlu diformalkan dalam sebuah tatanan masyarakat atau tidak. Tentunya, ketika syariat diformalkan, ada konsekuensi-konsekuensi yang perlu ditanggung seperti kebebasan untuk bermazhab dan sebagainya (hlm. 25-29).

Abdullahi Ahmed An-Na’im (1990) mencatat, syariat pada dasarnya bukanlah keseluruhan Islam itu sendiri. Namun, syariat merupakan produk pemahaman atau interpretasi terhadap teks suci yang berkembang dalam konteks sejarah tertentu.

An-Na’im menekankan, syariat yang selama ini kita pahami sebenarnya merupakan hasil ijtihad para ahli hukum perintis. Dengan demikian, syariat bisa direkonstruksi sesuai dengan perkembangan zaman. Ia bersifat dinamis, tak statis.

Proyek dekonstruksi syariat ala An-Na’im merupakan salah satu usaha menyelaraskan syariat di masa lalu dengan kebebasan di dunia Islam di masa kini. Karenanya, kita perlu pahami bahwa ide-ide kebebasan merupakan sesuatu yang tak bisa dinafikan sejak masa Islam awal hingga masa kini.

Di kalangan filsuf, misalnya, ada Ibn Rusyd yang memiliki proyek rasionalisme Islam di masa klasik. Di kalangan teolog, ada Muktazilah yang menekankan pentingnya peran akal dalam rangka pengukuhan kebebasan individu (hlm. 47-49).

Dalam konteks sekarang, kebebasan masih menjadi pekerjaan rumah yang rumit di dunia Islam. Freedom House (2015) menunjukkan, hampir tidak ada negara yang kebebasannya terjamin di antara negara-negara Muslim.

Meski Tunisia, satu-satunya negara di dunia Arab, menjadi harapan di mana indeks kebebasannya menjadi lebih baik setelah mengadakan pemilu demokratis di bawah konstitusi baru, negara-negara tetangga lain, di Timur Tengah dan Afrika Utara khususnya, masih berkutat dengan peristiwa-peristiwa yang tidak menguntungkan. Artinya, kebebasan di negara-negara Muslim masih menjadi tantangan yang besar.

Buku ini berhasil memotret secara sosiologis apa yang menjadi halangan mendasar dari berbagai persoalan ini. Ditulis oleh para akademisi yang berasal dari berbagai negara seperti Maroko, Pakistan dan AS, buku ini menjadi kaya akan perspektif dalam membaca kenyataan yang ada di dunia Islam. Dimulai dari diskursus klasik hingga yang bersifat kontemporer, kita bisa mendapatkan keterpautan antara masa lalu dan masa kini.

Persoalan kebebasan berekonomi, misalnya, menjadi salah satu pembahasan yang menarik. Sebab, kebebasan berekonomi di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara bisa menjadi jalan menuju emansipasi perempuan. Hal ini tentunya bukan sebuah omong kosong di negara yang budaya patriarkatnya begitu kuat (hlm. 108-112).

Dalam sejarah Islam, Khadijah merupakan contoh ideal. Ia merupakan perempuan berkarier semasa hidupnya dan mempekerjakan Muhammad yang kelak menjadi suaminya. Kisah Khadijah merupakan contoh berkebalikan dari larangan kebebasan berekonomi bagi perempuan atas nama Islam.

JudulIslam dan Kebebasan I PenulisNouh El Harmouzi & Linda Whetstone (Eds) I Penerjemah: Suryo Waskito I Penerbit: Suara Kebebasan I Cetakan: 2017 I Tebal: 214 hlm.

Catatan: Tulisan ini merupakan versi awal dari tulisan berjudul Perkembangan Pemahaman Kebebasan dalam Islam” di Koran Jakarta (13/12/2017).

No comments: