Musyawarah besar (mubes) ketiga Ikatan Keluarga Alumni
Manahijussadat (IKAM) telah berlangsung pada Ahad, 24 September 2017, di Pondok
Pesantren Manahijussadat. Acara tersebut merupakan salah satu rangkaian dari
syukuran ulang tahun pondok yang kedua puluh, usia yang cukup dewasa bagi sebuah
lembaga pendidikan Islam.
Pondok yang didirikan pada 03 Agustus 1997 telah
menghasilkan ratusan alumni yang tidak hanya berkarier di Pulau Jawa. Ada yang
di Sumatra dan bahkan luar negeri. Karena itu, semakin tersebar jumlah alumni
semakin terbuka lebar peluang pondok untuk dikenal di masyarakat luas. Meski
begitu, tantangan justru akan semakin besar entah bagi pondok maupun alumninya
sendiri. Hal ini tentunya konsekuensi logis dari tuntutan zaman.
Diadakannya mubes IKAM merupakan sebuah langkah penting pondok untuk terus menjalin ikatan kekeluargaan di antara alumni dalam merespons hal tersebut. Ini terbukti dari visi organisasi alumni yang selalu berusaha menjadi wadah berkomunikasi di mana pun mereka berada.
Di sela-sela acara mubes yang dijadwalkan pada pukul
09.00 WIB, ada kesan yang menarik. Mulai dari sambutan Ketua IKAM yang kini
demisioner, Ustadz Nasrun Saragih, sampai acara pemilihan ketua baru, suasana
begitu asyik karena berkumpulnya alumni dari angkatan tertua hingga angkatan
termuda meski tak semuanya. Kami sempat berbincang sambil bersenda gurau.
Dari rangkaian acara mubes, ada hal yang begitu penting
untuk disimak kembali. Yaitu pesan-pesan Pak Kiai, KH Sulaiman Effendi, untuk
alumni dalam sambutannya. Pak Kiai memang tidak mengatakan apa yang
disampaikannya sebagai nasihat atau wejangan secara eksplisit. Namun, ia hanya
berbagi pengalamannya sebagai guru yang pernah jatuh-bangun mendirikan sebuah
lembaga pendidikan semacam pondok pesantren.
Pak Kiai sedang menyampaikan sambutannya. |
Hal ini mungkin cermin dari sikapnya yang rendah hati dan
menganggap alumni sebagai teman dialog yang sejajar. Sehingga, dalam proses
mubes, ia bersedia mendengarkan setiap pendapat dari murid-murid yang ia ajar
dahulu. Bagi saya, pengalaman tersebut sangat berharga yang mana seorang guru
yang kami segani mau bertukar pikiran.
Ada sembilan hal yang ia sampaikan dalam sambutannya.
Namun, esai ini merangkumnya menjadi empat hal yang begitu penting. Pertama, perlunya menggali potensi diri.
Kedua, optimisme. Ketiga, memaafkan. Keempat, al-tasamuh
(toleransi).
Sebelum ke sana, ada sesuatu yang perlu kita perhatikan.
Pak Kiai mengawali sambutannya dengan sebuah pertanyaan “basa-basi” terkait
berapa panjang Pulau Jawa yang kami tempati. Ketika itu, kami bingung sambil
mengingat-ingat.
Tak lama, ia menjawab sambil tersenyum, “1.000 kilometer.”
Ia mengaku tahu hal tersebut karena membaca sebuah novel sejarah yang ditulis
salah satu sastrawan besar yang dimiliki bangsa Indonesia, Pramoedya Ananta
Toer.
Pak Kiai sempat menyinggung secara singkat isi dari novel
sejarah yang ditulis Pramoedya itu, Jalan
Raya Pos, Jalan Daendels, dengan menyebut Anyer dan Panarukan sebagai dua
tempat bermula dan berakhir jalan yang dibangun Daendels.
Dari persinggungannya dengan karya Pramoedya, kita bisa
mengambil pelajaran bahwa membaca pada dasarnya merupakan sebuah kebutuhan. Pak
Kiai pada usianya yang di atas 50 masih memenuhi dahaga intelektualnya meski
hal tersebut mungkin hanya dilakukannya di waktu senggang. Apalagi, bacaan
tersebut tidak terkait dengan statusnya sebagai pimpinan pondok. Karena itu,
membaca merupakan sesuatu yang dibutuhkan siapa saja.
Setelah menyinggung secara singkat karya Pramoedya, Pak
Kiai mulai menyampaikan petuahnya. Dalam soal menggali potensi diri, ia
berpesan agar alumni mampu berkiprah di masyarakat sesuai dengan kemampuannya tanpa pamrih. Tampaknya, Pak Kiai sadar
dalam hal ini bahwa tidak setiap orang berminat menjadi guru. Ada yang
berdagang, bekerja di kantor dan sebagainya. Apa pun profesinya, pesannya
adalah menggali potensi diri.
Pesan yang disampaikan Pak Kiai tentang menggali potensi
diri berangkat dari sebuah adagium yang begitu terkenal di kalangan santri:
“Celakalah orang yang tidak tahu potensinya.” Dengan ungkapan yang lebih populer
sekarang, kita tidak akan bisa bersaing kalau kita tidak mau mengembangkan apa
yang bisa kita lakukan.
Dalam hal kedua, Pak Kiai berpesan bahwa hidup harus
optimis. Kata “optimisme” memang sering kita dengar, apalagi kata tersebut
adalah kata yang sering dipakai para motivator. Namun optimisme yang
disampaikan Pak Kiai terdengar begitu berbeda. Sebab, kata tersebut disampaikan
seorang guru yang memang telah melewati fase-fase perjuangan. Sehingga, kata
tersebut bukanlah sebuah omong kosong.
Kita perlu garis bawahi bahwa optimisme di sini harus
dibarengi sebuah keyakinan berdasarkan semangat Alquran (Qs. 29:09): “Dan
orang-orang yang berjihad [bersungguh-sungguh] di jalan Kami, benar-benar akan
Kami tunjukkan kepada mereka jalan Kami dan sesungguhnya Allah bersama
orang-orang yang berbuat baik.”
Menurut Pak Kiai, apa yang telah ia capai sekarang adalah
hasil jerih payahnya di masa lalu. Ia bahkan sempat bercerita tentang
kegalauannya mendirikan Manahijussadat di mana jumlah santri awal tidak sesuai dengan
yang dibayangkannya. “Namun, berbekal keyakinan,” akunya, “pondok pesantren ini
bisa berkembang sampai sekarang.”
Dalam hal ketiga, Pak Kiai menyampaikan pentingnya
memaafkan. Memaafkan memang sesuatu yang mudah dikatakan namun sulit dilakukan.
Bahkan, Tuhan pun memaklumi perasaan orang yang tersakiti. Sehingga, kejahatan
yang dibalas dengan hukuman atau perlakuan yang sama tetap dibolehkan. Meski
demikian, memaafkan adalah jalan yang terbaik. Hal tersebut merupakan prinsip
etis Alquran.
Pak Kiai pun mengutip sebuah ayat Alquran (Qs. 42:40): “…
maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas [tanggungan] Allah.
Sesungguhnya Ia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” Dalam hal ini, kita perlu
meneladani Nabi Muhammad yang selalu memaafkan orang-orang yang menghinanya dan
bahkan melemparinya dengan kotoran.
Terakhir tentang al-tasamuh
atau toleransi. Poin ini menjadi yang terakhir karena memang poin ini penting
di tengah hidup kita yang bermasyarakat. Karena bermasyarakat, kita perlu
memahami orang lain. Memahami orang lain memang terdengar sederhana tapi
sungguh bermakna. Adanya berbagai perbedaan di lingkungan sekitar bisa menjadi
sebuah kenyataan yang memberikan kita kesadaran akan hal tersebut.
Kata “al-tasamuh”
ataupun “toleransi” memang berbeda asal bahasanya. Namun, dua kata tersebut
memiliki makna yang sama sehingga bisa dipadankan. Di sini, tidak akan dibahas
sejarah atau perkembangan kedua kata tersebut karena terbatasnya kolom ini.
Tapi, pada intinya kedua kata tersebut mencerminkan kelapangan spiritual dan
kerendahhatian (tawadhu’).
Kelapangan spiritual dan kerendahhatian tersebut bisa
menjadi modal untuk hidup dalam perbedaan. Sebab, zaman semakin berkembang dan
secara otomatis pemahaman manusia terhadap apa yang diyakini semakin beragam.
Dengan demikian, kita harus selalu siap dengan perbedaan.
Mungkin ini catatan saya tentang petuah Pak Kiai yang
begitu menginspirasi. Setiap orang yang mendengarkan pasti memiliki
penafsiraannya sendiri. Meski demikian, saya tetap merasa perlu menuliskannya
karena pesan-pesan Pak Kiai mengingatkan kami kembali pada etika Alquran.
2 comments:
Mantap kak did
Luaarrrr biasaaahhhh..
Post a Comment