Monday 9 October 2017

Petuah Sang Kiai

Musyawarah besar (mubes) ketiga Ikatan Keluarga Alumni Manahijussadat (IKAM) telah berlangsung pada Ahad, 24 September 2017, di Pondok Pesantren Manahijussadat. Acara tersebut merupakan salah satu rangkaian dari syukuran ulang tahun pondok yang kedua puluh, usia yang cukup dewasa bagi sebuah lembaga pendidikan Islam.

Pondok yang didirikan pada 03 Agustus 1997 telah menghasilkan ratusan alumni yang tidak hanya berkarier di Pulau Jawa. Ada yang di Sumatra dan bahkan luar negeri. Karena itu, semakin tersebar jumlah alumni semakin terbuka lebar peluang pondok untuk dikenal di masyarakat luas. Meski begitu, tantangan justru akan semakin besar entah bagi pondok maupun alumninya sendiri. Hal ini tentunya konsekuensi logis dari tuntutan zaman.

Diadakannya mubes IKAM merupakan sebuah langkah penting pondok untuk terus menjalin ikatan kekeluargaan di antara alumni dalam merespons hal tersebut. Ini terbukti dari visi organisasi alumni yang selalu berusaha menjadi wadah berkomunikasi di mana pun mereka berada.

Di sela-sela acara mubes yang dijadwalkan pada pukul 09.00 WIB, ada kesan yang menarik. Mulai dari sambutan Ketua IKAM yang kini demisioner, Ustadz Nasrun Saragih, sampai acara pemilihan ketua baru, suasana begitu asyik karena berkumpulnya alumni dari angkatan tertua hingga angkatan termuda meski tak semuanya. Kami sempat berbincang sambil bersenda gurau.

Dari rangkaian acara mubes, ada hal yang begitu penting untuk disimak kembali. Yaitu pesan-pesan Pak Kiai, KH Sulaiman Effendi, untuk alumni dalam sambutannya. Pak Kiai memang tidak mengatakan apa yang disampaikannya sebagai nasihat atau wejangan secara eksplisit. Namun, ia hanya berbagi pengalamannya sebagai guru yang pernah jatuh-bangun mendirikan sebuah lembaga pendidikan semacam pondok pesantren.

Pak Kiai sedang menyampaikan sambutannya.
Hal ini mungkin cermin dari sikapnya yang rendah hati dan menganggap alumni sebagai teman dialog yang sejajar. Sehingga, dalam proses mubes, ia bersedia mendengarkan setiap pendapat dari murid-murid yang ia ajar dahulu. Bagi saya, pengalaman tersebut sangat berharga yang mana seorang guru yang kami segani mau bertukar pikiran.

Ada sembilan hal yang ia sampaikan dalam sambutannya. Namun, esai ini merangkumnya menjadi empat hal yang begitu penting. Pertama, perlunya menggali potensi diri. Kedua, optimisme. Ketiga, memaafkan. Keempat, al-tasamuh (toleransi).

Sebelum ke sana, ada sesuatu yang perlu kita perhatikan. Pak Kiai mengawali sambutannya dengan sebuah pertanyaan “basa-basi” terkait berapa panjang Pulau Jawa yang kami tempati. Ketika itu, kami bingung sambil mengingat-ingat.

Tak lama, ia menjawab sambil tersenyum, “1.000 kilometer.” Ia mengaku tahu hal tersebut karena membaca sebuah novel sejarah yang ditulis salah satu sastrawan besar yang dimiliki bangsa Indonesia, Pramoedya Ananta Toer.

Pak Kiai sempat menyinggung secara singkat isi dari novel sejarah yang ditulis Pramoedya itu, Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, dengan menyebut Anyer dan Panarukan sebagai dua tempat bermula dan berakhir jalan yang dibangun Daendels.

Dari persinggungannya dengan karya Pramoedya, kita bisa mengambil pelajaran bahwa membaca pada dasarnya merupakan sebuah kebutuhan. Pak Kiai pada usianya yang di atas 50 masih memenuhi dahaga intelektualnya meski hal tersebut mungkin hanya dilakukannya di waktu senggang. Apalagi, bacaan tersebut tidak terkait dengan statusnya sebagai pimpinan pondok. Karena itu, membaca merupakan sesuatu yang dibutuhkan siapa saja.

Setelah menyinggung secara singkat karya Pramoedya, Pak Kiai mulai menyampaikan petuahnya. Dalam soal menggali potensi diri, ia berpesan agar alumni mampu berkiprah di masyarakat sesuai dengan kemampuannya tanpa pamrih. Tampaknya, Pak Kiai sadar dalam hal ini bahwa tidak setiap orang berminat menjadi guru. Ada yang berdagang, bekerja di kantor dan sebagainya. Apa pun profesinya, pesannya adalah menggali potensi diri.

Pesan yang disampaikan Pak Kiai tentang menggali potensi diri berangkat dari sebuah adagium yang begitu terkenal di kalangan santri: “Celakalah orang yang tidak tahu potensinya.” Dengan ungkapan yang lebih populer sekarang, kita tidak akan bisa bersaing kalau kita tidak mau mengembangkan apa yang bisa kita lakukan.

Dalam hal kedua, Pak Kiai berpesan bahwa hidup harus optimis. Kata “optimisme” memang sering kita dengar, apalagi kata tersebut adalah kata yang sering dipakai para motivator. Namun optimisme yang disampaikan Pak Kiai terdengar begitu berbeda. Sebab, kata tersebut disampaikan seorang guru yang memang telah melewati fase-fase perjuangan. Sehingga, kata tersebut bukanlah sebuah omong kosong.

Kita perlu garis bawahi bahwa optimisme di sini harus dibarengi sebuah keyakinan berdasarkan semangat Alquran (Qs. 29:09): “Dan orang-orang yang berjihad [bersungguh-sungguh] di jalan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan Kami dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat baik.”

Menurut Pak Kiai, apa yang telah ia capai sekarang adalah hasil jerih payahnya di masa lalu. Ia bahkan sempat bercerita tentang kegalauannya mendirikan Manahijussadat di mana jumlah santri awal tidak sesuai dengan yang dibayangkannya. “Namun, berbekal keyakinan,” akunya, “pondok pesantren ini bisa berkembang sampai sekarang.”

Dalam hal ketiga, Pak Kiai menyampaikan pentingnya memaafkan. Memaafkan memang sesuatu yang mudah dikatakan namun sulit dilakukan. Bahkan, Tuhan pun memaklumi perasaan orang yang tersakiti. Sehingga, kejahatan yang dibalas dengan hukuman atau perlakuan yang sama tetap dibolehkan. Meski demikian, memaafkan adalah jalan yang terbaik. Hal tersebut merupakan prinsip etis Alquran.

Pak Kiai pun mengutip sebuah ayat Alquran (Qs. 42:40): “… maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas [tanggungan] Allah. Sesungguhnya Ia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” Dalam hal ini, kita perlu meneladani Nabi Muhammad yang selalu memaafkan orang-orang yang menghinanya dan bahkan melemparinya dengan kotoran.

Terakhir tentang al-tasamuh atau toleransi. Poin ini menjadi yang terakhir karena memang poin ini penting di tengah hidup kita yang bermasyarakat. Karena bermasyarakat, kita perlu memahami orang lain. Memahami orang lain memang terdengar sederhana tapi sungguh bermakna. Adanya berbagai perbedaan di lingkungan sekitar bisa menjadi sebuah kenyataan yang memberikan kita kesadaran akan hal tersebut.

Kata “al-tasamuh” ataupun “toleransi” memang berbeda asal bahasanya. Namun, dua kata tersebut memiliki makna yang sama sehingga bisa dipadankan. Di sini, tidak akan dibahas sejarah atau perkembangan kedua kata tersebut karena terbatasnya kolom ini. Tapi, pada intinya kedua kata tersebut mencerminkan kelapangan spiritual dan kerendahhatian (tawadhu’).

Kelapangan spiritual dan kerendahhatian tersebut bisa menjadi modal untuk hidup dalam perbedaan. Sebab, zaman semakin berkembang dan secara otomatis pemahaman manusia terhadap apa yang diyakini semakin beragam. Dengan demikian, kita harus selalu siap dengan perbedaan.

Mungkin ini catatan saya tentang petuah Pak Kiai yang begitu menginspirasi. Setiap orang yang mendengarkan pasti memiliki penafsiraannya sendiri. Meski demikian, saya tetap merasa perlu menuliskannya karena pesan-pesan Pak Kiai mengingatkan kami kembali pada etika Alquran.