Saturday 29 July 2017

Membaca Kembali Indonesia Kita

Nurcholish Madjid yang telah membaktikan hidupnya dalam membangun Indonesia memang telah meninggalkan kita. Namun, pikiran-pikirannya yang bertumpu pada keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan tak pernah hilang ditelan zaman. Itulah mungkin apa yang kita sebut sebagai keabadian di mana pikiran-pikiran seseorang akan tetap hidup meskipun ia telah wafat.

Salah satu karya besar Cak Nur, sapaan akrab Nurcholish Madjid, adalah Indonesia Kita. Tulisan/khotbah ini hanya mengulas sebagian kecil dari isi buku tersebut. Sebab, ide-ide besar yang tertulis di dalamnya tidak mungkin dijabarkan kembali dalam pemaparan yang lebih ringkas. Apa lagi, sepuluh platform membangun kembali Indonesia yang ditawarkannya, disampaikannya secara komprehensif.

Cak Nur banyak berbicara tentang pentingnya membangun kembali negara kita tercinta setelah reformasi. Menurutnya, Indonesia terlalu berharga untuk hancur. Karena itu, kita memerlukan apa yang disebut Bung Karno sebagai pengikatan bersama seluruh kekuatan bangsa. “Samen bundeling van alle krachten van de natie.”


Dalam tinjauan Cak Nur, Indonesia sebagai sebuah bangsa maupun negara bukanlah sesuatu yang bisa diterima begitu saja. Ada beragam tantangan yang muncul. Di antaranya, adanya berbagai suku bangsa yang mendiami seluruh pelosok Indonesia (atau Asia Tenggara pada mulanya). Dari adanya berbagai suku bangsa tersebut, muncullah keanekaragaman budaya.

Keanekaragaman budaya tersebut, menurut Cak Nur, bisa menjadi kekayaan tetapi bisa juga menjadi kerawanan. Sebagai kekayaan, keanekaragaman budaya bisa kita analogikan sebagai keanekaragaman nabati di mana keanekaragaman yang ada bisa menjadi pengembangan budaya hibrida yang tangguh dan kaya. Sehingga, terjadilah apa yang kita sebut sebagai penyuburan silang budaya (cross-cultural fertilization).

Meski demikian, Cak Nur mengakui bahwa berbagai bentuk penyuburan silang budaya yang terjadi di Indonesia selama ini merupakan sebuah “kebetulan” pada umumnya. Hal itu sebagai akibat sampingan interaksi perdagangan regional yang ditunjang kekuasaan politik (hlm. 8).

Sebagai kerawanan, keanekaragaman budaya melemahkan kohesi antarsuku dan pulau. Karena itu, hal tersebut selamanya rentan terhadap penaklukan dan penjajahan dari luar. Cak Nur menulis (hlm. 9):
Usaha penguatan kohesi beberapa bagian atau seluruh Nusantara melalui penyatuan dalam kekuasaan politik tunggal pernah terjadi, seperti oleh kerajaan-kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan Aceh, misalnya. Tetapi usaha-usaha itu menghasilkan suatu penyatuan wilayah yang tidak persis sama dengan wilayah Indonesia modern sekarang.
Di satu sisi, penyatuan tersebut lebih kecil daripada Indonesia sekarang karena tidak mencakup seluruh kawasan dari Sabang sampai Merauke. Tapi, di sisi lain, penyatuan tersebut lebih besar karena mencakup wilayah-wilayah yang ada di luar Indonesia sekarang seperti Semenanjung Melayu, Kalimantan Utara, Mindanau, Formusa dan Madagaskar.

Apa yang disampaikan Cak Nur dalam bagian pembuka Indonesia Kita merupakan sebuah usaha untuk terus mengingatkan kita semua bahwa keanekaragaman budaya—atau taman sari Indonesia dalam istilah Franky Sahilatua—dan bahkan mungkin di belahan dunia lain merupakan sebuah keniscayaan. Ini sesuai dengan Qs. Al-Hujurat: 09 yang sering dikutip Cak Nur:
Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakanmu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Tuhan maha mengetahui lagi maha mengenal.
Lantas, di mana peran Islam? Dalam pembahasannya tentang sejarah Indonesia dalam bab “Nasionalisme Klasik di Bumi Nusantara”, Cak Nur tak lupa membahas budaya hemispheric Islam yang cukup rumit untuk dijabarkan kembali. Sebab, kuatnya analisis Cak Nur dalam kajian sejarah Islam, di samping menyulitkan kita, membuatnya mampu membaca sejarah secara dialektis, tidak linear.

Ketika peradaban Islam sedang berjaya di masa tertentu, Cak Nur sering melihat apa yang sedang terjadi di belahan bumi lain. Dalam Islam Doktrin dan Peradaban, misalnya, Cak Nur mampu melihat perkembangan Dinasti Abbasiyah di masa tertentu yang mungkin saja menjadi rekan dagang kerajaan Sriwijaya di Palembang.

Karena kerumitan tersebut, saya langsung melompat ke bahasan kesatuan dalam perbedaan yang tercantum di bab “Lahirnya Nasionalisme Modern Indonesia”. Sebagaimana karya-karyanya yang lain, Cak Nur hobi sekali membahas Piagam Madinah yang diinisiasi Nabi Muhammad saw sebagai kesepakatan-kesepakatan bernegara yang melampaui zamannya.

Dengan mengutip Robert N. Bellah, Cak Nur melihat bahwa piagam tersebut bahkan terlalu modern sehingga tatanan masyarakat ketika itu tidak mampu mempertahankannya. Hal tersebut terbukti dari sejarah dinasti-dinasti Islam yang penuh dengan pertumpahan darah.

Dalam pembacaan saya, Piagam Madinah yang disusun Nabi Muhammad saw pada masa itu memang luar biasa. Pasal-pasal yang tercantum melampaui zamannya, sehingga piagam tersebut bisa diklaim sebagai konstitusi tertulis pertama di dunia. Prinsip-prinsip kesetaraan tanpa mengunggulkan satu suku/golongan di atas yang lain terukir di sana.

Salah satu hal paling menarik dalam Piagam Madinah adalah penggunaan kata “ummah” (umat). Dengan kata tersebut, Nabi saw berusaha menyatukan setiap golongan ke dalam tatanan bangsa-negara (ummah) dengan ungkapan bahwa “kaum Yahudi dari suku Bani Auf adalah satu bangsa-negara dengan warga yang beriman” dan “kaum Yahudi bebas memeluk agama mereka sebagaimana kaum Muslimin bebas memeluk agama mereka.”

Di samping itu, mereka dan umat-umat minoritas lain diberikan hak sama dengan orang-orang beriman. Dengan kata lain, seluruh aturan yang tertulis dalam Piagam Madinah tidak membeda-bedakan satu umat dari yang lain. Nabi saw bahkan tidak mengistimewakan orang-orang beriman.

Selain Piagam Madinah yang penting kita simak, ada juga surat perjanjian Nabi saw kepada kelompok Kristen Najran yang antara lain diungkapkan di sana bahwa umat Islam harus membantu umat Kristen, sehingga jika mereka membutuhkan dana/bantuan untuk membangun gereja-gereja mereka, hendaklah mereka dibantu bukan sebagai utang, tetapi sebagai bantuan yang tulus. Lihat catatan saya berjudul “Piagam Madinah di Sabtu Sore”.

Cak Nur melihat bahwa semangat Piagam Madinah merupakan semangat kesetaraan yang sejalan dengan penegasan Nabi Muhammad saw bahwa semua nabi pada prinsipnya adalah sama. “Kami, golongan para nabi, agama kami adalah satu,” kata Nabi. Hal ini tentu sejalan dengan apa yang disampaikan Alquran bahwa tidak ada perbedaan di antara para utusan Tuhan meski setiap umat pasti memiliki jalan atau syariat yang berbeda.

Menurut Cak Nur, dalam keadaan yang berbeda-beda ini, entah dalam konteks budaya maupun agama, kita semua sebagai umat diperintahkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Dengan kata lain, perbedaan-perbedaan dalam hal sekunder, bukan hal primer seperti nilai kemanusiaan universal, tidak dibenarkan dalam kebaikan bersama atau kerja sama dalam kebaikan (hlm. 50).

Atas dasar itu, setiap pemeluk agama maupun warga negara Indonesia harus mampu memahami keanekaragaman budaya sebagai bekal untuk mencapai kemajuan bangsa. Sebaiknya kita tidak perlu bertikai kecuali terhadap orang-orang yang zalim.

Catatan: Ini adalah teks khotbah Jumat yang disampaikan di Universitas Paramadina pada 28 Juli 2017.

No comments: