Monday 20 June 2016

Tantangan Alumni di Tengah Perkembangan Zaman

Ilmu pengetahuan atau sains dan teknologi pada saat ini begitu maju. Segala misteri alam secara perlahan telah berhasil dipecahkan. Kita mau atau tidak mau dihadapkan pada condicio sine qua non (situasi yang sulit dibantah). Salah satu contohnya adalah perdebatan tentang relasi agama dan sains.

Perdebatan tersebut mungkin akan bertahan sampai kapan pun. Sebab, agama pada dasarnya menyangkut soal-soal keyakinan, sedangkan sains menawarkan kepastian. Agama bersifat dogmatis dan sains meruntuhkan dogma-dogma tersebut karena ia mendasarkan dirinya pada fakta dan data.

Kenyataan-kenyataan bahwa sains menawarkan kepastian tidak bisa terbantahkan, apalagi kita hidup di zaman yang terus berkembang di mana ilmu pengetahuan selalu mengalami kemajuan.

Islam sebagai sebuah agama yang memiliki sejarah panjang pun ikut “terseret” ke dalam diskursus-diskursus semacam ini. Meski para sarjana Muslim telah melakukan berbagai terobosan dalam ilmu pengetahuan, penemuan-penemuan terbaru sains tetap saja memiliki kecenderungan untuk menyerang dogma-dogma yang telah berkembang.

Hal ini merupakan tanda bahwa ilmu pengetahuan atau sains yang bersifat dinamis dan pemahaman keagamaan yang bersifat statis menciptakan kesenjangan yang semakin hari semakin lebar.

Foto: https://commons.wikimedia.org/
Salah satu fakta yang mengungkapkan bahwa alam ini terus berevolusi dan memiliki siklus adalah contoh kasus yang tidak bisa dinafikan. Kita terpaksa beradaptasi dengan perubahan-perubahan tersebut. Bila tidak, generasi kita tak mungkin bisa bertahan sampai saat ini.

Masalah-masalah seperti pemanasan global, kekurangan air bersih, terbatasnya sumber daya alam dan lain sebagainya merupakan gejala-gejala yang ditemukan perkembangan ilmu pengetahuan.

Kita sekarang tidak mungkin menganggap permasalahan-permasalahan tersebut sebagai cobaan atau peringatan dari “yang di sana”. Itu murni merupakan persoalan pengetahuan yang membutuhkan solusi dari pengetahuan yang lain.

Selain persoalan perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin berkembang, alumni pesantren juga dihadapkan pada sebuah zaman di mana kebebasan beragama, persaingan berekonomi dan sebagainya tak terbendung. Hal ini tak bisa dihindari karena kecenderungan manusia secara alamiah menjadi “serigala” bagi yang lain.

Dalam hal kebebasan beragama, kita tak bisa memaksakan apa yang kita anggap benar menjadi kebenaran bagi yang lain. Fenomena kemunculan berbagai pemahaman keagamaan sekarang merupakan cermin yang baik dalam soal ini. Sebab, zaman semakin berkembang dan secara otomatis pemahaman manusia terhadap agama semakin beragam.

Alumni pesantren harus selalu sadar akan hal ini. Berbekal pengetahuan keagamaan yang selama ini dipelajari, mereka harus cermat dan terbuka dalam soal-soal kebebasan beragama, bukan malah ikut-ikutan menyesatkan aliran-aliran yang tak sepaham dengan keyakinan pribadi. Ingat bahwa beragama yang baik di tengah perkembangan zaman harus selalu didasari kerendahan hati (tawadhu’ dalam bahasa Alquran).

Dalam hal persaingan ekonomi, alumni harus berani menggali potensi diri dan apa yang mesti dilakukan selanjutnya. Kita perlu ingat bahwa alumnus dan alumna pesantren tak selamanya menjadi ustadz dan ustadzah. Kita pun harus sadar bahwa setiap pekerjaan pada dasarnya sama. Tidak ada yang lebih mulia karena soal kemuliaan itu urusan Tuhan. Yang penting adalah ketulusan (ikhlas) dalam perbuatan.

Selain berbagai persoalan di atas, ada juga persoalan lain yang tak kalah pentingnya: pembubaran forum diskusi kelompok yang dianggap komunis oleh kelompok Islam tertentu. Di antaranya, pembubaran Belok Kiri Festival yang rencananya digelar pada 27 Februari-05 Maret 2016 dan pementasan monolog Tan Malaka di Bandung pada 23-24 Maret 2016. Tampaknya ini persoalan serius yang mengancam kebebasan berpendapat di Indonesia.

Pembubaran yang mereka lakukan dilatarbelakangi ketakutan akan komunisme yang selama ini keliru. Bagi mereka, komunisme pasti anti-Tuhan, padahal apa yang mereka tahu tentang komunisme tidak benar. Mereka sepertinya terjebak dalam kenyamanan prasangka tak berdasar.

Bagaimana Alumni Menghadapinya?

Berbagai persoalan yang disampaikan di atas merupakan fenomena yang terjadi selama ini. Bila kita cermati, fenomena tersebut pada dasarnya muncul karena lemahnya tradisi literasi di Indonesia secara umum. Literasi di sini perlu dimaknai secara luas. Ia tak hanya berarti kemampuan membaca tapi juga kemampuan menganalisis secara jernih berbagai bacaan yang telah dicerna.

Kemampan menganalisis bacaan tentunya hadir dari tradisi membaca yang baik. Sebab, kemampuan menganalisis perlu didasari rasa keingintahuan dan kesabaran dalam membaca. Sehingga, kritisisme pun muncul. Bila kritisisme muncul, kesadaran kita menghadapi berbagai isu yang berkembang membuat kita dewasa dalam bersikap. Kita pasti tak akan mudah marah ketika perbedaan pandangan muncul.

Kita juga perlu sadar bahwa membaca tidak identik dengan profesi tertentu. Membaca merupakan hal yang wajib dilakukan siapa pun, entah ia seorang petani, guru, buruh dan sebagainya. Kita perlu ingat bahwa membaca merupakan wahyu pertama yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. Karena itu, jangan pernah membatasi diri dengan bacaan-bacaan tertentu!

Catatan: Tulisan ini telah dimuat di Sabrina Edisi 11/6/2016/Ramadhan/1437 H

No comments: