Beberapa waktu lalu, Indonesia mengalami begitu banyak bencana alam yang menyebabkan kerusakan daerah-daerah tertentu yang sukar untuk direhabilitasi. Beberapa bencana alam tersebut telah memicu kita selaku bagian dari bangsa Indonesia agar senantiasa merasakan kepedihan yang melanda saudara-saudara kita yang menderita. Contohnya, tragedi Tsunami di Aceh yang terjadi pada tanggal 25 Desember 2004 bahkan yang terjadi beberapa waktu yang lalu seperti gempa bumi di kota Yogyakarta, lumpur panas di Sidoarjo dan lain sebagainya.
Dengan demikian, kita selaku bagian dari umat terpanggil dalam merasakan bencana-bencana tersebut yang melanda saudara-saudara kita yang ada di seberang sana sehingga kita terpanggil pula untuk menyumbangkan sebagian milik kita kepada mereka. Namun, di samping itu, tidak layak bagi kita untuk melupakan masyarakat sekitar yang mungkin lebih membutuhkan pertolongan dari kita walaupun tidak bersifat materiil, melainkan pemikiran, motivasi dalam hidup, berbagi pengetahuan dan lain sebagainya.
Alangkah lebih baik, jika sekarang kita mulai berpikir mengenai apa yang bisa kita kontribusikan atau kita berikan kepada mereka dari disiplin-disiplin pengetahuan yang kita dapatkan dimanapun kita belajar. Karena, pada hakikatnya, pengetahuan akan menjadi ilmu apabila diamalkan dan apabila tidak diamalkan niscaya bagaikan pohon tanpa buah. Seperti yang disebutkan dalam pepatah, “Ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah”.
Ada sebuah perbedaan yang cukup signifikan antara orang yang berilmu dengan orang yang berpengetahuan dalam Islam. Orang yang berilmu dalam bahasa Arab diartikan dengan `âlim dari akar kata `alima sedangkan orang yang berpengetahuan dalam bahasa Arab diartikan dengan `ârif dari akar kata `arafa. Seorang yang tahu akan sesuatu kemudian ia mengamalkan/mengajarkannya kepada orang lain dalam kesehariannya maka ia menjadi seorang `âlim dan orang yang tahu akan sesuatu kemudian ia tidak mengamalkan/mengajarkannya kepada orang lain dan hanya sekedar tahu saja maka ia tidak menjadi seorang `âlim melainkan seorang `ârif. Tentu saja kedudukan seorang `âlim lebih tinggi daripada kedudukan seorang `ârif dalam Islam karena ia lebih berpotensi untuk menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain maupun masyarakat sekitar.
Seorang tokoh paling populer dan berpengaruh di dunia, yaitu Nabi Muhammad SAW mengajarkan agar kita senantiasa menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Sesuai dengan sabda beliau, “Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia itu sendiri” (Al-Hadîst)
Jadi, selain kita berduka cita atas beberapa kejadian bencana alam yang menimpa saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air di seberang pulau sana, tapi kita tidak pernah melupakan masyarakat sekitar yang juga membutuhkan pertolongan kita.