Wednesday, 29 October 2008

Tauhid dalam Pandangan Nurcholish Madjid

3 comments:

Terus terang saya tidak pernah bertemu langsung dengan Cak Nur (Nurcholish Madjid). Ketika saya mendaftarkan diri menjadi mahasiswa Program Studi Falsafah dan Agama, Universitas Paramadina, pada tahun 2005 Cak Nur dipanggil oleh Allah swt sehingga keinginan untuk menyimak dan mendengarkan kuliah serta ceramah beliau sirna begitu saja. Wafat beliau meninggalkan kesedihan yang begitu dalam bagi rakyat Indonesia karena mereka merasa kehilangan seorang Guru Bangsa yang kaya dengan khazanah keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan.

Pertama kali mengenal Cak Nur adalah ketika saya masih santri di Pondok Pesantren Manahijussadat, Lebak, Banten, banyak orang membicarakan isu-isu yang esensial dengan dirinya seperti liberalisasi, sekularisasi, dan lain sebagainya. Bahkan, ada seorang guru saya yang mengatakan bahwa Cak Nur telah menyimpang dari Islam karena ia berpendapat bahwa al-Qur’an sudah tidak relevan lagi saat ini. Mungkin itu sesuai dengan apa yang dikatakan dalam pepatah, “wa kam min ‘ā’ib-in qawl-an shahih-an wa āfatuh-u min al-fahm-i ‘l-saqīm”, begitu banyak orang yang mencela perkataan yang baik karena kesalahpahaman mereka sendiri. Begitu banyak orang yang mencela pesan-pesan baik Cak Nur karena mereka tidak membaca langsung karya-karyanya dan menyebabkan mereka salah paham.

Dengan membaca langsung karya-karya Cak Nur dengan penuh penghayatan niscaya setiap pembaca akan terpesona dengan keluasan wawasannya. Dengan penuturan bahasa yang begitu sederhana, mudah untuk dimengerti, setiap pembaca mampu menangkap makna yang tersirat. Walaupun, penuturan bahasa di dalam tulisan-tulisannya begitu sederhana tapi memiliki kedalaman makna yang luar biasa.

Bagi saya, yang paling menarik dari pemikiran-pemikiran Cak Nur adalah tawhid (Ketuhanan Yang Maha Esa). Walaupun beliau memiliki begitu banyak wawasan tentang kenegaraan dan kemodernan, tapi tawhid adalah wawasannya yang paling menarik dan membumi yang bisa dipraktekkan dalam keseharian kita. Dalam karya monumentalnya, Islam, Doktrin, dan Peradaban, beliau mengelaborasi dengan komprehensif prinsip-prinsip ketawhidan dalam Islam yang membebaskan dan tidak membelenggu umat Islam kepada kefanatikan golongan tertentu. Dan tawhid adalah inti dari semua ajaran-ajaran agama Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw.

Tauhid Yang Membebaskan

Tauhid adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Ia merupakan inti dari semua ajaran-ajaran Islam. Tauhid (tawhīd) berasal dari kata hid yang berarti satu atau esa. Maka, tauhid berarti mengesakan Tuhan. Di dalam Islam, tauhid adalah tumpuan dalam beriman sehingga dosa yang tidak akan pernah diampuni oleh Tuhan adalah menyekutukan-Nya (al-syirk).

Dalam pandangan Cak Nur, tauhid adalah kemahaesaan Tuhan sekaligus kemutlakan-Nya dan wujud Tuhan adalah wujud kepastian. Wujud Tuhanlah wujud yang mutlak dan semua wujud selain wujud Tuhan adalah wujud yang nisbi. Termasuk manusia itu sendiri, betapa pun tinggi derajatnya atau kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna, memutlakkan nilai manusia terhadap dirinya sendiri maupun orang lain bertentangan dengan tauhid. Berbuat baik dan beribadah kepada Tuhan tidak akan bisa terjalin dengan baik dengan memutlakkan sesama makhluk, termasuk manusia.

Salah satu kelanjutan logis dari prinsip keesaan Tuhan itu ialah persamaan manusia. Yakni, semua manusia dilihat dari derajatnya, harkatnya, dan martabatnya adalah sama. Tak seorang pun dapat merendahkan atau menjatuhkan derajat, harkat, dan martabat sesama manusia, misalnya dengan memaksakan sesuatu yang ia anggap benar kepada orang lain. Karena keesaan Tuhan adalah kemutlakannya. Ketiadaan sesuatu yang memiliki kebenaran mutlak selain diri-Nya meniscayakan kebenaran yang relatif bagi seluruh makhluknya.

Dari prinsip-prinsip tauhid di atas setiap manusia memiliki hak penuh untuk kebebasan pribadinya dan menentukan kebenarannya tanpa ‘intimidasi’ dari manusia lain. Dengan kebebasan pribadinya, manusia berhak menentukan secara sadar dan bertanggung jawab atas pilihannya yang baik dan yang buruk. Tuhan pun sepenuhnya memberikan kebebasan kepada setiap manusia untuk menentukan pilihannya untuk menerima atau menolak petunjuk-Nya, tentunya dengan risiko yang akan ditanggung oleh manusia itu sendiri berdasarkan pilihannya.

Penutup

Dari sekian banyak pemikiran yang telah ditawarkan oleh Cak Nur, bagi saya yang pada awalnya cenderung memahami tauhid secara sempit, tawhid adalah pemikiran beliau yang paling berpengaruh dan seakan-akan relevansinya tak akan pernah surut ditelan oleh masa. Bila kita mengamati seluruh fenomena keagamaan yang terjadi saat ini maupun yang akan datang seperti klaim kesesatan terhadap aliran-aliran tertentu seperti kemunculan nabi-nabi baru dan Jama’ah Ahmadiyah di negara kita adalah sebuah pemaksaan kebenaran yang bertentangan dengan konsep tauhid yang dimaksudkan oleh Cak Nur. Apabila konsep tauhid yang ditawarkan olehnya dapat kita hayati bersama niscaya persoalan tentang klaim kesesatan terhadap kelompok-kelompok tertentu seperti nabi-nabi baru dan Jama’ah Ahmadiyah dapat teratasi dengan mudah tanpa ada pihak-pihak yang dirugikan.