Bulan Oktober adalah bulan kelahiran The Grand Old Man, Haji Agus Salim. Sayangnya masyarakat Indonesia bahkan mungkin para politisi lupa, padahal bulan tersebut adalah bulan kelahiran tokoh yang berperan dalam diplomasi dan politik bangsa kita. Seorang yang berwawasan luas, merakyat, dan dekat di hati anak-anak muda ini memberikan kita pelajaran soal berbagai hal: keteladanan, etika politik, dan kebangsaan.
Tiga hal tersebut nampaknya begitu relevan dibahas saat ini. Mengingat fenomena yang terjadi dalam perpolitikan bangsa kita sekarang, tiga hal tersebut juga harus disampaikan kembali kepada masyarakat, khususnya para politisi (elite) bangsa kita dalam rangka menegaskan kembali jati diri kebangsaan kita. Gaya kepemimpinan, kemandirian jiwa, dan identitas kebangsaan juga tentunya tercermin dalam gaya hidup diplomat kita ini.
Cerminan kebanggaan bangsa bisa ditemukan dalam sosoknya. Keteladanan dalam membantu terbentuknya republik ini memberikan kita semangat perjuangan yang tak bisa dihilangkan sampai saat ini. Baginya, memimpin itu menderita. Karena itu, wajar jika kita merindukan karakter kepemimpinan sepertinya.
Sebagai pribadi yang dikenal berjiwa bebas. Ia tak pernah mau dikekang batasan-batasan, bahkan ia berani mendobrak tradisi Minang yang kuat. Tegas sebagai politisi, tapi sederhana dalam sikap dan keseharian. Ia berpindah-pindah rumah kontrakan ketika di Surabaya, Yogyakarta, dan Jakarta. Di rumah sederhana itulah ia menjadi pendidik bagi anak-anaknya, kecuali si bungsu, bukan memasukkannya ke pendidikan formal. Alasannya, selama hidupnya Agus Salim mendapat segalanya dari luar sekolah. ”Saya telah melalui jalan berlumpur akibat pendidikan kolonial,” ujarnya tentang penolakannya terhadap pendidikan formal kolonial yang juga sebagai bentuk pembangkangannya terhadap kekuasaan Belanda.
Keteladanan, Etika Politik, dan Kebangsaan Agus Salim
Mengamati fenomena yang terjadi sekarang, ternyata krisis yang melanda bangsa kita adalah krisis kepemimpinan. Kepemimpinan dalam bangsa kita tidak memberikan kita keteladanan yang baik. Para pejabat di negeri ini dapat menikmati berbagai fasilitas yang disediakan ketika kesenjangan sosial dan masalah kemiskinan belum juga terselesaikan. Di samping itu, berbagai kasus korupsi juga masih mewarnai perjalanan panjang tanah air kita.
Persoalan di atas membuat kita merindukan kembali seorang pemimpin yang dipenuhi nilai-nilai kesederhanaan seperti Agus Salim. Meski ia telah menjadi pejabat negara, ia masih saja sibuk dengan masalah tempat tinggal bersama keluarganya. Jabatan bukan sebuah kenikmatan baginya. Jabatan tidak membuatnya menjadi seorang yang meninggalkan nilai-nilai kesederhanaan.
Tentunya nilai-nilai kesederhanaan memang harus disesuaikan dengan semangat zaman. Kita mungkin saja berpandangan bahwa semangat zaman Agus Salim berbeda dengan semangat zaman sekarang. Namun, nilai-nilai kesederhanaan dan kebersamaan harus tetap dilestarikan. Para pejabat bisa saja memiliki fasilitas yang mewah, tetapi apakah itu sudah pantas? Sebab, prestise tidak ditentukan kemewahan, tetapi prestise ditentukan hasil kerja.
Selain itu, hal yang perlu kita pelajari dari Agus Salim adalah etika politiknya. Etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politis kehidupan manusia (Franz Magnis-Suseno, 1987). Berbicara soal etika politik tentunya terkait moralitas dalam berpolitik. Politik di sini tidak sebatas meraih dan mempertahankan kekuasaan. Ada etika yang mendasarinya. Jika tidak, para politisi akan terjebak ke dalam permainan kekuasaan semata. Etika (politik) juga mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia dalam berpolitik.
Dalam berpolitik, Agus Salim selalu menunjung tinggi etika. Dalam pemerintahan Republik Indonesia, ia beberapa kali duduk dalam kabinet: menteri muda luar negeri dalam Kabinet Sjahrir II (1946) dan Kabinet Sjahrir III (1947), menteri luar negeri dalam Kabinet Amir Sjarifudin (1947), dan menteri luar negeri Kabinet Hatta (1948-1949). Selama menduduki jabatannya, ia telah menjalankan tugas dengan baik, sehingga ia mendapatkan pengakuan dari negara-negara Arab.
Meski diberikan jabatan politik bergengsi, ia tetap memiliki komitmen terhadap kepentingan Indonesia yang tercermin dalam perjanjian Linggarjati. Hal tersebut tentunya berbeda dengan keadaan sekarang. Para pejabat cenderung menebar pesona di hadapan rakyat dengan mengumbar janji-janji, tetapi tak satu pun terwujud. Setiap janji yang telah disampaikan selalu bertolak belakang dengan kenyataan. Berbagai kasus korupsi, persoalan TKI, dan lain-lain masih saja melekat pada perjalanan bangsa ini.
Satu hal penting lagi yang dapat kita petik dari keteledanan Agus Salim adalah soal kebangsaan. Menjadi bagian dari bangsa Indonesia tidak pernah menjadikannya inferior. Ia memang menguasai sembilan bahasa, namun ia sama sekali tak pernah mengubah aksennya. Baginya, berbicara bahasa asing tak perlu meminta maaf karena aksen. Yang penting: kita tidak menyalahi aturan bahasa mereka.
Pelajaran penting dari hal tersebut adalah bahwa kita perlu menumbuhkan superioritas bangsa kita di mata dunia. Dengan begitu, kita tidak dipandang rendah dan bisa bersaing dalam diplomasi internasional. Persoalan posisi tawar Indonesia sebagai sebuah negara pun dapat diperhitungkan di dunia internasional, sehingga kita tak lagi disibukkan berbagai masalah yang terkait negara tetangga. Dengan begitu, jiwa kebangsaan yang tak diwarnai inferioritas dapat tumbuh seperti yang dicontohkan Agus Salim.