Wednesday 11 January 2012

Tauhid dan Pesan Kedamaian

Lagi-lagi kekerasan atas nama agama kembali terjadi di ujung tahun 2011. Umat Islam Indonesia seakan-akan tak pernah “bosan” dalam hal tersebut. Dimulai dari tragedi Cikeusik sampai Sampang, Madura, aksi-aksi anarkis selalu bergulir, bahkan menewaskan korban jiwa. Kejadian-kejadian tersebut menampilkan wajah Islam begitu menakutkan yang disertai gema takbir yang selalu diteriakkan. Gema takbir pun tak lagi menenteramkan hati.

Dalam pandangan Menteri Agama, kualitas kerukunan umat beragama di Tanah Air baik sepanjang 2011. Persoalan yang terjadi di kalangan internal agama atau antarumat beragama memang bersifat dinamis, tetapi faktor pemicunya tak bisa diklaim sepenuhnya sebagai konflik yang mengatasnamakan agama.

Menurutnya, kecerdasan dan kedewasaan menyikapi ketegangan di tengah-tengah umat beragama sangat dibutuhkan. Alasannya, peristiwa yang muncul dapat dipicu oleh berbagai penyebab seperti kekerasan murni, kendala izin mendirikan bangunan rumah ibadah, dan insiden yang dipengaruhi oleh faktor politik (Jurnal Nasional, 30/12/2011).

Apa yang telah disampaikan Menteri Agama tampaknya tidak sejalan dengan apa yang telah terjadi di sepanjang tahun 2011. Kerukunan umat beragama secara jelas telah bermasalah di sepanjang tahun tersebut. Meski yang menjadi faktor pemicu berbagai insiden tak bisa diklaim sepenuhnya sebagai konflik yang mengatasnamakan agama, masalah (keyakinan) agama selalu dijadikan alasan untuk berbuat anarkis.

Karena itu, langkah-langkah konkret dari Kementerian Agama diperlukan untuk memberikan pelajaran soal arti penting kerukunan, perbedaan, dan lain sebagainya. Dengan begitu, Islam (islām/salām) sebagai agama keselamatan dan kedamaian (rahmat-an li ‘l-‘ālamīn) pada akhirnya tidak tercederai.

Yang perlu ditekankan dalam pembinaan umat adalah Islam sebagai agama kedamaian dan keselamatan. Dalam sejarah kemunculannya—tepatnya ketika Nabi Besar Muhammad saw menyampaikan ajaran-ajarannya kepada umat manusia, tidak ada paksaan bagi mereka untuk memeluk agama Islam (Qs. 2:256). Bahkan, umat Islam mampu hidup berdampingan dengan umat lain/non Islam dengan harmonis dan saling menghargai satu sama lain.

Ada pun konflik dan peperangan yang telah terjadi pada masanya karena umat Islam ketika itu selalu dipojokkan dan ditindas oleh sebagian umat lain. Situasi itulah yang memaksa mereka untuk melakukan pembelaan terhadap diri sendiri, sehingga terjadilah pertempuran yang sebenarnya tidak pernah diinginkan oleh siapa pun, di mana pun, dan kapan pun. Karena itu, merupakan sebuah kesimpulan yang keliru bahwa Islam adalah agama yang disebarkan melalui pedang dan kekerasan.

Spirit awal penyebaran Islam yang dicontohkan Nabi Besar kita seakan-akan tak terlihat lagi. Umat Islam saat ini tak percaya diri dengan keimanan mereka dan tak siap menghadapi perbedaan. Padahal, perbedaan adalah sebuah keniscayaan.

Dengan kepercayaan diri dan semangat menghargai perbedaan, kita bisa menyegarkan pandangan kita untuk senantiasa mengakui bahwa ada persamaan-persamaan universal di balik perbedaan-perbedaan antaragama, antarmazhab, dan antarsekte. Bahkan, dalam agama (Islam) yang mengakui keanekaragaman sebagai manifestasi kekuatan yang alamiah, perbedaan akan diterima sebagai kekayaan masyarakat manusia, sebagai kebijaksanaan dalam bentuknya yang paling kreatif dan berharga.

Tauhid Pembebasan

Tauhid adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Ia merupakan inti dari semua ajaran-ajaran Islam. Tauhid (tawhīd) berasal dari kata hid yang berarti satu atau esa. Maka, tauhid berarti mengesakan Tuhan. Di dalam Islam, tauhid adalah tumpuan dalam beriman sehingga dosa yang tidak akan pernah diampuni oleh Tuhan adalah menyekutukan-Nya (al-syirk).

Dalam pandangan Cak Nur (Nurcholish Madjid), tauhid adalah kemahaesaan Tuhan sekaligus kemutlakan-Nya dan wujud Tuhan adalah wujud kepastian. Dengan begitu, wujud Tuhan wujud yang mutlak dan semua wujud selain wujud Tuhan adalah wujud yang nisbi.

Termasuk manusia itu sendiri, betapa pun tinggi derajatnya atau kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna, memutlakkan nilai manusia terhadap dirinya sendiri maupun orang lain bertentangan dengan tauhid. Berbuat baik dan beribadah kepada Tuhan tidak akan bisa terjalin dengan baik dengan memutlakkan sesama makhluk, termasuk manusia.

Salah satu kelanjutan logis dari prinsip keesaan Tuhan itu ialah persamaan manusia. Semua manusia dilihat dari derajatnya, harkatnya, dan martabatnya adalah sama. Tak seorang pun dapat merendahkan atau menjatuhkan derajat, harkat, dan martabat sesama manusia, misalnya dengan memaksakan sesuatu yang ia anggap benar kepada orang lain. Sebab, keesaan Tuhan adalah kemutlakannya. Ketiadaan sesuatu yang memiliki kebenaran mutlak selain diri-Nya meniscayakan kebenaran yang relatif bagi seluruh makhluknya.

Dari prinsip-prinsip tauhid tersebut, setiap manusia memiliki hak penuh untuk kebebasan pribadinya dan menentukan kebenarannya tanpa “intimidasi” dari manusia lain. Dengan kebebasan pribadinya, manusia berhak menentukan secara sadar dan bertanggung jawab atas pilihannya yang baik dan yang buruk.

Tuhan pun sepenuhnya memberikan kebebasan kepada setiap manusia untuk menentukan pilihannya untuk menerima atau menolak petunjuk-Nya, tentunya dengan risiko yang akan ditanggung oleh manusia itu sendiri berdasarkan pilihannya. Selain itu, konsekuensi logis dari tauhid adalah mengakui bahwa kebenaran mutlak hanya milik Tuhan, dan kebenaran relatif adalah kebenaran yang ada dalam keyakinan setiap manusia. Dengan kata lain, kebenaran yang kita yakini adalah kebenaran relatif.

In conclusion, hubungan kerukunan umat beragama dan tauhid pembebasan mungkin secara sekilas sulit dipahami. Tetapi, dua hal tersebut memiliki kaitan erat sebenarnya. Kerukunan umat beragama, penghargaan terhadap berbagai perbedaan, dan kepercayaan diri terhadap keimanan tidak akan terwujud tanpa pengetahuan tentang tauhid pembebasan.

Di samping memberikan pelajaran soal arti penting kerukunan beragama, pihak-pihak berwenang—Kementerian Agama dan Pemerintah—juga tentunya harus menindak tegas orang-orang atau kelompok-kelompok yang melakukan kekerasan atas nama agama. Sebab, kekerasan tidak bisa ditolerir dengan alasan apa pun.

No comments: