Monday 17 June 2013

Dari Manahijussadat ke Sri Lanka

“It is not who I am underneath, but what I do that defines me.” – Batman Begins (2005)

Saya diminta menyumbangkan sebuah tulisan untuk majalah ini. Tulisannya bisa berbentuk apa saja. Yang penting, tulisan itu bisa memberikan para santri sebuah wawasan atau dorongan belajar. Paling tidak, dorongan belajar untuk membaca dan menulis.

Menulis adalah hobi. Setelah berkutat dengan beragam bacaan, saya bisa menyadari bahwa kepintaran atau kejeniusan seseorang akan menjadi sia-sia bila ia tidak pernah menuangkannya ke dalam sebuah tulisan. Menulis adalah transformasi gagasan.

Baiklah! Saya ingin berbagi pengalaman tentang perjalanan studiku dari SD sampai S-2 yang masih saya tempuh sekarang. Semoga saja ini bermakna.

Di SDN Kadugedong, saya menempuh pendidikan dasar (1992-1998). Sejujurnya saya bukanlah seorang murid yang berprestasi di sana. Kemalasan mengalahkan kerajinan. Karena itu, saya belum merasakan suasana persaingan ketat dalam belajar. Saya bahkan hanya dikenal sebagai seorang murid pemalas oleh para guru. Meski begitu, saya tetap berterima kasih kepada mereka (dengan mendoakan yang terbaik) karena setiap huruf yang diajarkan memberikan sumbangan besar.

Salah satu hal paling menarik dari masa studi di SD adalah momen perpisahan. Dari sekian jumlah murid, hanya saya yang meneruskan studi ke pesantren. Harus diakui bahwa pesantren pada masa itu memang bukanlah lembaga pendidikan favorit. Berbeda dengan saat ini, masyarakat sudah memandang bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan di Indonesia yang sudah ada sebelum kemerdekaan. Sebagian para pendiri bangsa malah dibesarkan dalam tradisi pesantren seperti Haji Agus Salim, Bung Hatta, M. Natsir, dan lain-lain.

Saya bersama teman-teman yang berpartisipasi dalam konferensi perubahan iklim di Sri Lanka (2012) yang diselenggarakan International Network of Engaged Buddhists
Pada tahun 1998, saya masuk Pondok Pesantren Modern Manahijussadat. Dari sanalah, “petualangan” sesungguhnya dimulai. Menempuh masa pendidikan selama enam tahun membuat saya belajar banyak hal. Saya bahkan belajar “menanam” bakat. Banyak hal menarik yang bisa diperbincangkan.

Proses belajar di pesantren memang membutuhkan kesabaran. Bila tidak, kita tidak bisa menikmati hasil optimal yang telah dipupuk sebelumnya. Bukankah kenikmatan itu datang setelah perjuangan? Tidak ada kenikmatan (yang sesungguhnya) tanpa kerja keras.

Di pesantren, saya terbiasa menggunakan waktuku dengan optimal. Saya tahu bahwa aktivitas santri selama 24 jam begitu padat. Menurut saya, kepadatan itu malah bisa membuat kita berpikir kreatif. Di saat mengantre mandi, kita bisa memperdalam bacaan kita. Kita bisa melatih lidah berbahasa Arab dan Inggris dengan baik. Sedikit demi sedikit, kemampuan yang selalu diasah pasti akan teruji.

Di samping membaca buku-buku pelajaran, saya juga selalu berusaha memperluas wawasan dengan bacaan-bacaan yang terkait dengan kemodernan dan keindonesiaan. Dengan begitu, saya bisa memahami Islam di Indonesia dengan baik. Saya tak pernah membatasi diri dengan bacaan-bacaan tertentu. Bagi saya, tidak ada bacaan yang berbahaya. Yang ada hanyalah bacaan-bacaan yang sesuai dengan kadar permahaman pembaca itu sendiri.

Prestasi saya di pesantren memang cukup menarik. Saya selalu terbiasa membaca buku dengan santai dan diam-diam, sehingga teman-teman sempat heran dengan kesantaian saya di saat ujian. Saya malah terkesan tidak belajar. Hal itu sebenarnya disebabkan kebiasaan diri mengulang berbagai pelajaran yang telah disampaikan setiap hari. Bagi saya, ujian untuk belajar dan bukan sebaliknya.

Saya tidak pernah merasa bahwa saya begitu berbakat, tetapi sebagai seorang santri saya memiliki kemampuan yang bisa dikembangkan dengan latihan dan ketekunan. Saya tidak mungkin menguasai semua bidang pelajaran. Karena itu, saya selalu berusaha melatih kemampuan menulis untuk menuangkan gagasan-gagasan yang telah terbentuk dari berbagai pelajaran yang telah disampaikan.

Tahun 2004 adalah tahun “perpisahan”. Setelah itu, saya mencoba mengabdi selama satu tahun di pesantren lain untuk menyusun strategi ke depan. Satu tahun adalah waktu yang pas untuk merefleksikan pikiran dan menyegarkan kembali pelajaran-pelajaran yang dulu. Sayangnya pengabdian saya tidak berjalan dengan baik. Namun, saya tetap bersyukur.

Setelah pengabdian, saya melanjutkan studi ke Universitas Paramadina (2005-2009). Di sana, saya belajar mengembangkan pergaulan lintas batas. Setelah sekian lama berkutat dalam berbagai wacana keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan yang dibantu interaksi sosial antara dosen dan mahasiswa yang begitu terbuka, saya bisa menangkap roh perjuangan Nurcholish Madjid yang tertuang di dalam tulisan-tulisannya. Bagi saya, Universitas Paramadina adalah sebuah lembaga pendidikan yang didirikan sebagai bentuk transformatif dari seluruh gagasan Guru Bangsa kita untuk membangun sebuah peradaban.

Dengan uang bulanan yang sering tidak mencukupi, saya menjalankan kuliah dengan mengasah kemampuan menulis. Dengan bekal pelajaran di pesantren, tulisan saya selalu menghiasi buletin, majalah dinding Dewan Keluarga Masjid (DKM), dan pers mahasiswa. Itu bisa membantu menutupi biaya kuliah.

Pada tahun 2011, saya berhasil mendapatkan beasiswa program magister dalam bidang filsafat (falsafah) dan mistisisme (tashawwuf) di Islamic College for Advance Studies (ICAS). Saya selalu berusaha memahami tulisan-tulisan dari para filsuf seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ikhwan al-Shafa, Ibn Rusyd, Suhrawardi al-Maqtul, Mulla Sadra, dan lain sebagainya. Meski itu begitu sulit, saya sangat menikmatinya. Kita ternyata memiliki begitu banyak filsuf dan saintis dalam sejarah Islam. Namun, satu hal yang sangat disayangkan adalah kesalahpahaman tentang filsafat di sebagian umat Islam.

Di saat kuliah, saya selalu bersyukur bahwa saya memiliki bekal yang begitu berharga dari pesantren. Dengan bekal tersebut, saya memiliki kepercayaan diri lebih untuk bergaul dengan siapa pun atau bahkan orang yang berbeda agama dan aliran. Hal itu pula yang memberikan saya beberapa kesempatan untuk menghadiri konferensi antarumat beragama di luar negeri. Sri Lanka adalah salah satunya.

Last but not least, inilah sekelumit pengalaman sederhana. Semua hal tentunya tidak dapat ditulis secara optimal dalam satu artikel. Saya hanya ingin mengingatkan satu hal saja bahwa menulis penting untuk menuangkan gagasan-gagasan kita. Karena itu, penulis yang baik adalah pembaca yang baik!

Sabrina/Edisi 3/Th. III/VI/2013/Sya’ban/1434

No comments: