Tuesday 2 August 2011

Memimpin Republik dengan Konstitusi


Jurnal Nasional, 24 Juli 2011

Judul: Memimpin Republik dengan Konstitusi
Penyusun: Arif Budimanta dkk.
Penerbit: Megawati Institute
Tebal: 156 halaman

Buku Memimpin Republik dengan Konstitusi merupakan sebuah karya yang memotret perjalanan bangsa ini sepanjang tahun 2010. Karya tersebut menghadirkan pembacaan kritis terhadap politik, ekonomi, hukum, lingkungan, pendidikan, dan hak asasi manusia (HAM). Pembacaan kritis itu ditilik dan dicermati dengan menggunakan perspektif konstitusi sebagai konsensus dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Memimpin Republik dengan Konstitusi adalah sebuah visi dan wacana yang diharapkan dapat menggugah kesadaran politik para pemimpin bangsa ini, bahwa kesempatan dan kemungkinan untuk bangkit selalu ada, bahkan terang benderang. Basisnya, pemimpin negeri ini harus memiliki keberanian, kejujuran, dan ketulusan untuk memimpin republik berdasarkan konstitusi, bukan pada kepentingan golongan, apalagi kemapanan pribadi.

Sebagai sebuah karya, buku ini tidak hanya mengetengahkan kritik, tetapi juga pemikiran alternatif dalam rangka membangkitkan kesadaran pentingnya menjadikan konstitusi sebagai rujukan utama bagi kepemimpinan nasional. Buku ini merupakan upaya untuk melihat secara kritis potret kepemimpinan nasional sepanjang tahun 2010 dan bagaimana menghadapi tahun-tahun selanjutnya yang penuh dengan tantangan dan peluang untuk bangkit.

Abai dan lupa terhadap konstitusi menyebabkan bangsa ini tidak mampu mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur, sebagaimana tertuang dalam alinea Preambul UUD 1945. Padahal, Bung Karno sudah mewanti-wanti agar kita semua “jangan sekali-kali melupakan sejarah” atau yang lebih dikenal dengan “jas merah”. Salah satu penyakit lupa yang sangat mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu hilangnya kesadaran tentang pentingnya konstitusi dalam berbangsa dan bernegara.

Fakta tersebut bisa dilihat dalam potret bangsa ini sepanjang tahun 2010, di mana kehidupan politik tidak mampu mempersatukan seluruh warga. Praktik politik di permukaan yang terlihat “demokratis” bukan mempersatukan seluruh warga dalam rangka membangun negeri, justru semakin memperluas jurang perseteruan, bahkan konflik. Hal tersebut disebabkan hilangnya spirit persatuan yang menjadi roh dalam kehidupan berbangsa sebagaimana dirancang dan dibangun para pendiri bangsa ini.

Kedaulatan bangsa dan negara juga sejatinya harus menjadi prinsip yang melekat pada setiap kebijakan ekonomi. Beberapa kebijakan ekonomi kerap kali mengabaikan kepentingan rakyat. Akibatnya, setiap kebijakan cenderung menguntungkan pihak asing dan merugikan kemaslahatan publik. Kebijakan ekonomi yang cenderung neoliberal telah melabrak rambu-rambu konstitusi yang menegaskan pentingnya kemakmuran rakyat.

Begitu halnya dalam bidang penegakan hukum, keadilan tidak dijadikan sebagai acuan dan prinsip yang mendasar bagi aparat penegak hukum. Mereka yang berkuasa dapat mengendalikan hukum, sehingga mencederai rasa keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Mencari keadilan di republik ini hampir menjadi sesuatu yang mustahil. Hukum hanya diterapkan bila berkaitan dengan rakyat kecil, tetapi jika berkaitan dengan para elite, keadilan cenderung disembunyikan, bahkan diabaikan. Padahal, tujuan akhir dari Pancasila adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia—sebuah sila yang menjadi “yatim-piatu”.

Konstitusi merupakan prasyarat utama dalam rangka meneguhkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan tegaknya Bhinneka Tunggal Ika. Jika konstitusi diabaikan, maka yang terjadi adalah munculnya gejala disintegrasi sosial. Apalagi ditopang dengan kondisi ekonomi yang karut-marut dan penegakan hukum yang tidak berkeadilan, maka akan mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu hilangnya kepercayaan publik terhadap konstitusi. Karena itu, yang diperlukan adalah kepemimpinan alternatif, yakni kepemimpinan yang berpijak dan berangkat dari konstitusi. Kepemimpinan yang memiliki keberanian dalam mengambil langkah-langkah penting untuk kemaslahatan publik sebagaimana diamanatkan konstitusi.

Berbagai permasalahan bangsa yang terkait hal-hal di atas dapat dikerucutkan ke dalam satu hal, yaitu kemiskinan. Kemiskinan merupakan masalah yang belum juga terselesaikan dalam bangsa kita yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis. Kemiskinan juga sebenarnya merupakan anak halal dari demokrasi, yang menyebabkan bangsa ini lamban dalam meniti tangga dalam kemajuan dan peradaban. Bahkan, kemiskinan telah menjadi pangkal dari segala persoalan, terutama dalam hal solidaritas dan integritas sosial. Sehingga, tidak berkurangnya angka kemiskinan di Indonesia menjadi cermin bahwa bangsa ini masih berada jauh dari yang dicita-citakan.

Jika ditilik secara mendasar, masalah tersebut terjadi karena praktik demokrasi dijauhkan dari spirit dan nilai-nilai yang terkandung di dalam konstitusi sebagaimana tercermin dalam Pancasila dan UUD 1945. Konstitusi tidak dijadikan sebagai landasan dan barometer untuk menilai sejauh mana kepercayaan politik yang diberikan rakyat kepada pemerintah dijalankan dengan baik dan benar.

No comments: