Tuesday, 27 March 2012

Budaya Korupsi Kita

It is not who I am underneath, but what I do that defines me.” – Batman Begins (2005)

Kejahatan tidak hanya terjadi karena niat pelaku, tetapi juga karena kesempatan.” – Bang Napi

Korupsi berasal dari bahasa Latin, corruptio dari (kata kerja) corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, dan menyogok. Secara literal, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politisi atau pegawai negeri, yang secara tidak wajar memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik.

Dalam arti yang luas, korupsi (atau korupsi politis) adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan (pribadi) di berbagai lembaga, baik pemerintah dan bukan pemerintah. Dengan kata lain, korupsi bisa terjadi di mana saja, bahkan di lembaga-lembaga kecil non pemerintah seperti lembaga riset dan lain sebagainya (baca: Wikipedia).

Di negara kita, korupsi begitu marak. Dari lapisan atas sampai bawah, pusat sampai daerah, dan partai-partai, korupsi tetap menunjukkan eksistensinya. Sebagai gambaran, negara kita mungkin tercermin seperti Gotham dalam Batman Begins (2005), The Dark Knight (2008), dan The Dark Knight Rises (2012) yang disutradarai Christopher Nolan. Tiga film tersebut menggambarkan keadaan sebuah kota yang didominasi para koruptor di mana orang-orang yang baik sulit dijumpai. Bahkan, hukum pun bisa “dibeli” dengan cara menyuap para hakim, pengacara, polisi, dan seluruh lapisan masyarakat.

Hal-hal ini yang memicu kemunculan Batman (Bruce Wayne). Batman datang untuk menindak ketidakadilan di Gotham dengan bantuan Gordon, seorang detektif yang bisa dipercaya, dan Rachel, seorang pengacara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Dengan demikian, Batman pun sebenarnya masih percaya bahwa ada orang-orang yang mau menyampaikan kebenaran di tengah-tengah masyarakat yang begitu korup.

Gambaran Gotham sebagai kota yang “sakit” mungkin cocok dengan realitas yang kita hadapi sekarang di negara ini. Kita mungkin saja membutuhkan seorang sosok seperti Batman (atau Ratu Adil dalam istilah Bung Karno) untuk memberantas korupsi. Meski begitu, Batman hanyalah salah satu tokoh fiktif atau pahlawan yang difilmkan yang diangkat dari DC Comics. Kita pun teringat pada film-film tentang Batman karena ada hal sama yang memang telah menjadi masalah yang paling akut di Indonesia: korupsi.

Korupsi menghampiri berbagai instansi pemerintah kita, bahkan hal tersebut sudah menjadi hal biasa. Pada masa dulu, orang yang jahat pasti dijauhi. Sekarang, justru sebaliknya. Orang yang berani memberantas korupsi pun dijauhi, bahkan dikucilkan. Hal itu dapat dilihat dari berbagai fenomena yang muncul dari badan yudikatif, legislatif, dan eksekutif.

Di samping itu, korupsi menjadi sebuah tradisi yang “terorganisir”. Ini merupakan hal berbahaya karena kejahatan yang terorganisir bisa mengalahkan kebenaran yang tidak terorganisir. Karena itu, diperlukan langkah-langkah konkrit dan sikap tegas yang bisa memberantasnya. Jika tidak, ia akan mendarah daging dalam prilaku kehidupan berbangsa kita. Bahkan, ia mungkin akan terwarisi ke generasi-generasi bangsa selanjutnya.

Dengan alasan apa pun, korupsi tidak bisa ditolerir. Sebab, korupsi bertentangan dengan etika. Dari sudut pandangan etika, korupsi secara etis harus dicela dengan dua alasan: pertama, setiap rupiah yang diperoleh dari hasil korupsi adalah hasil curian. Setiap koruptor adalah pencuri; kedua, korupsi adalah sebuah bentuk ketidakadilan tingkat tinggi karena ia dilakukan orang-orang yang memiliki dan memanfaatkan kedudukan istimewa yang tidak dimiliki yang lain (Franz Magnis-Suseno, 2009).

Orang atau lembaga yang korup tidak bisa membedakan yang benar dan salah. Semuanya menjadi abu-abu dan tidak memiliki garis demarkasi. Menurut (Romo) Magnis-Suseno (2009), korupsi bisa terjadi karena beberapa hal. Paling tidak, ada dua hal mendasar yang memicu korupsi bisa terjadi: (1) kondisi struktural; (2) faktor budaya.

Korupsi muncul karena permasalahan struktural. Ia bisa terjadi dan tergantung dari struktur-struktur kekuasaan. Untuk mengatasinya, diperlukan sistem atau struktur yang terdiri dari dua hal: (1) transparansi dan akuntabilitas; (2) good governance. Transparansi dan akuntabilitas adalah dua hal yang harus diterapkan untuk memberantas korupsi. Karena itu, sistem auditing diperlukan. Jika tidak, good governance sulit terwujud. Selain mengefisiensikan pembagian kerja atau kewenangan, good governance juga mengandaikan transparansi dan akuntabilitas. Good governance tentunya meliputi penegakan hukum yang adil.

Selain permasalahan struktural, korupsi juga bisa terjadi karena faktor budaya. Kebudayaan pun memiliki peran penting dalam hal korupsi. Meski begitu, jika korupsi semakin menjadi-jadi, itu bukan karena budaya yang mendukungnya. Tetapi, sikap-sikap yang menentangnya tidak mendapatkan tempat. Sebagai contoh, ada masyarakat tertentu yang menekankan kerukunan dan senioritas. Senioritas berarti bahwa orang yang lebih tinggi tidak dapat ditegur atau ditantang dari bawah. Namun demikian, cara pandang tersebut harus tetap dihapuskan karena bertentangan dengan nilai-nilai tertentu.

Last but not least, korupsi bukanlah sebuah perbuatan yang halal. Ia bertentangan dengan nilai-nilai etika, agama, dan kemanusiaan. Selain itu juga, korupsi adalah perbuatan orang-orang yang tidak mampu berpikir dengan logis, perbuatan orang-orang yang sudah buta dan sulit untuk membedakan mana yang baik dan buruk. Sekali lagi, orang yang berpikir dengan logis harus konsisten dengan kebenaran karena logika adalah cara kita berpikir dengan benar.

No comments: