Sunday 20 May 2012

VISI KEBUDAYAAN BUNG KARNO

…bahwa revolusi itu sendiri adalah kebudayaan,
sebagaimana halnya politik.
– Bung Karno

Membaca sejarah Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah perjalanan dan pemikiran Bung Karno. Ia adalah sosok fenomenal. Ia juga merupakan presiden pertama Republik Indonesia yang diwarnai berbagai kontroversi politik dalam panggung sejarah bangsa kita. Meski begitu, hal tersebut tidak mungkin mengurangi karismanya sebagai pendiri bangsa yang paling berpengaruh.

Dalam hal kebudayaan, Bung Karno telah menekankan pentingnya kebangsaan yang berkebudayaan. Menurutnya, sebuah bangsa akan berdiri dengan kokoh bila ia memiliki kemandirian dalam bidang ekonomi, kedaulatan dalam bidang politik, dan kepribadian dalam bidang kebudayaan (Tri Sakti). Tampaknya tiga hal tersebut bukanlah ungkapan yang tak bermakna. Kepribadian dalam bidang kebudayaan harus digarisbawahi. Sebab, sebuah bangsa tidak akan bisa menciptakan peradabannya sendiri tanpa fondasi kebudayaan yang kuat. Menurut Abdul Hadi W.M., peradaban adalah wujud material dan kebudayaan adalah rohnya.

Baiklah! Kita kembali lagi ke Bung Karno. Revolusi kebudayaan yang digagasnya bersifat radikal. Dalam kebijakannya, ia melarang dengan keras masuknya budaya-budaya luar (Barat) ke Indonesia. Hal ini berdampak kepada Koes Bersaudara—yang sekarang dikenal dengan Koes Plus. Mereka pernah dipenjarakan karena melantunkan musik yang memiliki warna The Beattles. Mereka beberapa kali ditegur, tetapi mereka tetap terlena dengan irama musik The Beattles.

Nurani Soyomukti menjelaskan dengan baik visi kebudayaan Bung Karno. Dalam bukunya, Soekarno: Visi Kebudayaan dan Revolusi Indonesia (Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2010), Nurani menyajikan polemik kebudayaan yang terjadi di antara para pendiri bangsa. Perdebatan di antara Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara [KHD]) dan Tjipto Mangoenkoesoemo begitu dahsyat. Bagi KHD, pembebasan manusia dari cengkeraman keruntuhan moral dapat terwujud hanya jika kebudayaan Jawa lenyap dan orang Jawa menjelma menjadi manusia Hindia yang sanggup berinteraksi dengan masyarakat internasional. Meski begitu, ia tetap meyakini bahwa ada segi-segi kebudayaan Jawa yang tidak feodalistis yang perlu dihidupkan agar rakyat memiliki rasa percaya diri yang lebih besar. Bagi KHD, kemerdekaan di bidang politik tidak akan bertahan bila bangsa ini masih terjajah di bidang kebudayaan.

Pandangan KHD dikritik Tjipto. Bagi Tjipto, memasukkan kebudayaan Jawa dalam sistem pendidikan kita hanya akan melemahkan gerakan anti kolonialisme. Jawa sebagai entitas budaya dan politik sedang sekarat. Karena itu, kita lebih baik membuangnya sama sekali dan berkonsentrasi dalam gerakan politik. Tanpa kemerdekaan di bidang politik, perjuangan di wilayah kebudayaan tidak akan berarti. Bagi Tjipto, yang menyatukan seluruh rakyat Hindia Belanda bukanlah kesamaan sejarah atau tradisi, melainkan kepentingan material yang sama.

Di mana posisi Bung Karno? Kita mungkin sulit memetakannya. Kita tidak bisa meletakkan posisinya tanpa dasar alasan yang jelas. Terlepas dari perdebatan antara KHD dan Tjipto, visi kebudayaan Bung Karno sebenarnya tercermin dalam perumusan Pancasila. Sebab, Pancasila adalah cermin budaya Indonesia dari sejarah kebudayaan panjang. Ia bervisi budaya pluralis dalam konteks penyatuan Nusantara yang terdiri dari berbagai suku, agama, dan adat ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Untuk itu, ia berkata dalam Pidato Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945:
Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong-royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong-royong!
“Gotong-royong” adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan”, Saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu paham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama! Gotong-royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah gotong-royong!
Prinsip gotong-royong di antara yang kaya dan tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara bukan yang Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia. Inilah, Saudara-saudara, yang saya usulkan kepada Saudara-saudara.
Bung Karno memberikan semangat kebersamaan kita pendasaran kuat dengan menegaskan bahwa gotong royong adalah pokok dari Pancasila. Maka, setiap kebijakan di setiap sistem bernegara kita harus mengandung semangat kegotongroyongan. Dengan begitu, kita bisa menemukan jati diri bangsa kita.

Semangat gotong royong dimaksudkan menjadi jargon atau doktrin yang mencirikan kebangsaan kita, Bangsa Indonesia. Gotong royong harus dijadikan semangat dalam mencapai kepentingan bersama. Meski cara kita berbeda, kepentingan kita untuk bersama. Merdeka!!!

No comments: