Humanisme dalam banyak literatur diungkapkan, berasal
dari kata “umanista” dari bahasa Latin atau “umanesimo” dari bahasa Italia (Campana, 1946). Dua kata tersebut
kini berarti manusia atau human.
Pengertian humanisme pada dasarnya tidak tunggal.
Di satu sisi, ia berarti gerakan untuk menghidupkan ilmu-ilmu kemanusiaan atau
biasa disebut sebagai “humaniora”. Di sisi lain, ia berarti sebuah gerakan
filsafat yang menekankan sentralitas manusia (Luthfi Assyaukanie, 2009). Esai
ini tentunya fokus pada sisi kedua meski sisi pertama belum tentu terabaikan.
Lorens Bagus (2005) mendefinisikan humanisme
sebagai aliran filsafat yang menganggap individu rasional sebagai nilai paling
tinggi dan sumber nilai terakhir untuk memupuk perkembangan kreatif dan moral
manusia secara rasional dan tanpa acuan dari konsep-konsep adikodrati.
Humanisme dalam tradisi ilmiah Islam memiliki
padanan kata yang sungguh menarik: al-insaniyyah.
Kata “insan” yang sudah dibakukan ke
dalam bahasa Indonesia merupakan derivasi dari kata “al-uns” yang berarti akal-budi—sebuah terjemahan yang diambil dari
filsafat etika Ibn Miskawayh dalam karyanya berjudul Tahdzib al-Akhlaq.
Berbeda dari tradisi ilmiah yang berkembang di
Eropa, humanisme Islam justru lahir dari persinggungannya dengan teologi dan
metafisika. Setiap cabang ilmu yang berkembang di dunia Islam selalu memiliki
latar belakang atau pendasaran teologis dari Kitab Suci.
Setiap filsuf, teolog, ahli fikih, ahli tafsir
dalam merumuskan pikiran-pikiran mereka pasti berangkat dari kebutuhan akan
peran manusia sebagai pusat semesta. Salah satu contoh sederhananya adalah ditemukannya tanda baca dalam membaca Alquran
yang melahirkan studi-studi humaniora atau adabiyyah
(yang dikenal dengan Fakultas Adab di universitas Islam).
Dalam ilmu fikih misalnya kita bisa menemukan
sebuah perangkat yang dirumuskan al-Syafi’i untuk menentukan sebuah pendasaran hukum
yang dikenal sebagai ushul al-fiqh
(dasar-dasar ketentuan hukum). Di dalamnya kita banyak menemukan kaidah-kaidah
logis dalam menentukan sebuah kebijakan.
Salah satu kaidah yang begitu populer dalam ushul al-fiqh adalah “al-hukmu yaduru ma’al ‘illati wujudan wa
‘adaman”. Artinya, ada atau tidaknya sebuah ketentuan hukum ditinjau dari keadaannya
atau sebab-sebab hukum tersebut berlaku (‘illatul
hukmi).
Kaidah ini membuat ketentuan hukum yang berlaku
menjadi begitu lentur ketika undang-undang dalam sebuah negara memang
bertentangan dengan semangat zaman atau kebutuhan masyarakat setempat.
Dalam teologi, kita bisa menemukan bagaimana para
teolog menemukan konsep-konsep keadilan Tuhan yang sebenarnya terkait dengan
kehidupan manusia. Ketika keadilan Tuhan telah “dirumuskan”, setiap manusia
dalam pandangan mereka diharapkan hidup dalam kebaikan.
Contoh yang paling konkret adalah apa yang coba
dilakukan kelompok Muktazilah. Mereka pada hakikatnya berusaha membawa tradisi
filsafat yang mengutamakan kebebasan manusia sebagai ketentuan di Hari Akhir.
Bagi mereka, hidup manusia bebas sepenuhnya dari intervensi Tuhan. Lihat Teologi Rasional Muktazilah di IslamLib.
Dalam filsafat, humanisme mendapatkan tempatnya
yang paling lengkap. Dimulai dari al-Kindi yang menulis al-Falsafah al-Ula sampai Ibn Rusyd yang memiliki proyek
rasionalisme untuk dunia Islam, manusia sebagai pusat semesta menjadi pembahasan
utama.
Kita bisa memahami bagaimana Ibn Thufayl menulis
roman filsafatnya yang kental dengan pendekatan metafisika tanpa menafikan
peran manusia sebagai pusatnya dalam Hayy
bin Haqzhan (Si Hidup Anak Si Sadar).
Di dalamnya, Ibn Thufayl berusaha menyakinkan kita bahwa kebenaran bisa
didapatkan melalui akal meski kita hanya berinteraksi dengan seekor rusa dan
binatang lain.
Ibn Rusyd seorang filsuf rasionalis sejati pernah
berujar dalam Fashlul Maqal-nya bahwa
jika akal dan wahyu berbenturan, wahyu harus ditafsirkan agar sesuai dengan
pemahaman akal (fa in kana muwafiqan fa
la qawla hunalika, wa in kana mukhalifan thuliba hunalika ta’wiluhu).
Dalam teori sosial, kita bisa membaca karya Ibn
Khaldun, Muqaddimah. Di dalamnya ia
berbicara tentang berbagai fenomena masyarakat, teori ekonomi, pajak dan
sebagainya yang menempatkan manusia sebagai pusat kajiannya.
Sayangnya perkembangan filsafat (atau humanisme)
menjadi tidak menarik sekarang karena pembahasannya justru kembali ke soal-soal
metafisika yang cenderung abstrak, tidak menjadikan manusia sebagai pusat
kajian. Kita bisa membacanya dari karya-karya Suhrawardi yang membahas mahiyah (esensi) dan Mulla Shadra yang
tidak bisa move on dari persoalan wujud (being).
Karena itu, filsafat yang berkembang di dunia
Islam sekarang adalah filsafat yang bercampur dengan mistisisme (tashawwuf). Saya tidak bisa membayangkan
betapa pusingnya kita memikirkan empat perjalanan manusia yang begitu abstrak
menuju Sang Pencipta. Sementara itu, persoalan kemunduran umat Islam sekarang begitu
nyata.
Dalam perkembangan tradisi ilmiah Islam, filsafat
sudah mengalami reduksi besar-besaran. Setiap karya yang lahir dari pemikir
Islam belum tentu merupakan sebuah karya filsafat. Alasannya adalah istilah
“filsafat” yang kini selalu diidentikkan dengan soal-soal yang abstrak
sebagaimana yang tercermin dalam filsafat Suhrawardi dan Mulla Shadra.
Hal ini menyebabkan karya-karya monumental dari para
pemikir Islam modern tidak pernah dianggap sebagai karya-karya filsafat.
Padahal, ada beberapa tokoh yang layak disebut sebagai para filsuf. Di
antaranya Abduh, Ali Abdur Raziq dan tokoh-tokoh kontemporer sekarang.
Kalau kita ingin mengembalikan humanisme yang dulu
pernah berkembang di tradisi ilmiah Islam, kita perlu mengembalikan filsafat
yang menempatkan manusia sebagai pusat kajiannya. Kita perlu menghidupkan
kembali proyek rasionalisme Ibn Rusyd dan mengembangkan kembali teori-teori sosial
Ibn Khaldun.
Catatan: Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di IslamLib
No comments:
Post a Comment