Pusat Studi Agama dan Demokrasi Yayasan Wakaf
Paramadina (PUSAD Paramadina) yang fokus pada isu-isu kebebasan beragama di
Indonesia baru saja memublikasikan Agama, Keterbukaan dan Demokrasi: Harapan dan Tantangan (2015).
Buku yang terdiri dari beberapa penulis itu
diawali dari orasi ilmiah yang disampaikan Franz Magnis-Suseno, SJ dalam
Nurcholish Madjid Memorial Lecture (NMML) pada 31 Oktober 2014 di Universitas
Paramadina.
Magnis melihat bahwa pandangan keislaman Cak Nur
begitu terbuka. Sehingga, ia melihat bahwa Islam yang ia baca melalui Cak Nur
memberi kita harapan untuk menjadi agama masa depan.
Kata Magnis:
Pernyataan Cak Nur tentang kemodernan dan kecocokan Islam dengan masa depan mendapat dimensi yang lebih mendalam lagi. Lalu Islam, dalam pandangan Cak Nur, bukan hanya modern karena tak kalah mendesain pesawat terbang atau menciptakan software komputer, melainkan karena Islam membenarkan manusia dalam martabatnya, padahal hormat terhadap manusia adalah inti harkat etis modernitas.
Setelah mengawali dengan pernyataan Cak Nur,
Magnis juga menyoroti hubungan antara Tuhan dan manusia yang mana percaya
kepada Tuhan mengimplikasikan penghormatan kepada manusia. Hal ini sejalan
dengan apa yang disampaikan Cak Nur tentang hakikat tauhid dan kemanusiaan.
Bagi Cak Nur, tauhid adalah kemahaesaan Tuhan
sekaligus kemutlakan-Nya dan wujud Tuhan adalah wujud kepastian. Wujud Tuhanlah
wujud yang mutlak dan semua wujud selain wujud Tuhan adalah wujud yang nisbi.
Termasuk manusia itu sendiri. Betapapun tinggi
derajatnya atau kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna,
memutlakkan nilai manusia terhadap dirinya sendiri maupun orang lain
bertentangan dengan tauhid. Berbuat baik dan beribadah kepada Tuhan tidak akan
bisa terjalin dengan baik dengan memutlakkan sesama makhluk, termasuk manusia.
Salah satu kelanjutan logis dari prinsip keesaan
Tuhan itu ialah persamaan manusia. Semua manusia dilihat dari derajatnya, harkatnya
dan martabatnya adalah sama. Tak seorang pun dapat merendahkan atau menjatuhkan
derajat, harkat dan martabat sesama manusia, misalnya dengan memaksakan sesuatu
yang ia anggap benar kepada orang lain dan sebagainya.
Karena pendasaran itu, keesaan Tuhan adalah
kemutlakan-Nya. Ketiadaan sesuatu yang memiliki kebenaran mutlak selain
diri-Nya meniscayakan kebenaran yang relatif bagi seluruh makhluknya.
Dari prinsip-prinsip tauhid di atas setiap manusia memiliki hak penuh untuk kebebasan pribadinya dan menentukan kebenarannya tanpa intimidasi dari manusia lain. Dengan kebebasan pribadinya, manusia berhak menentukan secara sadar dan bertanggung jawab atas pilihannya yang baik dan yang buruk.
Dari prinsip-prinsip tauhid di atas setiap manusia memiliki hak penuh untuk kebebasan pribadinya dan menentukan kebenarannya tanpa intimidasi dari manusia lain. Dengan kebebasan pribadinya, manusia berhak menentukan secara sadar dan bertanggung jawab atas pilihannya yang baik dan yang buruk.
Tuhan pun sepenuhnya memberikan kebebasan kepada
setiap manusia untuk menentukan pilihannya untuk menerima atau menolak
petunjuk-Nya—tentunya dengan risiko yang akan ditanggung manusia itu sendiri
berdasarkan pilihannya. Lihat “Tauhid dalam Pandangan Nurcholish Madjid”.
Hadirin
yang berbahagia,
Pandangan Cak Nur tentang tauhid ini, menurut
Magnis, bisa menjadi bekal untuk memperkokoh fondasi-fondasi hak asasi manusia
dan kebebasan beragama di masa depan meski hak asasi manusia di Indonesia masih
saja dicurigai sebagai kereta liberalisme dan individualisme.
Kata Magnis:
Menganggap hak-hak asasi manusia sebagai tanda individualisme [dan liberalisme] adalah prasangka—suatu prasangka yang sering tidak jujur—prasangka elit berkuasa yang merasa terancam kalau orang kecil diberdayakan.
Jaminan hak-hak asasi manusia adalah tanda solidaritas bangsa dengan anggota-anggotanya yang paling lemah, yang tidak bisa melawan, yang bisa digeser, digusur, dipukul, ditahan dan dibunuh begitu saja—tetapi dengan memastikan bahwa hak asasi mereka pun tanpa kecuali dihormati, masyarakat membuktikan bahwa ia solider dengan mereka.
Berbagai isu yang disampaikan Magnis pada tahun
pemilu itu masih memiliki relevansi yang kuat. Kita bisa melihat gejala-gejala
intoleransi dan antikemanusiaan terhadap kelompok-kelompok tertentu yang di
antaranya Ahmadiyah, Syiah dan LGBT. Hal ini seolah-olah menandakan pudarnya
Islam sebagai agama kemanusiaan.
Di dalam Qs. Al-Nahl: 93 Tuhan berfirman:
Dan kalau Tuhan berkehendak, niscaya Ia menjadikan kamu satu umat [saja], tetapi Ia menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.
Ayat di atas memberikan kita kesadaran bahwa
setiap manusia punya hak menentukan pilihannya sendiri. Setiap manusia berhak
memutuskan apakah ia mau beriman atau tidak, dan setiap manusia juga berhak
menentukan orientasi seksualnya, setiap tindakan yang dilakukannya. Karena itu,
setiap tindakan/pilihan manusia selalu disertai tanggung jawab.
Tidak hanya soal intoleransi di Indonesia, kita
juga bisa melihat gejala-gejala pudarnya Islam sebagai agama kemanusiaan ketika
negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam terpaksa mengungsi dari
Timur Tengah ke Eropa. Kita seolah-olah dihadapkan pada satu masa di mana Islam
menjadi agama yang sangat tidak manusiawi dan antikemajuan.
Kita mungkin keberatan dengan pernyataan tadi tapi
kenyataan tersebut sulit disangkal. Yang harus kita lakukan sekarang justru
mengembalikan Islam ke jalannya yang paling ideal. Kita tidak perlu menyalahkan
umat lain dengan mengatakan bahwa “ini konspirasi Yahudi” dan sebagainya.
Sebab, hal tersebut tidak pernah membuat kita semakin cerdas dalam menganalisis
apa yang sedang terjadi di kalangan umat Islam.
Salah satu cara untuk mengembalikan Islam ke jalan
yang paling ideal adalah melakukan introspeksi dan menumbuhkan kembali
kerendahan hati dalam beragama (tawadhu’)—sebagaimana
diusulkan Magnis dalam orasi ilmiahnya.
Menurut Magnis, tidak ada yang lebih menelanjangi
kebohongan seseorang selain berbicara tentang Tuhan dengan sombong sambil
menghina mereka yang berbeda. Kalau kita beragama dan dekat dengan Tuhan, kita
seharusnya merasakan betapa tidak berdayanya kita. Karena itu, beragama kita
harus didasari kerendahan hati.
Catatan: Ini adalah teks khotbah Jumat di Universitas
Paramadina pada 05 Februari 2016.
No comments:
Post a Comment