Thursday 4 February 2016

Agama dan Demokrasi di Indonesia

Pusat Studi Agama dan Demokrasi Yayasan Wakaf Paramadina (PUSAD Paramadina) yang fokus pada isu-isu kebebasan beragama di Indonesia baru saja memublikasikan Agama, Keterbukaan dan Demokrasi: Harapan dan Tantangan (2015).

Buku yang terdiri dari beberapa penulis itu diawali dari orasi ilmiah yang disampaikan Franz Magnis-Suseno, SJ dalam Nurcholish Madjid Memorial Lecture (NMML) pada 31 Oktober 2014 di Universitas Paramadina.

Dalam orasi ilmiahnya, Magnis berangkat dari sebuah pernyataan Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang tercatat dalam bukunya, Islam Doktrin dan Peradaban, bahwa “Islam adalah agama kemanusiaan terbuka.” Hal ini penting dicermati karena semua yang disampaikan Magnis bermuara dari pernyataan tersebut.

Magnis melihat bahwa pandangan keislaman Cak Nur begitu terbuka. Sehingga, ia melihat bahwa Islam yang ia baca melalui Cak Nur memberi kita harapan untuk menjadi agama masa depan.

Kata Magnis:
Pernyataan Cak Nur tentang kemodernan dan kecocokan Islam dengan masa depan mendapat dimensi yang lebih mendalam lagi. Lalu Islam, dalam pandangan Cak Nur, bukan hanya modern karena tak kalah mendesain pesawat terbang atau menciptakan software komputer, melainkan karena Islam membenarkan manusia dalam martabatnya, padahal hormat terhadap manusia adalah inti harkat etis modernitas.
Setelah mengawali dengan pernyataan Cak Nur, Magnis juga menyoroti hubungan antara Tuhan dan manusia yang mana percaya kepada Tuhan mengimplikasikan penghormatan kepada manusia. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan Cak Nur tentang hakikat tauhid dan kemanusiaan.

Bagi Cak Nur, tauhid adalah kemahaesaan Tuhan sekaligus kemutlakan-Nya dan wujud Tuhan adalah wujud kepastian. Wujud Tuhanlah wujud yang mutlak dan semua wujud selain wujud Tuhan adalah wujud yang nisbi.

Termasuk manusia itu sendiri. Betapapun tinggi derajatnya atau kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna, memutlakkan nilai manusia terhadap dirinya sendiri maupun orang lain bertentangan dengan tauhid. Berbuat baik dan beribadah kepada Tuhan tidak akan bisa terjalin dengan baik dengan memutlakkan sesama makhluk, termasuk manusia.

Salah satu kelanjutan logis dari prinsip keesaan Tuhan itu ialah persamaan manusia. Semua manusia dilihat dari derajatnya, harkatnya dan martabatnya adalah sama. Tak seorang pun dapat merendahkan atau menjatuhkan derajat, harkat dan martabat sesama manusia, misalnya dengan memaksakan sesuatu yang ia anggap benar kepada orang lain dan sebagainya.

Karena pendasaran itu, keesaan Tuhan adalah kemutlakan-Nya. Ketiadaan sesuatu yang memiliki kebenaran mutlak selain diri-Nya meniscayakan kebenaran yang relatif bagi seluruh makhluknya.

Dari prinsip-prinsip tauhid di atas setiap manusia memiliki hak penuh untuk kebebasan pribadinya dan menentukan kebenarannya tanpa intimidasi dari manusia lain. Dengan kebebasan pribadinya, manusia berhak menentukan secara sadar dan bertanggung jawab atas pilihannya yang baik dan yang buruk.

Tuhan pun sepenuhnya memberikan kebebasan kepada setiap manusia untuk menentukan pilihannya untuk menerima atau menolak petunjuk-Nya—tentunya dengan risiko yang akan ditanggung manusia itu sendiri berdasarkan pilihannya. Lihat Tauhid dalam Pandangan Nurcholish Madjid.

Hadirin yang berbahagia,

Pandangan Cak Nur tentang tauhid ini, menurut Magnis, bisa menjadi bekal untuk memperkokoh fondasi-fondasi hak asasi manusia dan kebebasan beragama di masa depan meski hak asasi manusia di Indonesia masih saja dicurigai sebagai kereta liberalisme dan individualisme.

Kata Magnis:
Menganggap hak-hak asasi manusia sebagai tanda individualisme [dan liberalisme] adalah prasangka—suatu prasangka yang sering tidak jujur—prasangka elit berkuasa yang merasa terancam kalau orang kecil diberdayakan. 
Jaminan hak-hak asasi manusia adalah tanda solidaritas bangsa dengan anggota-anggotanya yang paling lemah, yang tidak bisa melawan, yang bisa digeser, digusur, dipukul, ditahan dan dibunuh begitu saja—tetapi dengan memastikan bahwa hak asasi mereka pun tanpa kecuali dihormati, masyarakat membuktikan bahwa ia solider dengan mereka.
Berbagai isu yang disampaikan Magnis pada tahun pemilu itu masih memiliki relevansi yang kuat. Kita bisa melihat gejala-gejala intoleransi dan antikemanusiaan terhadap kelompok-kelompok tertentu yang di antaranya Ahmadiyah, Syiah dan LGBT. Hal ini seolah-olah menandakan pudarnya Islam sebagai agama kemanusiaan.

Di dalam Qs. Al-Nahl: 93 Tuhan berfirman:
Dan kalau Tuhan berkehendak, niscaya Ia menjadikan kamu satu umat [saja], tetapi Ia menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.
Ayat di atas memberikan kita kesadaran bahwa setiap manusia punya hak menentukan pilihannya sendiri. Setiap manusia berhak memutuskan apakah ia mau beriman atau tidak, dan setiap manusia juga berhak menentukan orientasi seksualnya, setiap tindakan yang dilakukannya. Karena itu, setiap tindakan/pilihan manusia selalu disertai tanggung jawab.

Tidak hanya soal intoleransi di Indonesia, kita juga bisa melihat gejala-gejala pudarnya Islam sebagai agama kemanusiaan ketika negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam terpaksa mengungsi dari Timur Tengah ke Eropa. Kita seolah-olah dihadapkan pada satu masa di mana Islam menjadi agama yang sangat tidak manusiawi dan antikemajuan.

Kita mungkin keberatan dengan pernyataan tadi tapi kenyataan tersebut sulit disangkal. Yang harus kita lakukan sekarang justru mengembalikan Islam ke jalannya yang paling ideal. Kita tidak perlu menyalahkan umat lain dengan mengatakan bahwa “ini konspirasi Yahudi” dan sebagainya. Sebab, hal tersebut tidak pernah membuat kita semakin cerdas dalam menganalisis apa yang sedang terjadi di kalangan umat Islam.

Salah satu cara untuk mengembalikan Islam ke jalan yang paling ideal adalah melakukan introspeksi dan menumbuhkan kembali kerendahan hati dalam beragama (tawadhu’)—sebagaimana diusulkan Magnis dalam orasi ilmiahnya.

Menurut Magnis, tidak ada yang lebih menelanjangi kebohongan seseorang selain berbicara tentang Tuhan dengan sombong sambil menghina mereka yang berbeda. Kalau kita beragama dan dekat dengan Tuhan, kita seharusnya merasakan betapa tidak berdayanya kita. Karena itu, beragama kita harus didasari kerendahan hati.

Catatan: Ini adalah teks khotbah Jumat di Universitas Paramadina pada 05 Februari 2016.

No comments: