Friday, 20 April 2007

Mengenang RA Kartini

Dewasa ini, teramat menarik apabila generasi muda Indonesia, khususnya kaum perempuan, membaca kembali pemikiran-pemikiran para tokoh yang berjasa dalam memperjuangkan kemakmuran di indonesia.

Salah satu faktor kemajuan sebuah bangsa adalah bagaimana para generasi muda bangsa tersebut mampu membaca, memahami, dan mengapresiasi karya-karya dan gagasan-gagasan pemikiran yang dilahirkan oleh para tokoh yang berjasa dalam meraih kemakmuran bagi mereka.

Maka, alangkah lebih baik bagi kita untuk mengkaji kembali secara bersama alur sejarah kebangkitan bangsa dalam hal-hal yang berkaitan dengan Islam secara khusus dan non-Islam secara umum sehingga kita meraih kemajuan dan mampu merevitalisasi semangat dalam diri untuk menggali khazanah-khazanah keislaman, kemoderenan, dan keindonesiaan.

Salah satu tokoh yang berperan dalam hal tersebut adalah Raden Ajeng (RA) Kartini, seorang perempuan yang dilahirkan pada tanggal 21 April 1879 di Jepara dan namanya diabadikan lewat sebuah lagu serta hari kelahirannya selalu diperingati dengan istilah Hari Kartini. Ia adalah anak dari seorang bupati di kota tersebut yang bernama RM Adipati Ario Sosrodiningrat.

Ayahnya adalah salah satu dari empat bupati yang ada di seluruh pulau Jawa dan Madura yang pandai menulis dan becakap-cakap dalam bahasa Belanda pada tahun 1902 M. Kartini tinggal bersama keluarga yang berbeda dari yang lain, keluarganya suka akan kemajuan sehinga ia terinspirasi untuk mendobrak adat istiadat di masyarakatnya dan tidak peduli terhadap celaan orang, terus saja melakukan yang baik menurut pikirannya. Jadi tak begitu heran kalau Kartini adalah seorang yang suka maju dan seorang perintis jalan bagi kita.

Kartini sebagai perintis dan penunjuk jalan

Seperti yang telah diuraikan bahwa Kartini keturunan dari sebuah keluarga yang menjadi penganjur, pembuka jalan, yang merasa bebas dan tidak terikat oleh adat istiadat. Kartini adalah seorang perempuan yang terpelajar dan terkemuka di zamannya.

Ia selalu peka terhadap lingkungannya sehingga ia mudah merasakan rasa sakit yang diderita oleh orang lain. Tampaklah di hadapan matanya bahwa struktur masyarakat Jawa dan adat istiadatnya selalu memarjinalkan kaum perempuan (bahkan mereka tidak diperkenankan untuk menempuh pendidikan yang tinggi). Maka, ia melihat kedzaliman itu tidak hanya terjadi terhadap dirinya melainkan juga terhadap perempuan-perempuan lain yang hidup di masyarakat Jawa sehingga ia berpandangan bahwa adat istiadat yang berlaku itu mesti dirombak dan kaum perempuan mesti mendapatkan kehidupan dan pendidikan yang layak.

Kemudian, langkah-langkah yang diambil olehnya adalah selalu menulis surat-surat berbahasa Belanda yang berisi tentang gagasan-gagasannya kepada para perempuan lain yang ia anggap sudah cukup tercerahkan, salah satunya adalah Nona Zeehandelaar pada tahun 1900 M.

Cita-cita Kartini, cita-cita masyarakat

Kartini meninggal pada tanggal 13 Septembert 1904 M, empat hari setelah melahirkan anaknya akibat komplikasi. Kartini hidup + seratus tahun lalu, pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Lebih dari satu abad lalu Kartini berjuang untuk melepaskan diri serta bebas dari belenggu adat (Jawa) untuk berpartisipasi dalam memajukan bangsa dan mengangkat posisi perempuan kepada tingkatan yang lebih manusiawi. Kendatipun ia hidup + satu abad yang lalu, namun cita-citanya selalu menjadi angan-angan generasi muda (khususnya kaum perempuan) Indonesia dari dahulu kala sampai saat ini.

Cita-cita Kartini adalah memajukan bangsa dengan cara memberdayakan kaum perempuan Indonesia, tentunya cita-cita Kartini adalah cita-cita kita bersama. Maka, saat ini bangsa Indonesia membutuhkan generasi muda penerus bangsa, terutama kaum perempuan seperti RA Kartini.

No comments: