Tahun 2001 adalah tahun dideklarasikannya dialog antar-peradaban yang dimotori Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Tahun 2001 juga adalah tahun awal dari abad 21, sebuah abad yang menjadi pintu gerbang menuju perdamaian dunia. Setelah ramalan tentang benturan peradaban (Clash of Civilizations) yang ditulis Huntington, bahwa agama memiliki peran penting dalam peradaban (central defining characteristic of civilizations), nampaknya dialog antar-agama menjadi solusi untuk menghindari benturan tersebut.
Dialog antar-agama merupakan sebuah keniscayaan untuk meredam konflik di antara para penganutnya. Sebab, sejarah dunia tidak bisa dilepaskan dari sejarah agama-agama, bahkan semua perang yang tercatat di dalam sejarah hidup manusia, salah satunya disebabkan keyakinan masing-masing umat beragama, walaupun faktor tersebut tidak begitu dominan. Maka, dialog antar-agama memiliki relevansi yang tak lekang oleh masa.
Di samping itu, sejarah agama-agama dunia menunjukkan bahwa dialog antara agama Islam dan agama Buddha sangat jarang sekali. Hal ini disebabkan perjalanan kedua agama tersebut berbeda-beda. Islam sebagai agama yang dibawa Muhammad, lahir di kawasan Timur Tengah pada abad ke-7 Masehi yang secara geografis begitu tandus. Sedangkan Buddha sebagai agama yang dibawa Siddharta Gautama, lahir jauh sebelum Islam tepatnya pada abad ke-6 sebelum Masehi yang tercatat sebagai agama tertua di dunia yang masih dianut sampai saat ini. Karena itu, Jalan Sutra Baru: Dialog Kreatif Islam-Buddha (Bandung: Mizan, 2010) merupakan sebuah terobosan luar biasa untuk menjembatani berbagai ajaran keduanya untuk menemukan sebuah titik persamaan.
Di dalam buku tersebut, ditampilkan rangkaian percakapan antara Islam dan Buddha, diwakili Majid Tehranian dari Iran dan Daisaku Ikeda dari Jepang. Rangkaian percakapan tersebut mencakup tema-tema perjumpaan antara kedua peradaban sejak abad ke-7 sampai saat ini. Ibarat membuka jalan sutra di masa modern, dialog antar-iman bukan hanya diletakkan sebagai cara untuk meningkatkan kehidupan keagamaan, melainkan juga sebagai langkah penting dalam sejarah keagamaan manusia.
Dialog kreatif Islam-Buddha ini memberikan para pembaca pandangan menyegarkan untuk senantiasa mengakui bahwa ada persamaan-persamaan universal di balik perbedaan-perbedaan antar-agama. Bahkan, menurut Daisaku Ikeda, dalam agama yang mengakui keanekaragaman sebagai manifestasi kekuatan yang alamiah, perbedaan akan diterima sebagai kekayaan masyarakat manusia, sebagai kebijaksanaan dalam bentuknya yang paling kreatif dan berharga. Dalam dialog kreatif ini juga, Daisaku Ikeda dan Majid Tehranian berusaha melacak sumber-sumber spiritual yang darinya mengalir tradisi-tradisi Sakyamuni (Buddha) dan Muhammad, tradisi-tradisi Islam dan Buddha, dan untuk menemukan bagaimana agar semangat yang mendasarinya dapat dibangkitkan kembali pada masa sekarang. Maka, di dalam dialog berbagai persamaan dan perbedaan diungkapkan dengan jelas.
Sedangkan, menurut Majid Tehranian, dialog merupakan suatu metode di antara berbagai metode lain dari komunikasi manusia. Setiap metode memiliki aturan-aturannya sendiri. Dialog merupakan tujuan dan sekaligus cara untuk memahami manusia. Dalam komunikasi yang dialogis, kedua narasumber melibatkan orang lain sebagai berbeda namun sama. Mereka mencoba memasuki dunia makna melalui proses komunikasi dan eksplorasi yang bersifat terbuka. Dialog ini didasarkan atas saling menghormati dan saling mempelajari.
Secara garis besar, semua agama menyampaikan pesan universal: kasih-sayang (rahmat), tidak terkecuali Islam dan Buddha. Sebab, dalam dimensi esoterik semua agama cenderung sama dan dalam dimensi eksoterik cenderung berbeda. Islam adalah agama monoteistik yang mana tauhid menjadi landasan utama seluruh ajarannya. Sedangkan Buddha, menurut Ikeda, meski bukan agama monoteistik, memiliki ajaran yang sama dengan Islam. “Bodhisatwa—makhluk yang mendedikasikan dirinya demi kebahagiaan makhluk semesta—mengangkat diri mereka di satu sisi, tetapi di sisi lain, mereka menurunkan diri ke tingkat makhluk yang belum mencapai pencerahan untuk menyelamatkan mereka”. Dengan kata lain, di samping bertujuan mencapai pencerahan, para Bodhisatwa juga berusaha meningkatkan kondisi masyarakat nyata sebagai wadah manifestasi kearifan Buddha sebagaimana zakat di dalam Islam yang pada dasarnya berarti membayar kembali utang-utang kepada Allah, tetapi dalam kenyataan, uang itu digunakan untuk membantu anak yatim, janda, dan orang miskin.
Dengan demikian, spirit dasar kedua agama besar ini adalah untuk mendapatkan dunia yang ideal di bumi, sambil melanjutkan pencarian keilahian. Semangat kemanusiaan menjadi fondasi di dalam keberagamaan para penganutnya.
Last but not least, Islam dan Buddha merupakan dua agama besar di dunia memiliki sejarah panjang masing-masing. Perkembangan kedua agama tersebut memiliki ranah geografis yang berbeda sehingga dalam sejarah agama-agama, Islam dan Buddha relatif tidak berinterakasi secara langsung. Namun, hal tersebut tidak menafikan pentingnya dialog di antara keduanya. Dialog kreatif Islam-Buddha merupakan sebuah langkah untuk menemukan titik-titik persamaan di balik titik-titik perbedaan, sehingga menjadi solusi untuk menuju perdamaian dunia dan menghindari benturan antar-peradaban.
4 comments:
Between us speaking, in my opinion, it is obvious. I will not begin to speak on this theme.
Mantap..............
Artikelnya mantap
terima kasih. kita memang perlu terus berdialog dengan terbuka dengan siapa pun tanpa memandang agama.
Post a Comment