Ternyata perjalanan (Timnas) Indonesia di Piala AFF Suzuki 2010 sejauh ini tak begitu mulus. Optimisme yang tadinya membentang pun untuk mengganyang Malaysia di final telah sirna begitu saja. Sesuai dengan prediksi, Malaysia tentunya tidak akan tinggal diam dan telah memperbaiki performa mereka di pertandingan sebelumnya. Dan itu pun terbukti dengan kesuksesan mereka mengganyang Indonesia di Stadion Bukit Jalil dengan skor 3-0 dan 1-2 di Stadion Gelora Bung Karno (SGBK).
Walaupun Indonesia gagal meraih gelar juara, kebanggaan tetap disematkan kepada mereka dan tuntutan mundur tetap disematkan pula kepada Nurdin Halid. Para suporter berbondong-bondong membawa spanduk yang menuntutnya untuk turun. Memang tak bisa dinafikan bahwa capaian Firman Utina dan kawan-kawan saat ini tidak lepas dari kontribusi dua pemain naturalisasi, Cristian “El Loco” Gonzales dan Irfan Bachdim. Kolaborasi kedua pemain tersebut mampu mengoyak-oyak pertahanan lawan. Sehingga, gol demi gol dapat tercipta dengan baik dan meyakinkan. Bahkan, di pertandingan melawan Filipina pada leg pertama semifinal El Loco mempersembahkan gol semata wayangnya untuk rakyat Indonesia.
Selain itu, langkah Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) mengontrak pelatih asal Austria, Alfred Riedl, tidak sia-sia. Kedisiplinan para pemain yang diterapkan dan kecerdasan Riedl meracik skuad dan menyusun pola permainan Indonesia menjadi kebanggaan tersendiri. Bahkan, Riedl tak segan-segan memberikan denda kepada pemain yang tidak berdisiplin. Menurutnya, kedisiplinan merupakan sebuah kekuatan dari metode kepelatihannya. Walaupun Indonesia gagal, dengan mengandalkan pola kedisiplinan dan kecerdasannya cita-cita Indonesia untuk meraih prestasi lebih tinggi di masa depan masih memiliki harapan.
PSSI dan Naturalisasi
PSSI yang diketuai Nurdin Halid sejauh ini belum menunjukkan kesuksesannya. Kegagalan Indonesia menambah ketidakpercayaan publik terhadap PSSI. Proses naturalisasi pemain yang dilakukan memang memberikan hasil yang memuaskan. Namun, itu terkesan instan dan PSSI cenderung mengabaikan proses kaderisasi para pemain muda lokal. Padahal, yang terpenting adalah penanaman bibit-bibit unggul yang akan meneruskan perjuangan Indonesia ke pentas sepakbola yang lebih tinggi: Piala Asia dan Piala Dunia.
Selama ini Indonesia belum pernah masuk putaran final Piala Asia, apalagi Piala Dunia. Indonesia biasanya lebih dulu tersingkir di babak kualifikasi. Pola permainan yang monoton dan stamina yang terbatas selalu menjadi kendala bagi semuanya. Walaupun demikian, tidak ada kata terlambat bagi PSSI untuk menanam bibit-bibit unggul yang akan meneruskan perjuangan Firman Utina dan kawan-kawan di masa yang akan datang.
Sepakbola merupakan sebuah olahraga paling disukai di dunia. Setiap pertandingan memiliki dua puluh dua pemain yang terbagi dua tim dengan satu bola yang menjadi concern. Sehingga, pemain yang membawa bola dapat menunjukkan talentanya mengolah si kulit bundar dengan indah dan atraktif. Bermodalkan talenta mengolah si kulit bundar dengan atraktif, setiap pemain mampu menyihir para penonton untuk ikut terlibat dalam emosi permainan. Maka tak heran, Piala Dunia―yang melibatkan seluruh negara di dunia―adalah sebuah momen yang menjadi kebanggaan tersendiri bagi setiap bangsa. Luapan emosi pun tidak lagi menjadi sesuatu yang asing.
Di samping itu, sepakbola juga menjadi olahraga favorit di Indonesia. Bahkan, sejak awal berdirinya bangsa ini sepakbola selalu menjadi tren masyarakat. Indonesia sebagai sebuah negara yang terdiri dari berbagai suku, bangsa, dan bahasa, memiliki ratusan juta jiwa dari Sabang sampai Meraoke (yang berjajar pulau-pulau). Dengan mengingat sepakbola sebagai sebuah olahraga paling diminati, kemungkinan besar itu akan dilakukan setiap hari di pelosok negeri. Sebab, di atas hamparan tanah yang luas pun tanpa garis pembatas dan bermodalkan satu bola setiap orang dapat mengambil bagian untuk bermain.
Hal di atas menunjukkan tanda positif bagi PSSI. Dengan begitu, naturalisasi bukanlah satu-satunya jalan keluar untuk mendongkrak prestasi Timnas kita. Proses pengkaderan berorientasi pada kepentingan jangka panjang. Sedangkan, naturalisasi cenderung instan dan tidak bisa diterapkan seterusnya. Dengan kata lain, PSSI saat ini harus memikirkan orientasi Timnas untuk jangka panjang yang hanya dengan kaderisasi dapat dicapai.
Paling tidak, ada dua pola kaderisasi untuk mencetak pemain-pemain muda lokal berbakat yang akan menggantikan Firman Utina dan kawan-kawan di masa depan. Pertama, dengan membenahi infrastruktur yang ada. Dalam hal ini, pembenahan sarana-sarana yang menunjang kemajuan persepakbolaan tanah air dan mengoptimalkan semua sekolah sepakbola yang ada begitu penting, terutama lapangan latihan. Kurangnya kenyamanan lapangan latihan mengganggu pola yang dilakukan. Bahkan, Riedl meminta secara langsung kepada Presiden renovasi lapangan latihan tersebut. Dan tanpa pembenahan infrastruktur, harapan untuk menuju ke arah yang lebih baik akan sirna begitu saja.
Kedua, menanam bibit–bibit unggul di setiap pelosok negeri dengan mengoptimalkan sekolah sepakbola yang ada. Saat ini penyebaran sekolah sepakbola di Indonesia belum cukup merata. Jumlah sekolah sepakbola di Pulau Jawa lebih dominan dibanding yang lain. Hal ini juga patut mendapatkan perhatian khusus. Belum meratanya penyebaran sekolah sepakbola di Indonesia akan menyulitkan proses perekrutan pemain-pemain muda lokal berbakat. Dan untuk memberikan kemudahan, pemerataan adalah jalan satu-satunya.
Pada hakikatnya, Indonesia yang begitu luas secara geografis memiliki sumber daya manusia (SDM) yang memadai. Dalam hal sepakbola, PSSI tentunya tidak perlu khawatir dengan kekurangan bibit-bibit unggul. Masalah tersebut dapat diatasi dengan ketulusan niat dari para pejabatnya untuk memperbaiki sistem yang berlaku dengan melakukan kedua langkah di atas. Sehingga, proses pembibitan pun menjadi kebutuhan dalam jangka panjang dan naturalisasi bukanlah satu-satunya solusi. Lebih dari itu, cita-cita PSSI untuk menjadikan sepakbola sebagai kebanggaan nasional pun juga dapat tercapai.