Thursday, 30 December 2010

PSSI dan Naturalisasi

No comments:
Ternyata perjalanan (Timnas) Indonesia di Piala AFF Suzuki 2010 sejauh ini tak begitu mulus. Optimisme yang tadinya membentang pun untuk mengganyang Malaysia di final telah sirna begitu saja. Sesuai dengan prediksi, Malaysia tentunya tidak akan tinggal diam dan telah memperbaiki performa mereka di pertandingan sebelumnya. Dan itu pun terbukti dengan kesuksesan mereka mengganyang Indonesia di Stadion Bukit Jalil dengan skor 3-0 dan 1-2 di Stadion Gelora Bung Karno (SGBK).

Walaupun Indonesia gagal meraih gelar juara, kebanggaan tetap disematkan kepada mereka dan tuntutan mundur tetap disematkan pula kepada Nurdin Halid. Para suporter berbondong-bondong membawa spanduk yang menuntutnya untuk turun. Memang tak bisa dinafikan bahwa capaian Firman Utina dan kawan-kawan saat ini tidak lepas dari kontribusi dua pemain naturalisasi, Cristian “El Loco” Gonzales dan Irfan Bachdim. Kolaborasi kedua pemain tersebut mampu mengoyak-oyak pertahanan lawan. Sehingga, gol demi gol dapat tercipta dengan baik dan meyakinkan. Bahkan, di pertandingan melawan Filipina pada leg pertama semifinal El Loco mempersembahkan gol semata wayangnya untuk rakyat Indonesia.

Selain itu, langkah Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) mengontrak pelatih asal Austria, Alfred Riedl, tidak sia-sia. Kedisiplinan para pemain yang diterapkan dan kecerdasan Riedl meracik skuad dan menyusun pola permainan Indonesia menjadi kebanggaan tersendiri. Bahkan, Riedl tak segan-segan memberikan denda kepada pemain yang tidak berdisiplin. Menurutnya, kedisiplinan merupakan sebuah kekuatan dari metode kepelatihannya. Walaupun Indonesia gagal, dengan mengandalkan pola kedisiplinan dan kecerdasannya cita-cita Indonesia untuk meraih prestasi lebih tinggi di masa depan masih memiliki harapan.

PSSI dan Naturalisasi

PSSI yang diketuai Nurdin Halid sejauh ini belum menunjukkan kesuksesannya. Kegagalan Indonesia menambah ketidakpercayaan publik terhadap PSSI. Proses naturalisasi pemain yang dilakukan memang memberikan hasil yang memuaskan. Namun, itu terkesan instan dan PSSI cenderung mengabaikan proses kaderisasi para pemain muda lokal. Padahal, yang terpenting adalah penanaman bibit-bibit unggul yang akan meneruskan perjuangan Indonesia ke pentas sepakbola yang lebih tinggi: Piala Asia dan Piala Dunia.

Selama ini Indonesia belum pernah masuk putaran final Piala Asia, apalagi Piala Dunia. Indonesia biasanya lebih dulu tersingkir di babak kualifikasi. Pola permainan yang monoton dan stamina yang terbatas selalu menjadi kendala bagi semuanya. Walaupun demikian, tidak ada kata terlambat bagi PSSI untuk menanam bibit-bibit unggul yang akan meneruskan perjuangan Firman Utina dan kawan-kawan di masa yang akan datang.

Sepakbola merupakan sebuah olahraga paling disukai di dunia. Setiap pertandingan memiliki dua puluh dua pemain yang terbagi dua tim dengan satu bola yang menjadi concern. Sehingga, pemain yang membawa bola dapat menunjukkan talentanya mengolah si kulit bundar dengan indah dan atraktif. Bermodalkan talenta mengolah si kulit bundar dengan atraktif, setiap pemain mampu menyihir para penonton untuk ikut terlibat dalam emosi permainan. Maka tak heran, Piala Dunia―yang melibatkan seluruh negara di dunia―adalah sebuah momen yang menjadi kebanggaan tersendiri bagi setiap bangsa. Luapan emosi pun tidak lagi menjadi sesuatu yang asing.

Di samping itu, sepakbola juga menjadi olahraga favorit di Indonesia. Bahkan, sejak awal berdirinya bangsa ini sepakbola selalu menjadi tren masyarakat. Indonesia sebagai sebuah negara yang terdiri dari berbagai suku, bangsa, dan bahasa, memiliki ratusan juta jiwa dari Sabang sampai Meraoke (yang berjajar pulau-pulau). Dengan mengingat sepakbola sebagai sebuah olahraga paling diminati, kemungkinan besar itu akan dilakukan setiap hari di pelosok negeri. Sebab, di atas hamparan tanah yang luas pun tanpa garis pembatas dan bermodalkan satu bola setiap orang dapat mengambil bagian untuk bermain.

Hal di atas menunjukkan tanda positif bagi PSSI. Dengan begitu, naturalisasi bukanlah satu-satunya jalan keluar untuk mendongkrak prestasi Timnas kita. Proses pengkaderan berorientasi pada kepentingan jangka panjang. Sedangkan, naturalisasi cenderung instan dan tidak bisa diterapkan seterusnya. Dengan kata lain, PSSI saat ini harus memikirkan orientasi Timnas untuk jangka panjang yang hanya dengan kaderisasi dapat dicapai.

Paling tidak, ada dua pola kaderisasi untuk mencetak pemain-pemain muda lokal berbakat yang akan menggantikan Firman Utina dan kawan-kawan di masa depan. Pertama, dengan membenahi infrastruktur yang ada. Dalam hal ini, pembenahan sarana-sarana yang menunjang kemajuan persepakbolaan tanah air dan mengoptimalkan semua sekolah sepakbola yang ada begitu penting, terutama lapangan latihan. Kurangnya kenyamanan lapangan latihan mengganggu pola yang dilakukan. Bahkan, Riedl meminta secara langsung kepada Presiden renovasi lapangan latihan tersebut. Dan tanpa pembenahan infrastruktur, harapan untuk menuju ke arah yang lebih baik akan sirna begitu saja.

Kedua, menanam bibit–bibit unggul di setiap pelosok negeri dengan mengoptimalkan sekolah sepakbola yang ada. Saat ini penyebaran sekolah sepakbola di Indonesia belum cukup merata. Jumlah sekolah sepakbola di Pulau Jawa lebih dominan dibanding yang lain. Hal ini juga patut mendapatkan perhatian khusus. Belum meratanya penyebaran sekolah sepakbola di Indonesia akan menyulitkan proses perekrutan pemain-pemain muda lokal berbakat. Dan untuk memberikan kemudahan, pemerataan adalah jalan satu-satunya.

Pada hakikatnya, Indonesia yang begitu luas secara geografis memiliki sumber daya manusia (SDM) yang memadai. Dalam hal sepakbola, PSSI tentunya tidak perlu khawatir dengan kekurangan bibit-bibit unggul. Masalah tersebut dapat diatasi dengan ketulusan niat dari para pejabatnya untuk memperbaiki sistem yang berlaku dengan melakukan kedua langkah di atas. Sehingga, proses pembibitan pun menjadi kebutuhan dalam jangka panjang dan naturalisasi bukanlah satu-satunya solusi. Lebih dari itu, cita-cita PSSI untuk menjadikan sepakbola sebagai kebanggaan nasional pun juga dapat tercapai.

Friday, 17 December 2010

Membaca Jalan Raya Pos, Jalan Daendels

No comments:
Pramoedya Ananta Toer (Pram) telah menghabiskan hampir separuh hidupnya di dalam penjara—3 tahun dalam penjara kolonial, 1 tahun di Orde Lama, dan 14 tahun di Orde Baru. Separuh hidupnya yang hampir dihabiskan di dalam penjara, tidak membuatnya berhenti sedikit pun untuk menulis. Baginya, menulis adalah tugas pribadi dan nasional. Dan Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (Jakarta: Lentera Dipantara, 2007) merupakan salah satu karyanya.

Buku tersebut menceritakan pembangunan jalan yang diprakarsai Daendels, yang membentang seribu kilometer sepanjang utara Pulau Jawa, dari Anyer sampai Panarukan. Daendels adalah seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda tahun 1808 yang diangkat Raja Belanda Louis Nepoleon, adik Kaisar Perancis Napoleon Bonaparte yang ketika itu menduduki Belanda. Tugasnya mempertahankan Hindia Belanda dari kemungkinan direbut Inggris dari India.

Karya Pram yang satu ini merupakan sebuah kesaksian, kesaksian tentang peristiwa genosida kemanusiaan paling mengerikan. Dan ini merupakan salah satu kisah tragedi kerja paksa terbesar sepanjang sejarah di Hindia Belanda. Pram menuturkan sisi paling kelam pembangunan jalan yang beraspalkan darah dan air mata semua manusia Pribumi. Membacanya menjadikan pembaca terhanyut dalam bacaannya.

Gaya penulisan yang dimiliki Pram dapat menghanyutkan pembaca untuk merasakan lebih dalam tragedi yang disampaikan. Sehingga, pembaca pun akhirnya larut dan seakan-akan ikut terlibat di dalamnya. Penuturan yang sistematis memudahkan pembaca memahami alur kisah secara bertahap.

Dalam bukunya, Pram menuturkan kota-kota (yang disinggahi dan yang tidak) secara rinci yang dihubungkan jalan Daendels, seperti Anyer, Cilegon, dan lain sebagainya. Tidak hanya sebatas itu, Pram juga mengungkap kisah-kisah sejarah klasik yang memiliki kaitan historis dengan kota yang dijelaskan, Banten contohnya.

Pada awalnya Banten merupakan bandar penumpukan komoditi perdagangan internasional yang berasal dari seluruh wilayah Kesultanan Banten dan dari tempat-tempat sepanjang Selat Sunda. Persaingan antara Banten dan Batavia sebagai bandar perdagangan internasional tak pernah menyusut. Jadi dalam pemerintahan Gubernur Jenderal van Imhoff, seorang gadis Arab, Fatimah, dipersembahkan Belanda kepada Sultan Arifin untuk diperistri.

Begitu diperistri, Fatimah langsung melakukan aksi-aksi sesuai dengan apa yang dikehendaki Kompeni Belanda. Langkah pertama adalah mengajukan dakwaan bahwa putera mahkota berniat menyerbu istana, membunuh Sultan, dan mengangkat dirinya menjadi Sultan Banten. Karena lebih percaya pada Fatimah, akhirnya putera mahkota ditangkap dan diserahkan kepada Kompeni Belanda untuk dibuang ke Ambon.

Kemudian Fatimah mengangkat kemenakannya sendiri menjadi putera mahkota Banten. Menyadari kekeliruannya, Sultan Arifin kehilangan akal warasnya. Pemberontakan besar pun terjadi. Apalagi masih dalam masa hidupnya kemenakan Fatimah tersebut diangkat menjadi Sultan Banten. Sehingga, Kompeni Belanda dengan mudahnya dapat mengendalikan Kesultanan Banten. Inilah secuil kisah klasik yang telah diungkapkan Pram tentang Banten.

Selanjutnya Pram juga menceritakan pengalaman hidupnya yang terkait dengan kota-kota yang dihubungkan jalan Daendels. Walaupun begitu singkat, pengalaman hidupnya yang diceritakan pasti mengundang tawa pembaca. Kekonyolan dan kecerobohan mewarnai perjalanan hidup si Kandidat Pemenang Nobel Sastra ini.

Inilah komentar singkat dari hasil bacaanku, Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Tentunya pembaca yang lain memiliki komentar berbeda dari hasil bacaannya sendiri. Tapi apa pun komentar dari hasil bacaan itu, buku yang ditulis Pram ini merupakan sumbangan Indonesia untuk dunia.

Friday, 10 December 2010

Makna Hijrah

No comments:
Tahun baru Hijriyah adalah tahun yang membuka semangat baru bagi umat Islam. Di Indonesia perayaannya tidak semeriah perayan Idul Fitri dan Idul Adha. Walaupun demikian, itu tidak mengurangi hikmah yang dapat diambil dari peristiwa hijrah Nabi dari Mekkah ke Madinah. Tahun baru Hijriyah juga memberikan ilham kepada umat Islam untuk mengintrospeksi diri dari masa lalu ke masa depan, dengan harapan di masa depan akan menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Islam sebagai sebuah agama yang mengubah mitos menjadi logos, memberikan pandangan baru tentang sesuatu yang tadinya tidak rasional menjadi rasional. Sebab, Islam adalah agama yang cocok dengan akal manusia (al-mula’im-u li ‘l-‘uqul). Segala sesuatu yang diperintahkan dalam Islam memberikan hikmah, entah hikmah yang dapat kita ketahui secara zahir maupun tidak. Oleh karena itu, Islam selalu mendasarkan setiap ajarannya kepada spirit ukhrawi tanpa harus melupakan spirit dunyawi. Tahun (kalender) Hijriyah adalah salah satunya.

Dalam sejarah Islam tercatat bahwa penentuan kalender/tahun Hijriyah merupakan salah satu keberhasilan dari pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Penentuan tersebut didasarkan pada hijrahnya Nabi Besar Muhammad saw bersama para sahabat dari Mekkah ke/menuju Madinah untuk menghindari tekanan dari kaum kafir Quraisy ketika itu. Sebab, umat Islam ketika berada di Mekkah selalu diperlakukan dengan tidak adil, sehingga mereka berhijrah untuk masa depan yang lebih baik. Pada hakikatnya, peristiwa tersebut mengandung hikmah.

Kata hijriyah atau hijrah di dalam kamus Hans Wehr (A Dictionary of Modern Written Arabic, Third Printing, London: George Allen and Unwin LTD, 1971), diambil dari kata hajar-a–yahjur-u yang berarti to emigrate, to dissociate, etc., yang secara sederhana dalam bahasa Indonesia berarti berpindah dari satu tempat ke/menuju tempat yang lain. Maka, dalam struktur kata bahasa Arab, kata hajar-a harus selalu disertai dengan kata min (dari) dan kata ila (ke/menuju). Contohnya, hajar-a fulan min-a ‘l-syarr-i ila ‘l-khayr, si fulan telah berpindah dari keburukan ke/menuju kebaikan. Dari peristiwa hijrah Nabi Besar Muhammad saw bersama para sahabat kita dapat memetik hikmah bahwa tindakan mereka didasarkan pada keinginan untuk berpindah dari situasi yang buruk (al-syarr) ke/menuju situasi yang baik (al-khayr).

Berdasarkan peristiwa di atas, keinginan untuk berhijrah di dalam Islam harus dilandasi spirit memperoleh kebaikan yang lebih baik dan bermakna. Seorang Muslim hendaknya memaknai hijrah tidak hanya sebatas peristiwa sejarah belaka, tapi juga memaknai hijrah sebagai peristiwa yang mengandung spirit kehidupan bermanfaat.

Seyogyanya, dengan spirit tahun baru Hijriyah ini kita mampu berhijrah dengan ketulusan hati. Sehingga, maknanya dapat diraih dengan sesungguhnya. Kita berhijrah untuk masa depan yang lebih baik, seperti yang telah diteladankan Nabi Besar Muhammad saw.