Thursday, 8 December 2011

Persoalan kita hari ini

No comments:
Bahan Bakar Minyak (BBM) adalah kebutuhan pokok masyarakat dalam menjalani aktivitas bertahan hidup. Karena itu, mereka akan mudah mengeluh jika saja ada kebijakan kenaikan harga BBM. Dalam hal ini, pemerintah memiliki peran besar. Kebijakan pemerintah dalam memberikan masyarakat subsidi BBM adalah langkah yang tepat. Mengingat BBM adalah kebutuhan pokok masyarakat, maka pemerintah layak mempertahankan sistem tersebut secara konsisten.

Dalam hal lain, anjuran pemerintah kepada masyarakat agar orang yang mampu tidak menggunakan premium tentunya bukan langkah yang pas. Sebab, pemerintah tidak menentukan standar orang yang mampu dan tidak. Jika hal tersebut dilihat secara umum, maka kita dapat menyimpulkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia adalah orang-orang yang tak mampu. Dengan demikian, anjuran tersebut hanya omong kosong belaka.

Sebenarnya, ada beberapa langkah yang bisa diterapkan pemerintah untuk menyejahterakan masyarakat tanpa menghilangkan subsidi BBM. Pertama, mewujudkan good governance. Dengan mewujudkan hal tersebut, kita harus bisa menerima konsekuensi yang akan terjadi. Di antaranya, korupsi yang menjalar di setiap instansi pemerintah dan lain sebagainya harus diberantas tanpa tebang pilih. Kedua, penegakan hukum yang adil. Jika saja hukum ditegakkan dengan adil, siapa pun bisa masuk rumah jeruji.

Di balik hal-hal yang telah disinggung di atas, ada permasalah yang paling nyata di depan kita: kemiskinan. Kemiskinan merupakan masalah yang belum juga terselesaikan dalam bangsa kita yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis. Kemiskinan juga sebenarnya merupakan anak halal dari demokrasi, yang menyebabkan bangsa ini lamban dalam meniti tangga dalam kemajuan dan peradaban. Bahkan, kemiskinan telah menjadi pangkal dari segala persoalan, terutama dalam hal solidaritas dan integritas sosial. Sehingga, tidak berkurangnya angka kemiskinan di Indonesia menjadi cermin bahwa bangsa ini masih berada jauh dari yang dicita-citakan.

Banyak hal yang menyebabkan persoalan kemiskinan belum terselesaikan juga. Bahkan, persoalan tersebut juga menyebabkan konflik-konflik yang terjadi atas nama agama seperti penyerangan terhadap Ahmadiyah dan lain sebagainya. Kita masih saja menyaksikan di negara kita para pedagang kaki lima, pengguna Metromini, dan tukang becak yang mencerminkan potret kemiskinan di tanah air. Selain itu, swastaisasi pendidikan juga ikut memperparah keadaan. Salah satu cara memberantas kemiskinan adalah memberikan masyarakat pendidikan, tetapi biaya pendidikan semakin mahal. Jika biaya pendidikan semakin mahal, kita tak bisa memberikan masyarakat pendidikan sebagai jalan keluar dari kemiskinan.

Untuk mengatasi berbagai persoalan di atas, pemerintah harus memberlakukan sistem yang sehat. Kita tak bisa menyaksikan orang-orang tertentu berkali-kali menunaikan ibadah haji, misalnya, sedangkan para tetangga mereka—dekat dengan masjid-masjid yang mengingatkan mereka pada pentingnya ibadah haji hampir setiap waktu shalat—masih berkutat dengan persoalan makan sehari-hari. Karena itu, sistem ibadah haji pun perlu diatur. Selain sistem ibadah Haji yang diatur, lonjakan jumlah penduduk juga harus dikontrol. Selain swastaisasi pendidikan, lonjakan penduduk adalah hal yang memperparah keadaan. Keluarga Berencana (KB) merupakan program yang tepat untuk mengatasinya.

Peran partai dalam demokrasi kita begitu berperan dalam hal ini. Sebagai kendaraan politik, partai mampu mengontrol berbagai kebijakan pemerintah. Partai bisa menyalurkan berbagai aspirasi masyarakat dengan mengirimkan para delegasinya dalam kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Dengan begitu, sistem demokrasi kita menjadi sehat. Sayangnya, partai-partai kehilangan kepercayaan masyarakat. Mereka harus berjuang kembali untuk meraihnya. Sebab, jika kita tidak memberikan kepercayaan kepada partai-partai politik, ke siapa lagi kita bisa berharap?

Last but not least, persoalan kita hari ini adalah persoalan yang belum juga terselesaikan sejak awal-awal kemerdekaan bangsa. Hal ini pun yang menjadikan sebagian masyarakat skeptis terhadap kemerdekaan bangsa kita. Ada yang berpendapat bahwa kemerdekaan bangsa kita adalah kemerdekaan yang semu (atau prematur), sehingga pesimisme tak terhindarkan. Meski begitu, kita harus tetap yakin bahwa masih ada calon-calon pemimpin bangsa kita yang mampu berpikir dengan logis dan mampu membawa kita ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur.

Friday, 28 October 2011

Agus Salim dan Politik Kontemporer

No comments:

Bulan Oktober adalah bulan kelahiran The Grand Old Man, Haji Agus Salim. Sayangnya masyarakat Indonesia bahkan mungkin para politisi lupa, padahal bulan tersebut adalah bulan kelahiran tokoh yang berperan dalam diplomasi dan politik bangsa kita. Seorang yang berwawasan luas, merakyat, dan dekat di hati anak-anak muda ini memberikan kita pelajaran soal berbagai hal: keteladanan, etika politik, dan kebangsaan.

Tiga hal tersebut nampaknya begitu relevan dibahas saat ini. Mengingat fenomena yang terjadi dalam perpolitikan bangsa kita sekarang, tiga hal tersebut juga harus disampaikan kembali kepada masyarakat, khususnya para politisi (elite) bangsa kita dalam rangka menegaskan kembali jati diri kebangsaan kita. Gaya kepemimpinan, kemandirian jiwa, dan identitas kebangsaan juga tentunya tercermin dalam gaya hidup diplomat kita ini.

Cerminan kebanggaan bangsa bisa ditemukan dalam sosoknya. Keteladanan dalam membantu terbentuknya republik ini memberikan kita semangat perjuangan yang tak bisa dihilangkan sampai saat ini. Baginya, memimpin itu menderita. Karena itu, wajar jika kita merindukan karakter kepemimpinan sepertinya.

Sebagai pribadi yang dikenal berjiwa bebas. Ia tak pernah mau dikekang batasan-batasan, bahkan ia berani mendobrak tradisi Minang yang kuat. Tegas sebagai politisi, tapi sederhana dalam sikap dan keseharian. Ia berpindah-pindah rumah kontrakan ketika di Surabaya, Yogyakarta, dan Jakarta. Di rumah sederhana itulah ia menjadi pendidik bagi anak-anaknya, kecuali si bungsu, bukan memasukkannya ke pendidikan formal. Alasannya, selama hidupnya Agus Salim mendapat segalanya dari luar sekolah. ”Saya telah melalui jalan berlumpur akibat pendidikan kolonial,” ujarnya tentang penolakannya terhadap pendidikan formal kolonial yang juga sebagai bentuk pembangkangannya terhadap kekuasaan Belanda.

Keteladanan, Etika Politik, dan Kebangsaan Agus Salim

Mengamati fenomena yang terjadi sekarang, ternyata krisis yang melanda bangsa kita adalah krisis kepemimpinan. Kepemimpinan dalam bangsa kita tidak memberikan kita keteladanan yang baik. Para pejabat di negeri ini dapat menikmati berbagai fasilitas yang disediakan ketika kesenjangan sosial dan masalah kemiskinan belum juga terselesaikan. Di samping itu, berbagai kasus korupsi juga masih mewarnai perjalanan panjang tanah air kita.

Persoalan di atas membuat kita merindukan kembali seorang pemimpin yang dipenuhi nilai-nilai kesederhanaan seperti Agus Salim. Meski ia telah menjadi pejabat negara, ia masih saja sibuk dengan masalah tempat tinggal bersama keluarganya. Jabatan bukan sebuah kenikmatan baginya. Jabatan tidak membuatnya menjadi seorang yang meninggalkan nilai-nilai kesederhanaan.

Tentunya nilai-nilai kesederhanaan memang harus disesuaikan dengan semangat zaman. Kita mungkin saja berpandangan bahwa semangat zaman Agus Salim berbeda dengan semangat zaman sekarang. Namun, nilai-nilai kesederhanaan dan kebersamaan harus tetap dilestarikan. Para pejabat bisa saja memiliki fasilitas yang mewah, tetapi apakah itu sudah pantas? Sebab, prestise tidak ditentukan kemewahan, tetapi prestise ditentukan hasil kerja.

Selain itu, hal yang perlu kita pelajari dari Agus Salim adalah etika politiknya. Etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politis kehidupan manusia (Franz Magnis-Suseno, 1987). Berbicara soal etika politik tentunya terkait moralitas dalam berpolitik. Politik di sini tidak sebatas meraih dan mempertahankan kekuasaan. Ada etika yang mendasarinya. Jika tidak, para politisi akan terjebak ke dalam permainan kekuasaan semata. Etika (politik) juga mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia dalam berpolitik.

Dalam berpolitik, Agus Salim selalu menunjung tinggi etika. Dalam pemerintahan Republik Indonesia, ia beberapa kali duduk dalam kabinet: menteri muda luar negeri dalam Kabinet Sjahrir II (1946) dan Kabinet Sjahrir III (1947), menteri luar negeri dalam Kabinet Amir Sjarifudin (1947), dan menteri luar negeri Kabinet Hatta (1948-1949). Selama menduduki jabatannya, ia telah menjalankan tugas dengan baik, sehingga ia mendapatkan pengakuan dari negara-negara Arab.

Meski diberikan jabatan politik bergengsi, ia tetap memiliki komitmen terhadap kepentingan Indonesia yang tercermin dalam perjanjian Linggarjati. Hal tersebut tentunya berbeda dengan keadaan sekarang. Para pejabat cenderung menebar pesona di hadapan rakyat dengan mengumbar janji-janji, tetapi tak satu pun terwujud. Setiap janji yang telah disampaikan selalu bertolak belakang dengan kenyataan. Berbagai kasus korupsi, persoalan TKI, dan lain-lain masih saja melekat pada perjalanan bangsa ini.

Satu hal penting lagi yang dapat kita petik dari keteledanan Agus Salim adalah soal kebangsaan. Menjadi bagian dari bangsa Indonesia tidak pernah menjadikannya inferior. Ia memang menguasai sembilan bahasa, namun ia sama sekali tak pernah mengubah aksennya. Baginya, berbicara bahasa asing tak perlu meminta maaf karena aksen. Yang penting: kita tidak menyalahi aturan bahasa mereka.

Pelajaran penting dari hal tersebut adalah bahwa kita perlu menumbuhkan superioritas bangsa kita di mata dunia. Dengan begitu, kita tidak dipandang rendah dan bisa bersaing dalam diplomasi internasional. Persoalan posisi tawar Indonesia sebagai sebuah negara pun dapat diperhitungkan di dunia internasional, sehingga kita tak lagi disibukkan berbagai masalah yang terkait negara tetangga. Dengan begitu, jiwa kebangsaan yang tak diwarnai inferioritas dapat tumbuh seperti yang dicontohkan Agus Salim.

Tuesday, 23 August 2011

Menuju Ekonomi Hijau

No comments:

Koran Sindo, 21 Agustus 2011

Judul: Ekonomi Hijau
Penyusun: Surna Tjahja Djajadiningrat dkk.
Editor: Anggara Wisesa
Penerbit: Rekayasa Sains
Terbit: Mei 2011
Tebal: 250 hlm.

Pemanfaatan dan eksploitasi sumber daya alam yang tidak diimbangi upaya konservasi yang mengatasnamakan kesejahteraan hidup manusia tampaknya mulai menampilkan dampak negatif terhadap keberlangsungan lingkungan hidup. Hal ini tidak hanya mengancam keberlangsungan lingkungan alam, tetapi juga keberlangsungan hidup manusia sendiri. Isu pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change) hanya sebagian dari sekian banyak isu lingkungan yang demikian pelik untuk diperhatikan, yang tidak hanya bersifat lokal tetapi juga global.

Meningkatnya kesadaran terhadap isu lingkungan ini mendorong negara-negara di dunia untuk memikirkan upaya pengimbangan laju ekonomi dengan upaya konservasi lingkungan alam dan melahirkan paradigma ekonomi yang memasukkan aspek lingkungan ke dalamnya, atau yang lebih dikenal sebagai ekonomi hijau. Kebanyakan negara dan pemangku kepentingan meyakini bahwa ekonomi hijau adalah solusi bagi permasalahan ini serta dapat membawa kehidupan dan peradaban global menjadi lebih baik, berkeadilan, sejahtera, dan berkesinambungan.

Pengembangan ekonomi hijau, yaitu ilmu ekonomi yang selain mengupayakan peningkatan kesejahteraan dan keadilan sosial, juga menganjurkan untuk mengurangi secara nyata kelangkaan sumber daya alam dan resiko dampak lingkungan (UNEP), saat ini menjadi satu kecenderungan ekonomi di dunia. Hal ini terjadi sejak masyarakat dunia mulai menyadari dampak negatif eksploitasi sumber daya alam terhadap lingkungan yang sudah berjalan sejak revolusi industri sampai sekarang. Berbagai forum internasional yang membahas berbagai dampak negatif pola hidup masyarakat modern dan pengembangan ekonomi yang eksploitatif terhadap keberlanjutan kehidupan dunia mulai digagas sejak awal 1970-an oleh berbagai pihak. Salah satu rujukannya adalah laporan dari The World Commission on Environment and Development yang dipublikasikan pada tahun 1987 dengan judul “Our Common Future”.

Di samping kesadaran tentang pentingnya merubah pola pembangunan dunia yang begitu eksploitatif dalam pengelolaan sumber daya alam dan akan berdampak negatif pada keberlanjutan kehidupan dunia, sebagian negara maju juga menyadari bahwa penerapan ekonomi hijau akan membawa kewajiban yang dapat mengurangi kemapanan ekonomi negara-negara tersebut. Dengan demikian, ekonomi hijau di satu sisi merupakan suatu keniscayaan bagi seluruh negara, tetapi di sisi lain akan merubah tatanan dan keadilan ekonomi dunia.

Bagi Indonesia, ekonomi hijau adalah satu pilihan yang sangat masuk akal untuk diterapkan berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertama, ekonomi Indonesia masih sangat menggantungkan diri pada pengelolaan sumber daya alam sehingga Indonesia sangat berkepentingan terhadap keberlanjutannya. Kedua, dengan menerapkan ekonomi hijau, selain Indonesia akan menjadi pelopor di tingkat global, ekonomi Indonesia akan mengarah kepada ekonomi yang lebih efisien dalam penggunaan sumber daya alam yang terbatas dan juga akan lebih berkelanjutan. Ketiga, penerapan ekonomi hijau akan lebih memperbaiki kondisi lingkungan hidup yang sudah sangat rusak dan sudah menjadi kendala yang nyata bagi sebagian besar masyarakat.

Memaknai Ekonomi Hijau ini dalam konteks kekinian tentu akan berimplikasi yang sangat luar biasa bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia, bahkan tidak terlepas dunia internasional. Buku yang terbit pada saat yang tepat (timely) tentu akan menjadi panduan (guidance) dalam khazanah konsep green economy yang didedikasikan kepada keramahan kita terhadap lingkungan, sehingga paradigma ekonomi yang mengabaikan keberlangsungan lingkungan hidup harus ditinggalkan.

Dengan semakin memprihatinkannya berbagai masalah pencemaran dan kerusakan lingkungan di tingkat global dan lokal, khususnya perubahan iklim, Kementerian Lingkungan Hidup telah menyelenggarakan seminar dengan tema “Ekonomi Hijau”. Seminar tersebut merupakan upaya untuk mengembangkan konsep ekonomi hijau sebagai konsep ekonomi untuk suatu dunia nyata, dunia kerja, kebutuhan manusia, material yang ada di bumi ini, dan bagaimana hal-hal tersebut dapat menjadi suatu jalinan keterkaitan yang harmonis, terutama tentang nilai guna’ dan bukan ‘nilai tukar’ atau uang, yang peduli terhadap kualitas bukan kuantitas, yang peduli tentang regenerasi dari individu, komunitas, dan tatanan lingkungan (ecosystem), dan bukan akumulasi uang atau material.

Ekonomi hijau adalah sebuah gagasan soal pola perekonomian yang ramah lingkungan.

Tuesday, 2 August 2011

Memimpin Republik dengan Konstitusi

No comments:

Jurnal Nasional, 24 Juli 2011

Judul: Memimpin Republik dengan Konstitusi
Penyusun: Arif Budimanta dkk.
Penerbit: Megawati Institute
Tebal: 156 halaman

Buku Memimpin Republik dengan Konstitusi merupakan sebuah karya yang memotret perjalanan bangsa ini sepanjang tahun 2010. Karya tersebut menghadirkan pembacaan kritis terhadap politik, ekonomi, hukum, lingkungan, pendidikan, dan hak asasi manusia (HAM). Pembacaan kritis itu ditilik dan dicermati dengan menggunakan perspektif konstitusi sebagai konsensus dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Memimpin Republik dengan Konstitusi adalah sebuah visi dan wacana yang diharapkan dapat menggugah kesadaran politik para pemimpin bangsa ini, bahwa kesempatan dan kemungkinan untuk bangkit selalu ada, bahkan terang benderang. Basisnya, pemimpin negeri ini harus memiliki keberanian, kejujuran, dan ketulusan untuk memimpin republik berdasarkan konstitusi, bukan pada kepentingan golongan, apalagi kemapanan pribadi.

Sebagai sebuah karya, buku ini tidak hanya mengetengahkan kritik, tetapi juga pemikiran alternatif dalam rangka membangkitkan kesadaran pentingnya menjadikan konstitusi sebagai rujukan utama bagi kepemimpinan nasional. Buku ini merupakan upaya untuk melihat secara kritis potret kepemimpinan nasional sepanjang tahun 2010 dan bagaimana menghadapi tahun-tahun selanjutnya yang penuh dengan tantangan dan peluang untuk bangkit.

Abai dan lupa terhadap konstitusi menyebabkan bangsa ini tidak mampu mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur, sebagaimana tertuang dalam alinea Preambul UUD 1945. Padahal, Bung Karno sudah mewanti-wanti agar kita semua “jangan sekali-kali melupakan sejarah” atau yang lebih dikenal dengan “jas merah”. Salah satu penyakit lupa yang sangat mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu hilangnya kesadaran tentang pentingnya konstitusi dalam berbangsa dan bernegara.

Fakta tersebut bisa dilihat dalam potret bangsa ini sepanjang tahun 2010, di mana kehidupan politik tidak mampu mempersatukan seluruh warga. Praktik politik di permukaan yang terlihat “demokratis” bukan mempersatukan seluruh warga dalam rangka membangun negeri, justru semakin memperluas jurang perseteruan, bahkan konflik. Hal tersebut disebabkan hilangnya spirit persatuan yang menjadi roh dalam kehidupan berbangsa sebagaimana dirancang dan dibangun para pendiri bangsa ini.

Kedaulatan bangsa dan negara juga sejatinya harus menjadi prinsip yang melekat pada setiap kebijakan ekonomi. Beberapa kebijakan ekonomi kerap kali mengabaikan kepentingan rakyat. Akibatnya, setiap kebijakan cenderung menguntungkan pihak asing dan merugikan kemaslahatan publik. Kebijakan ekonomi yang cenderung neoliberal telah melabrak rambu-rambu konstitusi yang menegaskan pentingnya kemakmuran rakyat.

Begitu halnya dalam bidang penegakan hukum, keadilan tidak dijadikan sebagai acuan dan prinsip yang mendasar bagi aparat penegak hukum. Mereka yang berkuasa dapat mengendalikan hukum, sehingga mencederai rasa keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Mencari keadilan di republik ini hampir menjadi sesuatu yang mustahil. Hukum hanya diterapkan bila berkaitan dengan rakyat kecil, tetapi jika berkaitan dengan para elite, keadilan cenderung disembunyikan, bahkan diabaikan. Padahal, tujuan akhir dari Pancasila adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia—sebuah sila yang menjadi “yatim-piatu”.

Konstitusi merupakan prasyarat utama dalam rangka meneguhkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan tegaknya Bhinneka Tunggal Ika. Jika konstitusi diabaikan, maka yang terjadi adalah munculnya gejala disintegrasi sosial. Apalagi ditopang dengan kondisi ekonomi yang karut-marut dan penegakan hukum yang tidak berkeadilan, maka akan mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu hilangnya kepercayaan publik terhadap konstitusi. Karena itu, yang diperlukan adalah kepemimpinan alternatif, yakni kepemimpinan yang berpijak dan berangkat dari konstitusi. Kepemimpinan yang memiliki keberanian dalam mengambil langkah-langkah penting untuk kemaslahatan publik sebagaimana diamanatkan konstitusi.

Berbagai permasalahan bangsa yang terkait hal-hal di atas dapat dikerucutkan ke dalam satu hal, yaitu kemiskinan. Kemiskinan merupakan masalah yang belum juga terselesaikan dalam bangsa kita yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis. Kemiskinan juga sebenarnya merupakan anak halal dari demokrasi, yang menyebabkan bangsa ini lamban dalam meniti tangga dalam kemajuan dan peradaban. Bahkan, kemiskinan telah menjadi pangkal dari segala persoalan, terutama dalam hal solidaritas dan integritas sosial. Sehingga, tidak berkurangnya angka kemiskinan di Indonesia menjadi cermin bahwa bangsa ini masih berada jauh dari yang dicita-citakan.

Jika ditilik secara mendasar, masalah tersebut terjadi karena praktik demokrasi dijauhkan dari spirit dan nilai-nilai yang terkandung di dalam konstitusi sebagaimana tercermin dalam Pancasila dan UUD 1945. Konstitusi tidak dijadikan sebagai landasan dan barometer untuk menilai sejauh mana kepercayaan politik yang diberikan rakyat kepada pemerintah dijalankan dengan baik dan benar.

Thursday, 21 April 2011

Selamat Jalan, Franky

No comments:

Ia lahir di Jawa Timur, 16 Agustus 1953. Franky Hubert Sahilatua (yang akrab disapa Franky Sahilatua) adalah penyanyi balada asal Surabaya. Franky memiliki dua adik: Jane Sahilatua dan Johnny Sahilatua. Ketika ia berduet bersama adiknya, Jane, Franky dikenal publik sejak paruh kedua dekade 1970-an. Duet ini telah menghasilkan lima belas album, semuanya di bawah Jackson Record (baca: Wikipedia).

Franky Sahilatua, seorang musisi kebanggaan Indonesia, akhirnya telah ‘pulang’. Ia telah meninggalkan kita di Jakarta, 20 April 2011. Meski ia sudah meninggalkan kita di sini, namun lantunan lagu-lagunya selalu bersama kita dan tak akan pernah mati. Perahu Retak adalah satu lagu yang ia dendangkan kepada kita. Semangat kebangsaan, kebersamaan, dan harmoni teruntai dalam lirik-liriknya. Sehingga, yang mendengarkan akan menjiwai semangat nasionalisme yang dilagukan.

Perahu negeri kita, perahu bangsa kita, harus tetap dirawat. Jangan biarkan retak singgah di dindingnya. Semangat rakyat dan kibar bendera kita harus tetap menyeruak lautan. Sebab, langit membentang dan cakrawala di depan melambaikan tantangan. Sayangnya, ketimpangan sampai saat ini masih saja muncul di tengah-tengah perjalanan bangsa kita: satu kenyang; seribu lapar.

Sepatutnya para pejabat di negeri ini mau membuka semua hati mereka dengan mendengarkan lagu-lagu pelantun Perahu Retak ini. Dengan itu, mereka pun sadar bahwa jabatan yang diemban adalah amanat konstitusi untuk menjalankan hukum sipil yang tegak, pengentasan kemiskinan, dan hal-hal menyejahterakan rakyat. Mereka pun akhirnya malu dengan perbuatan yang melanggar norma-norma sosial di mata rakyat. Mereka pun akhirnya mau bekerja lebih optimal dan tidak lagi membohongi rakyat.

Lebih dari itu, lagu-lagu Franky memberikan semangat hidup nasionalisme bagi para penikmatnya. Semoga saja karya-karyanya menjadi ‘investasi’ ketika ia hidup di dunia untuk bekal di sana. Tidak ada hal yang dapat kita lakukan selain doa yang tertuju kepada-Nya: semoga pelantun Perahu Retak ini mendapatkan tempat yang layak di sisi-Nya.

Saturday, 22 January 2011

Teori Ekonomi Ibn Khaldun

No comments:
Ekonomi merupakan sebuah disiplin ilmu yang berkembang sesuai dengan kebutuhan manusia. Seiring dengan berkembangnya kebutuhan manusia, teori-teori ekonomi baru pun ditemukan untuk menjadi solusi dalam memenuhinya. Ekonomi juga merupakan bagian dari ilmu sosial yang terkait dengan produksi, distribusi, pertukaran, dan konsumsi barang dan jasa. Walaupun ekonomi belum ditemukan sebagai sebuah disiplin ilmu sosial, namun perilaku-perilakunya telah dilakukan sejak awal peradaban manusia.

Ekonomi―dengan merujuk asal katanya―adalah semua kegiatan yang memenuhi urusan-urusan rumah tangga. Dalam artian yang lebih luas, ekonomi merupakan bagian dari interaksi sosial. Sebab, setiap keluarga harus berinteraksi dengan yang lain untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Proses pertukaran, distribusi, produksi, konsumsi barang dan jasa menuntut manusia berinteraksi dengan yang lain untuk memenuhi kebutuhannnya dan keluarganya. Sehingga, ekonomi tak bisa lepas dari kehidupan sosial manusia.

Oleh karena itu, tak bisa dinafikan bahwa ekonomi pasti menyentuh seluruh lapisan masyarakat yang terdiri dari berbagai suku, bangsa, dan agama. Hal tersebut memberikan ruang kepada mereka untuk melakukan proses timbal-balik. Kalangan menengah ke bawah membutuhkan kalangan menengah ke atas dan sebaliknya. Ibn Khaldun, seorang pemikir Muslim, telah menyumbangkan gagasan-gagasannya dalam konteks tersebut. Teori-teori ekonomi yang telah dipaparkan masih relevan sampai saat ini, terutama dalam hal negara dan pasar.

Ibn Khaldun dalam karyanya, Muqaddimah, mengupas berbagai hal yang terkait dengan masalah ekonomi. Menurutnya, interaksi sosial adalah sebuah keniscayaan dalam prilaku ekonomi. Sebab, seorang individu tidak akan dapat memenuhi seluruh kebutuhan ekonominya seorang diri. Ia harus mampu berinteraksi dan bekerja sama dengan pembagian kerja dan spesialisasi. Apa yang dapat dipenuhi melalui kerja sama yang saling menguntungkan jauh lebih besar dari apa yang dicapai oleh setiap individu secara sendirian.

Menurut Ibn Khaldun, manusia memiliki bagian dari segala sesuatu yang ada di dunia ini. Namun sekali seseorang memiliki suatu barang, maka yang lain tidak bisa mengambil barang tersebut. Ketika ia hendak memiliki barang tersebut, maka ia harus menggantinya dengan sesuatu yang sama nilainya sebagai gantinya. Oleh sebab itu, jika seseorang sudah memiliki daya yang cukup, maka ia akan berusaha mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Tidak hanya sebatas itu, Ibn Khaldun juga telah menyumbangkan sejumlah teori: teori produksi, teori nilai, teori pemasaran, dan teori siklus yang menjadi teori ekonomi secara umum. Semua teori tersebut begitu koheren dan menjadi acuan kerangka pemikiran ekonomi sampai saat ini, seperti penawaran dan permintaan dalam teori pemasaran.

Menurut Ibn Khaldun, penawaran dan permintaan adalah faktor berpengaruh yang dapat menentukan harga di pasar atas sebuah produksi. Ibn Khaldun menekankan bahwa kenaikan penawaran atau penurunan permintaan menyebabkan kenaikan harga. Begitu pula sebaliknya, penurunan penawaran atau kenaikan permintaan akan menyebabkan penurunan harga. Tentunya penurunan harga yang sangat drastis akan merugikan pengrajin dan pedagang dan dapat mendorong mereka keluar dari pasar. Sedangkan kenaikan harga yang drastis akan menyusahkan konsumen. Dengan demikian, harga“damai dalam kasus seperti ini sangat diharapkan kedua belah pihak, karena ia tidak saja memungkinkan para pedagang mendapatkan tingkat pengembalian yang ditolerir pasar, tapi juga mampu menciptakan kegairahan pasar dengan meningkatkan penjualan untuk memperoleh tingkat keuntungan dan kemakmuran tertentu. Selain itu, harga yang rendah dibutuhkan pula, karena memberikan kelapangan bagi kaum miskin yang menjadi mayoritas dalam sebuah populasi.

Selanjutnya menurut Ibn Khaldun, negara adalah faktor penting dalam produksi. Melalui pembelanjaannya negara mampu meningkatkan produksi dan melalui pajaknya akan dapat melemahkan produksi. Pemerintah akan membangun pasar terbesar untuk barang dan jasa yang merupakan sumber utama bagi semua pembangunan. Penurunan belanja negara tidak hanya menyebabkan kegiatan usaha menjadi sepi dan menurunnya keuntungan, tapi juga mengakibatkan penurunan dalam penerimaan pajak. Semakin besar belanja pemerintah, semakin baik perekonomian karena belanja yang tinggi memungkinkan pemerintah untuk melakukan hal-hal yang dibutuhkan bagi penduduk dan menjamin stabilitas hukum, peraturan, dan politik. Oleh karena itu, untuk mempercepat pembangunan kota, pemerintah harus berada dekat dengan masyarakat dan mensubsidi modal bagi mereka.

Selain itu, Ibn Khaldun juga menghimbau agar negara memberikan beban pajak yang rendah kepada para penduduknya. Sebab, faktor yang berpengaruh dalam memajukan perdagangan adalah sebisa mungkin memberikan beban pajak yang ringan kepada mereka, supaya perdagangan menjadi maju dengan memberikan jaminan keuntungan yang lebih besar. Oleh karena itu, pembebanan pajak kepada para penduduk suatu negara harus diterapkan dengan cara yang layak, adil, jujur, dan merata tanpa mengecualikan seseorang yang memiliki jabatan atau kedudukan dalam negara tersebut. Dan negara tidak patut untuk menerapkan pajak kepada orang yang tidak mampu membayarnya.

Di sisi yang lain, bertambahnya jumlah penduduk memiliki pengaruh terhadap kekayaan negara. Sebab, perbedaan penghasilan dan kemakmuran disebabkan jumlah penduduk. Jumlah penduduk yang banyak dapat memudahkan produksi dan distribusi dan dapat menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi. Makin bertambahnya kemakmuran berdampak pada makin bertambahnya kegiatan perekonomian yang selanjutnya berdampak pada penghasilan dan kemakmuran. Dengan demikian, proses ini tidak hanya mencukupi kebutuhan pokok, tapi juga kebutuhan yang lain.

Beberapa pemikiran ekonomi di atas hanya secuil dari kontribusi Ibn Khaldun dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang ekonomi. Tentunya teori ekonomi Ibn Khaldun di atas dapat terhambat dengan adanya praktik-praktik korupsi. Sebab, praktik korupsi tidak hanya sekadar mengambil hak rakyat, tapi juga merusak sistem yang ada.