Tuesday, 23 August 2011

Menuju Ekonomi Hijau

No comments:

Koran Sindo, 21 Agustus 2011

Judul: Ekonomi Hijau
Penyusun: Surna Tjahja Djajadiningrat dkk.
Editor: Anggara Wisesa
Penerbit: Rekayasa Sains
Terbit: Mei 2011
Tebal: 250 hlm.

Pemanfaatan dan eksploitasi sumber daya alam yang tidak diimbangi upaya konservasi yang mengatasnamakan kesejahteraan hidup manusia tampaknya mulai menampilkan dampak negatif terhadap keberlangsungan lingkungan hidup. Hal ini tidak hanya mengancam keberlangsungan lingkungan alam, tetapi juga keberlangsungan hidup manusia sendiri. Isu pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change) hanya sebagian dari sekian banyak isu lingkungan yang demikian pelik untuk diperhatikan, yang tidak hanya bersifat lokal tetapi juga global.

Meningkatnya kesadaran terhadap isu lingkungan ini mendorong negara-negara di dunia untuk memikirkan upaya pengimbangan laju ekonomi dengan upaya konservasi lingkungan alam dan melahirkan paradigma ekonomi yang memasukkan aspek lingkungan ke dalamnya, atau yang lebih dikenal sebagai ekonomi hijau. Kebanyakan negara dan pemangku kepentingan meyakini bahwa ekonomi hijau adalah solusi bagi permasalahan ini serta dapat membawa kehidupan dan peradaban global menjadi lebih baik, berkeadilan, sejahtera, dan berkesinambungan.

Pengembangan ekonomi hijau, yaitu ilmu ekonomi yang selain mengupayakan peningkatan kesejahteraan dan keadilan sosial, juga menganjurkan untuk mengurangi secara nyata kelangkaan sumber daya alam dan resiko dampak lingkungan (UNEP), saat ini menjadi satu kecenderungan ekonomi di dunia. Hal ini terjadi sejak masyarakat dunia mulai menyadari dampak negatif eksploitasi sumber daya alam terhadap lingkungan yang sudah berjalan sejak revolusi industri sampai sekarang. Berbagai forum internasional yang membahas berbagai dampak negatif pola hidup masyarakat modern dan pengembangan ekonomi yang eksploitatif terhadap keberlanjutan kehidupan dunia mulai digagas sejak awal 1970-an oleh berbagai pihak. Salah satu rujukannya adalah laporan dari The World Commission on Environment and Development yang dipublikasikan pada tahun 1987 dengan judul “Our Common Future”.

Di samping kesadaran tentang pentingnya merubah pola pembangunan dunia yang begitu eksploitatif dalam pengelolaan sumber daya alam dan akan berdampak negatif pada keberlanjutan kehidupan dunia, sebagian negara maju juga menyadari bahwa penerapan ekonomi hijau akan membawa kewajiban yang dapat mengurangi kemapanan ekonomi negara-negara tersebut. Dengan demikian, ekonomi hijau di satu sisi merupakan suatu keniscayaan bagi seluruh negara, tetapi di sisi lain akan merubah tatanan dan keadilan ekonomi dunia.

Bagi Indonesia, ekonomi hijau adalah satu pilihan yang sangat masuk akal untuk diterapkan berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertama, ekonomi Indonesia masih sangat menggantungkan diri pada pengelolaan sumber daya alam sehingga Indonesia sangat berkepentingan terhadap keberlanjutannya. Kedua, dengan menerapkan ekonomi hijau, selain Indonesia akan menjadi pelopor di tingkat global, ekonomi Indonesia akan mengarah kepada ekonomi yang lebih efisien dalam penggunaan sumber daya alam yang terbatas dan juga akan lebih berkelanjutan. Ketiga, penerapan ekonomi hijau akan lebih memperbaiki kondisi lingkungan hidup yang sudah sangat rusak dan sudah menjadi kendala yang nyata bagi sebagian besar masyarakat.

Memaknai Ekonomi Hijau ini dalam konteks kekinian tentu akan berimplikasi yang sangat luar biasa bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia, bahkan tidak terlepas dunia internasional. Buku yang terbit pada saat yang tepat (timely) tentu akan menjadi panduan (guidance) dalam khazanah konsep green economy yang didedikasikan kepada keramahan kita terhadap lingkungan, sehingga paradigma ekonomi yang mengabaikan keberlangsungan lingkungan hidup harus ditinggalkan.

Dengan semakin memprihatinkannya berbagai masalah pencemaran dan kerusakan lingkungan di tingkat global dan lokal, khususnya perubahan iklim, Kementerian Lingkungan Hidup telah menyelenggarakan seminar dengan tema “Ekonomi Hijau”. Seminar tersebut merupakan upaya untuk mengembangkan konsep ekonomi hijau sebagai konsep ekonomi untuk suatu dunia nyata, dunia kerja, kebutuhan manusia, material yang ada di bumi ini, dan bagaimana hal-hal tersebut dapat menjadi suatu jalinan keterkaitan yang harmonis, terutama tentang nilai guna’ dan bukan ‘nilai tukar’ atau uang, yang peduli terhadap kualitas bukan kuantitas, yang peduli tentang regenerasi dari individu, komunitas, dan tatanan lingkungan (ecosystem), dan bukan akumulasi uang atau material.

Ekonomi hijau adalah sebuah gagasan soal pola perekonomian yang ramah lingkungan.

Tuesday, 2 August 2011

Memimpin Republik dengan Konstitusi

No comments:

Jurnal Nasional, 24 Juli 2011

Judul: Memimpin Republik dengan Konstitusi
Penyusun: Arif Budimanta dkk.
Penerbit: Megawati Institute
Tebal: 156 halaman

Buku Memimpin Republik dengan Konstitusi merupakan sebuah karya yang memotret perjalanan bangsa ini sepanjang tahun 2010. Karya tersebut menghadirkan pembacaan kritis terhadap politik, ekonomi, hukum, lingkungan, pendidikan, dan hak asasi manusia (HAM). Pembacaan kritis itu ditilik dan dicermati dengan menggunakan perspektif konstitusi sebagai konsensus dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Memimpin Republik dengan Konstitusi adalah sebuah visi dan wacana yang diharapkan dapat menggugah kesadaran politik para pemimpin bangsa ini, bahwa kesempatan dan kemungkinan untuk bangkit selalu ada, bahkan terang benderang. Basisnya, pemimpin negeri ini harus memiliki keberanian, kejujuran, dan ketulusan untuk memimpin republik berdasarkan konstitusi, bukan pada kepentingan golongan, apalagi kemapanan pribadi.

Sebagai sebuah karya, buku ini tidak hanya mengetengahkan kritik, tetapi juga pemikiran alternatif dalam rangka membangkitkan kesadaran pentingnya menjadikan konstitusi sebagai rujukan utama bagi kepemimpinan nasional. Buku ini merupakan upaya untuk melihat secara kritis potret kepemimpinan nasional sepanjang tahun 2010 dan bagaimana menghadapi tahun-tahun selanjutnya yang penuh dengan tantangan dan peluang untuk bangkit.

Abai dan lupa terhadap konstitusi menyebabkan bangsa ini tidak mampu mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur, sebagaimana tertuang dalam alinea Preambul UUD 1945. Padahal, Bung Karno sudah mewanti-wanti agar kita semua “jangan sekali-kali melupakan sejarah” atau yang lebih dikenal dengan “jas merah”. Salah satu penyakit lupa yang sangat mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu hilangnya kesadaran tentang pentingnya konstitusi dalam berbangsa dan bernegara.

Fakta tersebut bisa dilihat dalam potret bangsa ini sepanjang tahun 2010, di mana kehidupan politik tidak mampu mempersatukan seluruh warga. Praktik politik di permukaan yang terlihat “demokratis” bukan mempersatukan seluruh warga dalam rangka membangun negeri, justru semakin memperluas jurang perseteruan, bahkan konflik. Hal tersebut disebabkan hilangnya spirit persatuan yang menjadi roh dalam kehidupan berbangsa sebagaimana dirancang dan dibangun para pendiri bangsa ini.

Kedaulatan bangsa dan negara juga sejatinya harus menjadi prinsip yang melekat pada setiap kebijakan ekonomi. Beberapa kebijakan ekonomi kerap kali mengabaikan kepentingan rakyat. Akibatnya, setiap kebijakan cenderung menguntungkan pihak asing dan merugikan kemaslahatan publik. Kebijakan ekonomi yang cenderung neoliberal telah melabrak rambu-rambu konstitusi yang menegaskan pentingnya kemakmuran rakyat.

Begitu halnya dalam bidang penegakan hukum, keadilan tidak dijadikan sebagai acuan dan prinsip yang mendasar bagi aparat penegak hukum. Mereka yang berkuasa dapat mengendalikan hukum, sehingga mencederai rasa keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Mencari keadilan di republik ini hampir menjadi sesuatu yang mustahil. Hukum hanya diterapkan bila berkaitan dengan rakyat kecil, tetapi jika berkaitan dengan para elite, keadilan cenderung disembunyikan, bahkan diabaikan. Padahal, tujuan akhir dari Pancasila adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia—sebuah sila yang menjadi “yatim-piatu”.

Konstitusi merupakan prasyarat utama dalam rangka meneguhkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan tegaknya Bhinneka Tunggal Ika. Jika konstitusi diabaikan, maka yang terjadi adalah munculnya gejala disintegrasi sosial. Apalagi ditopang dengan kondisi ekonomi yang karut-marut dan penegakan hukum yang tidak berkeadilan, maka akan mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu hilangnya kepercayaan publik terhadap konstitusi. Karena itu, yang diperlukan adalah kepemimpinan alternatif, yakni kepemimpinan yang berpijak dan berangkat dari konstitusi. Kepemimpinan yang memiliki keberanian dalam mengambil langkah-langkah penting untuk kemaslahatan publik sebagaimana diamanatkan konstitusi.

Berbagai permasalahan bangsa yang terkait hal-hal di atas dapat dikerucutkan ke dalam satu hal, yaitu kemiskinan. Kemiskinan merupakan masalah yang belum juga terselesaikan dalam bangsa kita yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis. Kemiskinan juga sebenarnya merupakan anak halal dari demokrasi, yang menyebabkan bangsa ini lamban dalam meniti tangga dalam kemajuan dan peradaban. Bahkan, kemiskinan telah menjadi pangkal dari segala persoalan, terutama dalam hal solidaritas dan integritas sosial. Sehingga, tidak berkurangnya angka kemiskinan di Indonesia menjadi cermin bahwa bangsa ini masih berada jauh dari yang dicita-citakan.

Jika ditilik secara mendasar, masalah tersebut terjadi karena praktik demokrasi dijauhkan dari spirit dan nilai-nilai yang terkandung di dalam konstitusi sebagaimana tercermin dalam Pancasila dan UUD 1945. Konstitusi tidak dijadikan sebagai landasan dan barometer untuk menilai sejauh mana kepercayaan politik yang diberikan rakyat kepada pemerintah dijalankan dengan baik dan benar.