Friday 6 February 2015

Islam di Barat dan Pentingnya Literasi Media

Masa kini menyajikan kita berbagai informasi di mana kita hidup dalam perkembangan sains dan teknologi yang begitu pesat. Kita hidup dalam dimensi waktu yang saling terhubung. Kita bisa melakukan aktivitas selama 24 jam dan pada saat yang sama, kita juga bisa tahu apa yang sedang terjadi di belahan dunia lain.

Munculnya berbagai media sosial di internet—seperti Facebook, Twitter, Skype, Blogspot dan lain sebagainya—menegaskan bahwa hal tersebut tidak bisa dihindari. Dengan kata lain, kita “terpaksa” menggunakannya untuk mengikuti tren hidup. Bila tidak, kita akan dianggap soliter atau kuno.

Munculnya berbagai media sosial juga memudahkan kita mendapatkan informasi tentang  isu-isu terkini seperti buruknya citra Islam di Barat/Eropa dan bagaimana umat Islam di sana menyikapinya. Fenomena seperti Islamic State (IS)—yang dulu bernama Islamic State of Iraq and Syria (ISIS)—ikut memberikan sumbangan besar kepada buruknya citra Islam sekarang. Begitu juga serangan yang telah dilakukan sekelompok Islam radikal terhadap salah satu majalah (satire) di Prancis, Charlie Hebdo.

Saya di sini tidak ingin membahas apakah yang telah dilakukan kelompok-kelompok radikal itu mencerminkan nilai-nilai Islam yang rahmat-an li ‘l-‘ālamin atau tidak dalam konteks sekarang. Bagi saya, apa yang telah mereka lakukan jelas mencederai misi kenabian Muhammad saw yang diutus untuk menebarkan kasih sayang. Karena mereka, Islam menjadi identik dengan kekerasan.

Di dalam Alquran (al-Anbiyā’: 107), Allah swt menegaskan:
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk [menjadi] rahmat bagi semesta alam.
Hadirin yang berbahagia,

Meski citra Islam begitu buruk di berbagai media, kita patut bersyukur karena adanya beberapa tokoh (Barat) yang mencitrakan Islam dengan sangat baik. Dengan kata lain, citra Islam di sana tidak selalu buruk. Ada Ben Affleck, Michael Steele dan Nicolas Kristof yang membela Islam pada saat berdebat dengan Sam Harris dalam Real Time with Bill Maher. Ada juga Ridley Scott, salah satu sutradara ternama di Hollywood, yang relatif sering mencitrakan Islam dengan sangat baik di beberapa filmnya: Kingdom of Heaven (2005), Body of Lies (2008) dan Robin Hood (2010).

Selain Ridley Scott, ada juga Philipp Stolzl yang sukses mencitrakan Islam dengan baik dalam The Physician (2013). Film yang diangkat dari novel Noah Gordon itu menggambarkan kisah hidup Ibn Sina, seorang filsuf besar yang terkenal karena ilmu kedokterannya. Montgomery Watt dalam karyanya, The Influence of Islam on Medieval Europe (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1972), menyatakan bahwa al-Qānūn fi ‘l-thibb yang ditulis Ibn Sina telah mendominasi pengajaran kedokteran di Eropa setidak-tidaknya sampai akhir abad ke-16 dan seterusnya.

Meski ada beberapa kritik, film tersebut harus diapresiasi. Bagi saya, Ben Kingsley berhasil memerankan ketokohannya dengan baik. Ia dengan apik menjadi seorang Ibn Sina yang selalu mengajarkan ilmu kedokteran dan filsafat peripatetik (masysyā’iyyah) Aristoteles di rumah sakit. Pada abad ke-11, setiap orang yang sakit di Eropa pasti datang ke tukang cukur dan rumah sakit yang dikelola Ibn Sina merupakan sebuah madrasah.

Dari penjelasan saya tentang film-film di atas, saya sebenarnya ingin menekankan bahwa apa yang kita peroleh dari media tentang buruknya citra Islam di Barat tidak bisa kita konsumsi secara mentah meski itu merupakan fakta yang terjadi. Kita harus memandang Islam dan Barat secara utuh. Sebab, Islam dan Barat merupakan dua entitas yang punya keragaman masing-masing.

Hadirin yang berbahagia,

Pada awal khotbah ini, saya menyatakan bahwa masa kini menyajikan kita berbagai informasi di mana kita hidup dalam perkembangan sains dan teknologi yang begitu pesat. Media sosial memberikan kita kemudahan dalam mengakses berbagai perkembangan isu-isu terkini. Sayangnya di kalangan umat Islam kemudahan tersebut juga menjadi sebuah propaganda baru untuk menebarkan benih-benih radikalisme.

Banyak situs yang menggunakan Islam untuk menebar fitnah dan kebencian terhadap umat yang berbeda seperti voa-islam.comarrahmah.com dan lain sebagainya. Meski demikian, ada juga beberapa situs yang berusaha menangkalnya dengan menekankan pentingnya toleransi di antara umat beragama seperti satuislam.org, islamindonesia.co.id dan lain sebagainya. Dalam hal ini, literasi media yang memiliki nalar kritis dalam menyaring berbagai arus informasi menjadi begitu penting.

Di dalam Alquran (al-‘Alaq: 1), Allah swt berfirman:
Bacalah dengan [menyebut] nama Tuhan yang menciptakan.
Membaca atau literasi adalah wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Itu berarti bahwa Islam pada hakikatnya menyuruh para pemeluknya untuk menyadari pentingnya literasi dan membuka diri terhadap berbagai informasi. Sebab, keterbukaan diri terhadap berbagai informasi harus dilandasi kesadaran literasi.

Hadirin yang berbahagia,

Kita hidup di era informasi yang begitu berlimpah. Eka Wenats Wuryanta (dalam dialognya bersama saya di Kamikita) memandang bahwa kemudahan menggunakan berbagai media sebagai the extension of man di internet, (sinetron) televisi dan sejenisnya memberikan kontribusi besar dalam fenomena tersebut. Sehingga, apa yang ada dalam pikiran seseorang bisa ia tuliskan secara spontan. Situs-situs Islam radikal dan moderat yang telah saya sebutkan merupakan contoh yang tepat.

Bagi Eka, menyikapi fenomena tersebut memerlukan kesadaran akan literasi media (atau informasi). Sebab, saking melimpahnya berbagai informasi dari berbagai media, orang cenderung kehilangan daya nalarnya dan jatuh pada trivialisme di mana setiap pernyataan menjadi benar. Sehingga, setiap informasi yang baik menjadi buruk dan yang buruk menjadi baik.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, literasi media yang merupakan kemampuan menganalisis dan mengkritik isi media untuk mendapatkan pemahaman utuh tentang realitas menjadi jalan satu-satunya. Sebab, kemampuan menganalisis dan mengkritik diperlukan agar para konsumen media menjadi sadar akan pentingnya penyaringan informasi yang didapat. Hal ini tentunya sangat sejalan dengan wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Iqra’!

NB: Ini adalah teks khotbah Jumat yang disampaikan di Universitas Paramadina pada 06 Februari 2015.

No comments: