Tuesday, 15 September 2015

Mengenal Sudirman dari Kritik Film

Sudirman adalah tokoh bangsa yang sekarang menjadi perbincangan hangat. Hal itu disebabkan perjuangannya yang diangkat kembali ke dalam sebuah film, Jenderal Sudirman (2015). Viva Westi, sang sutradara, menyuguhkan film itu dalam rangka memperingati 70 tahun kemerdekaan Indonesia.

Diangkatnya Sudirman yang merupakan seorang pejuang kemerdekaan ke layar lebar menandai kecenderungan positif industri film di Tanah Air yang menampilkan perjuangan tokoh bangsa. Di tengah-tengah persoalan korupsi dan tidak adanya keteladanan yang melanda kita, film sebagai media utama menjadi begitu relevan. Kita mungkin perlu lebih banyak lagi.

Sebetulnya ketokohan Sudirman sudah pernah diangkat ke layar lebar dalam Janur Kuning (1979) yang disutradarai Alam Surawidjaja. Meski film tersebut menjadi propaganda Orde Baru untuk meneguhkan kekuasaannya, ketokohan Sudirman yang diperankan Deddy Sutomo sangat tepat. Deddy berhasil menjiwainya.

Janur Kuning mengisahkan perjuangan di Yogyakarta meraih kemerdekaan dari tentara sekutu yang dikenal sebagai Serangan Umum 1 Maret. Meski begitu, ketokohan Sudirman dijadikan sebagai “pemanis” dari peran besar Suharto. Suharto ditampilkan dengan begitu gagah dan dicintai rakyat meski fakta sejarahnya patut diragukan.

Seingat saya, film-film yang muncul pada 1970-1990 memang sengaja dijadikan sebagai media “psychological warfare” untuk melawan musuh-musuh Orde Baru. Di antaranya, Serangan Fajar (1981) dan Pengkhianatan G30S/PKI (1984) dari Arifin C. Noer. Ada juga Kereta Api Terakhir (1981) dari Mochtar Soemodimedjo, Tjoet Nja’ Dhien (1988) dari Eros Djarot dan sebagainya.

Berbeda dari Janur Kuning, peran Sudirman dalam film terbaru begitu menonjol. Viva memang berintensi menampilkan perspektif sejarah lain dengan tidak adanya peran Suharto sama sekali. Sebaliknya, Sukarno-Hatta tampil untuk bernegosiasi dan Sudirman memilih jalan bergerilya.

Meski perbedaan politik muncul di antara Sukarno-Hatta dan Sudirman, mereka tetap menghormati setiap jalan yang ditempuh. Tidak ada dendam, dengki atau hasud yang melatarbelakangi. Semuanya hadir dengan keteduhan yang kita rindukan dalam panggung politik sekarang.

Sudirman ditampilkan sebagaimana dirinya yang dikenal selama ini. Dalam catatan sejarah, ia seorang guru Muhammadiyah dan juga perokok berat. Ketika sakit paru-parunya begitu parah, Sudirman meminta istrinya merokok dan meniupkan asapnya ke mukanya. Tampilannya sebagai seorang guru dan perokok berat ada dalam film itu.

Sebagai sebuah karya seni, Jenderal Sudirman pasti hadir dengan berbagai kritik. Di sini, teori tukang bakso yang saya dapat JJ Rizal berlaku. Ketika kita memesan semangkuk bakso dan rasanya tidak enak, kita tidak perlu menjadi tukang bakso untuk mengkritiknya. Kita hanya perlu menyampaikan kritik itu atau mungkin beralih ke tukang bakso lain.

Teori di atas tentunya berlaku bagi Asvi Warman Adam yang telah mengkritik film tersebut secara serius di Koran Tempo (02/09/2015). Yang menjadi fokusnya adalah adegan-adegan yang tak sesuai dengan fakta sejarah dan pemojokan terhadap ideologi dan tokoh tertentu. Esai ini tentunya tidak ingin mengulangi kritik-kritik tersebut.

Nadine Labaki, seorang sutradara dari Lebanon, pernah berujar bahwa membuat film memiliki misi lebih tinggi daripada hanya sekadar menyampaikan sebuah cerita atau menghibur masyarakat. “I truly believe in that mission,” katanya dalam sebuah wawancara bersama E. Nina Rothe di The Huffington Post.

Tentunya kehadiran film-film sejarah nasional dalam beberapa tahun ini sejalan dengan apa yang didambakan Labaki selama ini. Para sutradara pasti sudah sadar akan hal itu. Di tengah kisruh politik yang begitu tampak di negeri ini, film-film tokoh bangsa menjadi sangat berarti.

Dari film-film tersebut, kita mampu mendapatkan inspirasi sebagai contoh baik untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan dari penjajahan dan kebebasan dari penindasan. Namun, sayangnya abai terhadap riset sejarah yang serius masih sangat terlihat. Bila tujuan mengangkat tokoh perjuangan bangsa ke layar lebar hanya sekadar hiburan untuk meraih keuntungan dari selera pasar, efeknya pasti cuma sekejap.

Yang perlu menjadi perhatian dalam esai ini karenanya adalah pentingnya visi kesejarahan dalam industri film Indonesia. Meski keadaannya belum mapan, industri film tidak berarti harus mengkhianati fakta sejarah demi kepentingan rezim-rezim tertentu. Sebab, hal itu hanya akan mereduksi karisma tokoh itu sendiri.

Dalam filsafat sejarahnya, Ibn Khaldun pernah merumuskan sekurang-kurangnya tujuh kesalahan yang membuat kita mengabaikan visi kesejarahan yang di antaranya kepentingan golongan atau partisan, kepercayaan berlebihan pada sumber tunggal, ketidakmampuan memahami konteks sejarah dan ketidaktahuan tentang hukum perubahan masyarakat.

Film-film tokoh bangsa belum sepenuhnya menjadikan visi kesejarahan sebagai landasan utama dalam sebuah karya seni. Kepentingan golongan atau partisan dan kepercayaan berlebihan pada sumber tunggal masih menjadi belenggu. Sehingga, akhirnya menyebabkan ketidakmampuan memahami konteks sejarah dan ketidaktahuan tentang hukum perubahan masyarakat.

Bagi Ibn Khaldun, salah satu sumber kesalahan dalam menulis ataupun membaca sejarah adalah mengabaikan perubahan. Perubahan yang dimaksud di sini berarti bahwa masyarakat yang hidup dalam kebiasaan dan cara mereka berpikir maupun bekerja tidaklah selalu sama seiring dengan perubahan waktu. Begitu juga cara pandang masyarakat kita sekarang.

Kini bukan saatnya lagi menutupi sejarah kelam bangsa kita atau mendistorsi apa yang sebenarnya telah terjadi—meski kebenaran itu tetap subjektif. Tampilkanlah sejarah dengan apa adanya tanpa pretensi apa pun. Sebab, masyarakat kita berubah seiring dengan berubahnya waktu. Mereka sekarang tidak mempan diberikan kebohongan dan pembodohan dalam setiap propaganda yang disampaikan melalui film.

No comments: