Awal Agustus diisi berbagai muktamar dari beberapa organisasi masyarakat (ormas) besar: Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Mathla’ul Anwar. Yang paling menjadi perhatian kita tentunya dua tema muktamar yang diusung dua ormas terbesar di Indonesia: NU dan Muhammadiyah. NU mengusung Islam Nusantara; Muhammadiyah mengusung Islam Berkemajuan.
Dua tema muktamar tersebut tidak hadir dari ruang hampa. Fenomena keberagamaan yang cenderung radikal, saling mengafirkan, intoleran dan lain-lain pasti melatarbelakanginya. Dari sana, kita bisa tahu bahwa Islam Nusantara yang berkemajuan memiliki relevansi yang kuat.
Sebelum beranjak ke pembahasan, sebaiknya kita menyinggung secara singkat apa yang dimaksud dengan “Islam Nusantara” dan “Islam Berkemajuan” sejauh yang bisa dibaca dan pahami dari apa yang berkembang selama ini NU dan Muhammadiyah. Meski demikian, tulisan ini tidak akan mempersoalkan apa yang dimaksud dengan Nusantara itu sendiri.
Dalam tulisannya, Metodologi Islam Nusantara, Abdul Moqsith Ghazali mengungkapkan bahwa Islam Nusantara tidak hadir untuk mengubah doktrin Islam. Ia hanya ingin mencari cara untuk melabuhkan Islam dalam konteks budaya masyarakat yang beragam. Gagasannya tentu berpijak pada kaidah-kaidah ushuliyyah yang di antaranya mashlahah mursalah, istihsan dan ‘urf.
Sementara itu, Islam Berkemajuan adalah cara pandang Islam yang mampu merespon perkembangan zaman. Muhammadiyah menganggap tema tersebut begitu penting karena menguatnya tanda-tanda keterbelakangan umat Islam selama ini. Kita bisa bayangkan betapa terbelakangnya umat Islam secara umum yang mana selama 14 abad lebih sejak kemunculannya, umat Islam masih saja sibuk dengan wacana kafir-mengafirkan.
Membaca 13 rekomendasi Muhammadiyah dari hasil muktamar membuat kita sadar bahwa persoalan bangsa kita bermuara pada persoalan keagamaan yang begitu sempit. Kita karenanya sering lupa bahwa persoalan korupsi dan pentingnya membangun pemerintahan yang baik juga harus diutamakan. Bagi Muhammadiyah, hal tersebut hanya bisa diatasi dengan membangun masyarakat ilmu.
Ide-ide tentang kemajuan sebenarnya bukanlah hal baru di Muhammadiyah yang didirikan pada 18 November 1912 oleh Ahmad Dahlan. Sebagaimana yang dicatat Deliar Noer (1996), Muhammadiyah hadir dengan ide-ide kemajuan di mana setiap persoalan umat dibicarakan melalui dialog. Untuk mencapai maksudnya, organisasi tersebut mendirikan lembaga-lembaga pendidikan (dengan sistem kelas), rumah sakit dan sebagainya.
Apa yang dilakukan Muhammadiyah tentunya mendapatkan reaksi dari kalangan tradisional atau pesantren. Mereka merasa “terancam” bila mereka juga tidak melakukan apa yang telah dilakukan Muhammadiyah. Berdirilah Nahdlatul Ulama pada tahun 1926.
Yang menjadi poin dari penjelasan singkat di atas, adalah pentingnya dua organisasi masyarakat tersebut di Indonesia. Karena itu, bukanlah sebuah hal berlebihan bila kita juga mengusung Islam Nusantara yang berkemajuan.
Membela Islam Nusantara Berkemajuan
Islam Nusantara yang berkemajuan bukanlah Islam yang dibayangkan para pencibirnya di media sosial. Islam Nusantara yang berkemajuan bukanlah Islam yang hendak mengganti kain kafan dengan kain batik, ayat-ayat Alquran dengan ayat-ayat konstitusi menjelang kematian atau pengucapan salam dengan “selamat pagi, siang, sore dan malam”. Mereka berdalih bahwa Islam itu satu. “Islam, ya Islam. Tidak ada [Islam] Nusantara,” kata mereka.
Pandangan di atas pada hakikatnya pandangan yang picik. Mereka benar bahwa Islam memang satu tapi itu hanya ada pada level Alquran. Mereka menafikan keragaman yang telah tumbuh sejak awal berkembangnya Islam. Mereka lupa atau mungkin tidak tahu sama sekali bahwa Islam itu punya ruang penafsiran yang begitu terbuka.
Dari awal kemunculannya, Islam secara jelas begitu beragam setelah meninggalnya Nabi Muhammad saw. Kita tidak bisa menafikan adanya begitu banyak pendapat keagamaan yang muncul ketika itu. Sebab, hal tersebut adalah sebuah ketentuan Tuhan (sunnatullah). Jika saja Ia menghendaki, kita niscaya akan menjadi satu umat, satu pikiran dan satu visi. Namun, Ia hendak menguji kita dan karenanya kita harus berlomba-lomba dalam kebaikan (Qs. 05:48).
Nurcholish Madjid (2013) pernah menulis tentang pentingnya mengembangkan Islam yang beorientasi pada kemodernan dan keindonesiaan—di mana Islam Nusantara mewakili keindonesiaan dan Islam Berkemajuan mewakili kemodernan. Di dalamnya, ia menyampaikan perlunya mengembangkan Islam yang sesuai dengan konteks budaya masyarakat Indonesia tanpa mengabaikan susbstansi-substansi keislaman.
Substansi-substansi keislaman itu sendiri terdiri dari yang bersifat universal dan partikular. Substansi-substansi bersifat universal (global) yang antara lain adalah tauhid, keadilan sosial atau keberpihakan kepada orang-orang tertindas atau terzalimi, dan hak asasi manusia. Sedangkan, substansi-substansi bersifat partikular (lokal) yang antara lain adalah gaya berpakaian, hak waris dan poligami.
Islam Nusantara berkemajuan tentunya hadir untuk meneguhkan keislaman yang merespon perkembangan zaman dalam konteks keindonesiaan tanpa mengabaikan substansi-substansi yang universal. Islam karenanya harus menegakkan keadilan bagi kaum-kaum tertindas karena pengafiran dan kemiskinan struktural. Islam Nusantara berkemajuan harus menebarkan Islam yang benar-benar menjadi rahmat bagi bangsa dan dunia (Qs. 21:107).
NB: Tulisan ini adalah versi asli dari yang telah dimuat di Liputan Islam.
No comments:
Post a Comment