Tuesday, 30 December 2008

Apakah kita inferior?

2 comments:

Saat ini berbagai permasalahan mendera bangsa Indonesia. Mulai dari hal terkecil seperti kemacetan di Jakarta sampai hal terbesar seperti korupsi yang menjangkiti sebagian besar instansi-instansi pemerintah dan lain sebagainya. Begitu rumitnya permasalahan-permasalahan bangsa kita ini sehingga kita cenderung pesimis daripada optimis.

Padahal, Rektor Univ. Paramadina, Anies R. Baswedan, telah mendorong kita untuk tetap optimis dalam mengatasi berbagai permasalahan bangsa melalui tulisannya di harian umum Kompas (27/10/08) yang berjudul, Bentangkan Optimisme Bangsa.

Sebagai sebuah bangsa yang memiliki semangat modernitas yang tinggi-yang memiliki subyektifisme, kritisisme, dan ide kemajuan-optimisme bangsa haruslah ditanam dalam hati kita masing-masing. Berbagai permasalahan bangsa harus dihadapi dengan penuh ketulusan dan optimisme agar kita mampu mewujudkan cita-cita bersama.

Salah satu masalah yang menurut saya begitu penting adalah mentalitas bangsa Indonesia yang inferior. Kita kadang-kadang terlampau merasa bahwa kita adalah bangsa yang lemah yang tidak mampu bersaing dengan yang lain, padahal secara fisik maupun non fisik kita tidak kalah kualitasnya. Misalnya dalam bidang olahraga, sejarah terbuktikan bahwa bangsa Indonesia, pada hakekatnya, mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia khususnya dalam cabang bulutangkis. Dalam cabang tersebut, para pebulutangkis Indonesia mampu mengalahkan para pebulutangkis yang berasal dari negara-negara lain. Tapi dalam cabang sepakbola-bidang olahraga yang paling disoroti oleh dunia saat ini-timnas Indonesia sampai saat ini belum meraih prestasi yang memuaskan. Ada apa gerangan? Dan, mengapa demikian?

Baru-baru ini, saya dihibur oleh sebuah kompetisi sepakbola yang diadakan secara rutin oleh sebagian dari negara-negara Asia yakni Piala AFF Suzuki (yang dulu bernama Piala Tiger). Bagi saya, kompetisi sepakbola ini teramat menarik untuk ditonton. Memang, bila dibandingkan dengan Liga Champion Piala AFF Suzuki tidak terlalu menarik. Tapi, di samping kita menikmati tontonan Liga Champion alangkah lebih baik apabila kita menikmati juga tontonan Piala AFF Suzuki khususnya ketika timnas Indonesia bermain, terlepas gaya bermain mereka baik atau buruk.

Pada kompetisi Piala AFF Suzuki tahun ini, Indonesia mampu bersaing dengan yang lain. Tapi, di semifinal (putaran 1, 16 Desember 2008; putaran 2, 20 desember 2008) timnas Indonesia terpaksa menyelesaikan misi mereka tanpa membawa pulang prestasi yang dicita-citakan karena mereka harus menerima dengan lapang kekalahan dari Thailand. Kekalahan tersebut adalah kekalahan dramatis. Permainan Budi Sudarsono dan kawan-kawan di lapangan memang terlihat kurang optimal padahal dari segi skill dan kualitas bermain mereka tidak kalah bagusnya. Dan, saya yakin bahwa kurang optimalnya permainan Budi Sudarsono dan kawan-kawan bukan karena mereka tidak bekerja keras.

Lantas, apa yang menyebabkan timnas Indonesia kalah bermain dari Thailand? Faktornya adalah inferioritas. Mentalitas inferior menyebabkan kita terpuruk dari bangsa-bangsa lain. Tak ubahnya, Budi dan kawan-kawan yang dikelilingi oleh orang-orang yang bermental inferior di luar lapangan menyebabkan mereka bermain kurang optimal ketika melawan Thailand. Sebenarnya, kualitas bermain timnas kita memadai untuk bersaing dengan yang lain. Sepatutnya, pelatih timnas kita mampu untuk menumbuhkan kepercayaan diri para pemain agar mereka dapat bermain dengan optimal. Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa kita bermental inferior adalah ketika timnas Indonesia menghadapi Singapura dalam memperebutkan gelar juara grup. Indonesia harus menang tapi tuntutan tersebut tidak didasarkan pada supportifitas melainkan didasarkan pada ketakutan menghadapai Thailand di semifinal. Menurut saya ini adalah masalah yang sangat serius.

Oleh karena itu, saatnya kita merubah mentalitas kita yang inferior agar kita mampu keluar dari keterpurukan yang melanda bangsa kita. Dengan membangun kepercayaan diri yang kuat dan spirit yang tinggi kita mampu untuk maju bersama dan bersaing secara sehat dengan yang lain dalam hal apapun.

#Tulisan ini telah didiskusikan dalam klub menulis Lentera Badai HIMAFA Univ. Paramadina. Jakarta, 27 Desember 2008

Monday, 1 December 2008

Kepahlawanan dalam Islam: Konteks Keindonesiaan

No comments:
Hadirin salat Jumat yang berbahagia,

Pada kesempatan kali ini, marilah kita memanjatkan puja dan puji syukur kita kepada Allah swt. Berkat nikmat dan rahmat-Nya berupa iman dan Islam kita mampu melaksanakan kewajiban pekan yakni menunaikan salat Jumat bersama-sama di tempat yang mulia ini.

Selawat serta salam mari kita limpahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad saw, nabi akhir zaman, imam para rasul, yang telah membawa kita dari zaman kegelapan ke zaman modern.

Hadirin yang berbahagia,

Pesan inti dari khotbah Jumat adalah pesan takwa (taqwâ) karena takwa adalah sesuatu yang harus dioptimalkan secara terus menerus tanpa titik final oleh orang-orang yang beriman kepada Allah swt. Takwa kepada-Nya yang sebenar-benarnya adalah menjalankan segala perintah-perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-larangan-Nya di mana pun kita berada. Nabi berpesan, Ittaq-i ‘l-Lâh-a haytsu-mâ kunt-a.

Pada khotbah ini, khatib telah diminta oleh pihak Dewan Keluarga Masjid (DKM) Universitas Paramadina untuk menyampaikan tema kepahlawanan dalam Islam, khususnya dalam konteks keindonesiaan. Ini merupakan sebuah tema yang menarik untuk dikaji, mengingat sebagian bangsa kita cenderung mereduksi dan mempersempit makna pahlawan.

Kata pahlawandalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang yang berjuang dengan gagah berani dalam membela kebenaran. Dengan merujuk kata pahlawanyang tercatat dalam KBBI, menjadi pahlawan adalah hal yang memungkinkan bagi setiap orang, bahkan tukang sapu di jalan pun adalah seorang pahlawan.

Dalam konteks kenegaraan/kebangsaan, seorang pahlawan yang beriman kepada Allah swt yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini di dalam Alquran adalah orang-orang yang berjuang di jalan Allah. Seperti yang tercatat dalam Qs. al-Baqarah: 154:
Dan janganlah kalian sekali-kali mengatakan bahwa orang-orang yang berjuang (terbunuh) di jalan Allah itu mati melainkan mereka hidup tetapi kita tidak merasakan.
Sesungguhnya para pahlawan yang telah memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini, yang kita tahu maupun yang tidak kita tahu, mereka hidup, hidup di hati kita.

Hadirin yang berbahagia,


Lantas, apa pelajaran yang dapat kita petik dari para pahlawan bangsa kita? Di sini, khatib ingin menyampaikan sebuah cerita. Alkisah, seorang raja Persia yang bernama Kisra Anu Syirwan melakukan observasi ke rumah-rumah para penduduk kerajaannya. Ketika ia tiba di satu rumah, di sana ia menemukan seorang kakek yang menanam pohon di halaman rumah tersebut.


Sang raja tertawa dan bertanya, Wahai kakek, kenapa kau menanam sebuah pohon yang akan berbuah 10-20 tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun ke depan, sedangkan kau mungkin tahun depan sudah mati dan kau tidak dapat menikmati buah-buahan dari pohon yang telah kau tanam?


Dengan penuh senyum dan optimisme sang kakek menjawab, Wahai raja, laqad gharas-a man qabla-nâ fa akal-nâ wa naghris-u nahn-u li-ya’kul-a man ba‘da-nâ.” Orang-orang sebelum kita telah menanam pohon dan buah-buahan dari pohon tersebut kita nikmati sekarang maka kita menanam kembali pohon yang buah-buahannya akan dinikmati oleh orang-orang setelah kita.


Dari cerita di atas kita dapat memetik sebuah pelajaran bahwa kemerdekaan ibarat sebuah pohon yang telah ditanam oleh para pahlawan bangsa ini kendatipun mereka tidak pernah menikmatinya melainkan kenikmatan tersebut kita rasakan sekarang.


Oleh karena itu, hadirin salat Jumat Universitas Paramadina, khususnya para mahasiswa, mulai saat ini marilah kita bersama-sama berbuat untuk orang lain, orang-orang setelah kita. Marilah kita bersama-sama menanam pohon untuk mereka agar mereka dapat menikmati buah-buahan dari tanaman kita, hasil dari perbuatan kita, karena apa yang kita nikmati saat ini adalah hasil-hasil dari tanaman orang-orang sebelum kita.


Mudah-mudahan khotbah sederhana ini bermanfaat bagi kita semua untuk meningkatkan ketakwaan kita kepada allah swt.


Catatan: Ini adalah teks khotbah Jumat di Universitas Paramadina pada 21 November 2008

Saturday, 1 November 2008

Islam Agama Kedamaian

5 comments:

Kedamaian merupakan salah satu pesan inti dari misi profetik Nabi besar Muhammad saw. Kedamaian merupakan cita-cita agung yang selalu diperjuangkan oleh semua manusia di muka bumi. Bayangkanlah, bila dunia tanpa kedamaian niscaya semua manusia serta segala sesuatu yang hidup di alam ini akan mengalami kepunahan dan kehilangan peradaban yang telah mereka bangun sendiri. Kedamaian menciptakan ketentraman. Ketentraman meniscayakan kenyamanan dan ketenangan yang pada akhirnya terciptakan keajaiban di hati untuk meraih kebahagiaan hidup.

Islam adalah agama kedamaian. Dalam sejarah kemunculannya, tepatnya ketika Nabi Besar Muhammad saw menyampaikan ajaran-ajarannya kepada umat manusia, tidak ada paksaan bagi mereka untuk memeluk agama Islam (QS 2: 256). Bahkan, umat Islam mampu hidup berdampingan dengan umat lain/non Islam dengan harmonis dan saling menghargai satu sama lain. Adapun konflik dan peperangan yang telah terjadi pada masanya dikarenakan umat Islam ketika itu selalu dipojokkan dan ditindas oleh sebagian umat lain. Situasi itulah yang memaksa mereka untuk melakukan pembelaan terhadap diri sendiri sehingga terjadilah pertempuran yang sebenarnya tidak pernah diinginkan oleh siapapun, di manapun, dan kapanpun. Dengan demikian, merupakan sebuah kesimpulan yang keliru bahwa Islam adalah agama yang disebarkan melalui pedang dan kekerasan.

Teramat menarik, jika kita mengkaji kembali dengan seksama pesan-pesan kedamaian di dalam Islam dengan menelaah kembali kata islām itu sendiri. Di dalam kamus Hans Wehr (A Dictionary of Modern Written Arabic, Third Printing, London: George Allen and Unwin LTD, 1971), kata islām merupakan derivasi dari kata salim-ayaslam-u yang berarti to be safe and sound, unharmed, unimpaired, intact, safe, secure, dan lain sebagainya yang secara sederhana dalam bahasa Indonesia berarti selamat dan damai. Dalam struktur kata bahasa Arab, kata salim-a yaslam-u berkembang menjadi aslam-a yuslim-u yang akhirnya menjadi islām yang tidak hanya berarti selamat dan damai melainkan juga memberikan keselamatan dan menciptakan kedamaian. Maka muslim adalah orang yang memberikan keselamatan dan kedamaian. Namun pada hakekatnya, jika dikaji lebih dalam kata islām juga berarti berserah diri (Nurcholish Madjid, 1992: 2)

Islam, Agama Kedamaian

Dewasa ini, saya kira tidak terlalu berlebihan apabila kita berkeyakian bahwa Islam adalah agama yang penuh kedamaian walaupun pada kenyataanya masih ada sebagian umat Islam yang menggunakan kekerasan sebagai cara untuk mengajak sebagian yang lain kepada keyakinan yang benar menurut mereka sendiri. Suka atau tidak suka, sepakat atau tidak sepakat, itulah yang terjadi.

Mengkaji ulang kembali nilai-nilai keislaman secara keseluruhan, baik di dalam al-Qur’an maupun Sunnah Nabi, akan membantu kita untuk meyakini bahwa Islam adalah agama yang penuh kedamaian, atau paling tidak menumbuhkan kembali kedamaian di dalam maupun luar umat Islam. Nabi Muhammad saw selalu mengajarkan kita untuk hidup di atas landasan etik yang mana satu dengan yang lain saling menghormati dan saling membantu tanpa pandang bulu. Bahkan, banyak dari hadis-hadis nabi yang memerintahkan kita untuk memberikan kedamaian kepada orang lain, salah satunya adalah menghormati tetangga, karena penghormatan kita sebagai umat Islam terhadap umat lain merupakan sebuah kedamaian bagi mereka.

Mencermati fenomena saat ini, umat Islam di Indonesia secara umum sudah mampu memberikan kedamaian kepada umat-umat lain tetapi belum mampu memberikan kedamaian kepada sesama umat Islam. Pemahaman keagamaan yang cukup dangkal dan kaku yang dimiliki oleh sebagian umat Islam memacu mereka untuk tidak menerima dan menolak pemahaman yang cenderung berbeda sehingga menyebabkan mereka bertindak anarkis dan menggunakan kekerasan terhadap sebagian lain. Menurut saya, ini adalah persoalan yang serius. Adapun jalan keluarnya adalah memberikan penjelasan kepada mereka dengan bahasa-bahasa yang lugas dan dapat dipahami sesuai dengan kadar pengetahuan mereka.

Penutup

Di dalam al-Qur’an, terdapat begitu banyak pesan-pesan yang memerintahkan umat Islam untuk menciptakan kedamaian, salah satunya berdakwah dengan hikmah dan kata-kata yang baik ke jalan Tuhan. Seperti yang tercatat dalam QS al-Nahl: 125: “Panggillah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan perkataan yang baik dan berdebatlah dengan mereka dengan sebaik-baiknya. Sesungghnya Tuhanmu maha mengetahui atas siapa yang keluar dari jalan-Nya dan maha mengetahui atas siapa yang mendapatkan hidayah”. Pesan-pesan tersebut tidak hanya sebatas untuk dibaca tapi juga untuk diwujudkan dalam kehidupan umat-umat beragama. Karena pada hakekatnya, kedamaian adalah bagian dari fitrah manusia sekalipun ia tidak beragama.

Muhammad Abduh pernah berkata, Islam itu tertutupi oleh umat Islam, “al-islām-u mahjūb-un bi ‘l-muslimīn”. Kedamaian merupakan salah satu dari ajaran-ajaran inti Islam. Ketika umat Islam tidak mampu menciptakan kedamaian di dunia maka Islam, Agama Kedamaian, tak lebih dari sebuah slogan yang hanya terwujud dalam teori saja tanpa praktek sehari-hari. Wa Allāh-u a‘lam-u bi ‘l-shawāb

*Tulisan ini telah dimuat di Bulletin Jumat al-Shahīfah DKM Universitas Paramadina, Jakarta, 31 Oktober 2008

Wednesday, 29 October 2008

Tauhid dalam Pandangan Nurcholish Madjid

3 comments:

Terus terang saya tidak pernah bertemu langsung dengan Cak Nur (Nurcholish Madjid). Ketika saya mendaftarkan diri menjadi mahasiswa Program Studi Falsafah dan Agama, Universitas Paramadina, pada tahun 2005 Cak Nur dipanggil oleh Allah swt sehingga keinginan untuk menyimak dan mendengarkan kuliah serta ceramah beliau sirna begitu saja. Wafat beliau meninggalkan kesedihan yang begitu dalam bagi rakyat Indonesia karena mereka merasa kehilangan seorang Guru Bangsa yang kaya dengan khazanah keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan.

Pertama kali mengenal Cak Nur adalah ketika saya masih santri di Pondok Pesantren Manahijussadat, Lebak, Banten, banyak orang membicarakan isu-isu yang esensial dengan dirinya seperti liberalisasi, sekularisasi, dan lain sebagainya. Bahkan, ada seorang guru saya yang mengatakan bahwa Cak Nur telah menyimpang dari Islam karena ia berpendapat bahwa al-Qur’an sudah tidak relevan lagi saat ini. Mungkin itu sesuai dengan apa yang dikatakan dalam pepatah, “wa kam min ‘ā’ib-in qawl-an shahih-an wa āfatuh-u min al-fahm-i ‘l-saqīm”, begitu banyak orang yang mencela perkataan yang baik karena kesalahpahaman mereka sendiri. Begitu banyak orang yang mencela pesan-pesan baik Cak Nur karena mereka tidak membaca langsung karya-karyanya dan menyebabkan mereka salah paham.

Dengan membaca langsung karya-karya Cak Nur dengan penuh penghayatan niscaya setiap pembaca akan terpesona dengan keluasan wawasannya. Dengan penuturan bahasa yang begitu sederhana, mudah untuk dimengerti, setiap pembaca mampu menangkap makna yang tersirat. Walaupun, penuturan bahasa di dalam tulisan-tulisannya begitu sederhana tapi memiliki kedalaman makna yang luar biasa.

Bagi saya, yang paling menarik dari pemikiran-pemikiran Cak Nur adalah tawhid (Ketuhanan Yang Maha Esa). Walaupun beliau memiliki begitu banyak wawasan tentang kenegaraan dan kemodernan, tapi tawhid adalah wawasannya yang paling menarik dan membumi yang bisa dipraktekkan dalam keseharian kita. Dalam karya monumentalnya, Islam, Doktrin, dan Peradaban, beliau mengelaborasi dengan komprehensif prinsip-prinsip ketawhidan dalam Islam yang membebaskan dan tidak membelenggu umat Islam kepada kefanatikan golongan tertentu. Dan tawhid adalah inti dari semua ajaran-ajaran agama Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw.

Tauhid Yang Membebaskan

Tauhid adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Ia merupakan inti dari semua ajaran-ajaran Islam. Tauhid (tawhīd) berasal dari kata hid yang berarti satu atau esa. Maka, tauhid berarti mengesakan Tuhan. Di dalam Islam, tauhid adalah tumpuan dalam beriman sehingga dosa yang tidak akan pernah diampuni oleh Tuhan adalah menyekutukan-Nya (al-syirk).

Dalam pandangan Cak Nur, tauhid adalah kemahaesaan Tuhan sekaligus kemutlakan-Nya dan wujud Tuhan adalah wujud kepastian. Wujud Tuhanlah wujud yang mutlak dan semua wujud selain wujud Tuhan adalah wujud yang nisbi. Termasuk manusia itu sendiri, betapa pun tinggi derajatnya atau kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna, memutlakkan nilai manusia terhadap dirinya sendiri maupun orang lain bertentangan dengan tauhid. Berbuat baik dan beribadah kepada Tuhan tidak akan bisa terjalin dengan baik dengan memutlakkan sesama makhluk, termasuk manusia.

Salah satu kelanjutan logis dari prinsip keesaan Tuhan itu ialah persamaan manusia. Yakni, semua manusia dilihat dari derajatnya, harkatnya, dan martabatnya adalah sama. Tak seorang pun dapat merendahkan atau menjatuhkan derajat, harkat, dan martabat sesama manusia, misalnya dengan memaksakan sesuatu yang ia anggap benar kepada orang lain. Karena keesaan Tuhan adalah kemutlakannya. Ketiadaan sesuatu yang memiliki kebenaran mutlak selain diri-Nya meniscayakan kebenaran yang relatif bagi seluruh makhluknya.

Dari prinsip-prinsip tauhid di atas setiap manusia memiliki hak penuh untuk kebebasan pribadinya dan menentukan kebenarannya tanpa ‘intimidasi’ dari manusia lain. Dengan kebebasan pribadinya, manusia berhak menentukan secara sadar dan bertanggung jawab atas pilihannya yang baik dan yang buruk. Tuhan pun sepenuhnya memberikan kebebasan kepada setiap manusia untuk menentukan pilihannya untuk menerima atau menolak petunjuk-Nya, tentunya dengan risiko yang akan ditanggung oleh manusia itu sendiri berdasarkan pilihannya.

Penutup

Dari sekian banyak pemikiran yang telah ditawarkan oleh Cak Nur, bagi saya yang pada awalnya cenderung memahami tauhid secara sempit, tawhid adalah pemikiran beliau yang paling berpengaruh dan seakan-akan relevansinya tak akan pernah surut ditelan oleh masa. Bila kita mengamati seluruh fenomena keagamaan yang terjadi saat ini maupun yang akan datang seperti klaim kesesatan terhadap aliran-aliran tertentu seperti kemunculan nabi-nabi baru dan Jama’ah Ahmadiyah di negara kita adalah sebuah pemaksaan kebenaran yang bertentangan dengan konsep tauhid yang dimaksudkan oleh Cak Nur. Apabila konsep tauhid yang ditawarkan olehnya dapat kita hayati bersama niscaya persoalan tentang klaim kesesatan terhadap kelompok-kelompok tertentu seperti nabi-nabi baru dan Jama’ah Ahmadiyah dapat teratasi dengan mudah tanpa ada pihak-pihak yang dirugikan.