Monday, 16 March 2009

Cinta Tak Hanya Diam

2 comments:
Hadirin salat Jumat Universitas Paramadina yang berbahagia,

Pada kesempatan ini, marilah kita bersama-sama memanjatkan puja dan puji syukur kepada Allah swt yang telah memberikan kita nikmat yang tak terhingga sehingga kita dapat melaksanakan kewajiban usbū‘iyyah, menunaikan salat Jumat di tempat ini.

Selawat dan salam mari kita limpahkan kepada kekasih kita, Muhammad saw, Nabi akhir zaman, dan imam para rasul, yang telah membawa kita dari zaman kegelapan ke zaman keterangan seperti yang kita rasakan sekarang.

Hadirin yang berbahagia,

Tanpa maksud untuk menggurui atau mengajari, saya mengajak para hadirin sekalian untuk bersama-sama meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah swt karena takwa adalah pesan inti dari setiap khotbah Jumat. Takwa yang sebenar-benarnya adalah menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Dan, takwa juga senantiasa merasakan Allah swt hadir bersama kita, dalam setiap aktivitas kita.

Pada kesempatan ini, saya diminta oleh pihak Dewan Keluarga Masjid (DKM) Universitas Paramadina untuk menyampaikan khotbah dengan tema yang berkaitan erat dengan maulid (mawlid) Nabi Muhammad saw dari perspektif yang berbeda. Tema yang berkaitan dengan hal tersebut tentu telah sering dibahas dari tahun ke tahun. Karena itu, khatib mencoba seoptimal mungkin memenuhi permintaan tersebut.

Hadirin yang berbahagia,

Di Indonesia, kita memiliki tradisi peringatan maulid Nabi. Tradisi peringatan maulid Nabi ini bertahan dari masa ke masa karena kecintaan umat Islam yang begitu dalam kepada Rasulullah saw. Bahkan, DKM Universitas Paramadina bekerja sama dengan klub menulis Lentera Badai Himpunan Mahasiswa Falsafah dan Agama (HIMAFA) mengadakan acara peringatan maulid Nabi.

Kita yakin bahwa acara tersebut diadakan karena kecintaan yang begitu dalam kepada Nabi Muhammad saw. Maka, berdasarkan hal tersebut khatib ingin menyampaikan khotbah ini dengan tema “Cinta Tak Hanya Diam”.

Terus terang saja, tema yang disampaikan dalam khotbah ini terinspirasi dari sebuah lagu Padi yang berjudul “Tak Hanya Diam” dan lagu tersebut menjadi lagu tema film Nagabonar Jadi 2Cinta di sini bukanlah cinta yang biasa kita ucapkan sehari-hari. Cinta di sini adalah cinta yang bersifat transendental. Cinta yang akan selalu ada walaupun pengamalnya telah tiada dan cinta yang akan selalu ada walaupun bumi ini telah tiada. Seperti yang tertulis dalam lagu “Tak Hanya Diam”:
Jika mungkin bumi harus terguncang badai
Tapi cinta tak akan mungkin hilang
Cinta bukan hanya sekadar kata
Cinta bukan hanya pertautan hati
Cinta bukan hasrat luapan jiwa
Cinta adalah cinta
Cinta tak hanya diam
Kecintaan kita kepada Nabi Besar Muhammad saw merupakan bukti kecintaan kita kepada Allah swt. Sebagaimana yang tertulis dalam Qs. 03: 31:
Katakanlah, jika kalian mencintai Allah maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni segala dosa-dosa kalian. Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang.
Kecintaan kita kepada Nabi tak hanya sekadar kata dan tak hanya diam. Cinta membutuhkan ketulusan dan pengorbanan. Setidaknya, ketulusan dan pengorbanan cinta kita kepada Nabi adalah meneladan keempat sifat yang telah dicontohkan dalam hidupnya yakni al-shidq (kejujuran), al-amānah (amanah), al-fathānah (kecerdasan), dan al-tablīgh (menyampaikan). Keempat sifat tersebut seoptimal mungkin harus dapat kita praktikkan dalam kehidupan sehari-hari dan keempat sifat tersebut integral/terhubung satu sama lain.

Dari sifat yang pertama, kejujuran (al-shidq). Kita dapat menyimpulkan bahwa kejujuran adalah segala-galanya dalam hidup dan kejujuran tidak bisa dihitung dengan harga. Dengan kejujuran kita menjadi orang-orang yang dipercaya (al-amānah) sehingga kita menjadi tahu yang baik dan buruk (al-fathānah). Setelah kita menjadi tahu yang baik dan buruk maka kita harus menyampaikan (al-tablīgh).

Demikianlah khotbah singkat yang dapat disampaikan. Semoga saja peringatan maulid Nabi yang sudah menjadi tradisi dari masa ke masa tidak hanya sekadar seremoni belaka. Tapi, tradisi peringatan maulid Nabi tersebut merupakan bukti kecintaan kita yang begitu dalam kepada Rasulullah saw dan kita dapat meneladannya sepanjang masa. Sebab, cinta bukan hanya sekadar kata dan cinta tak hanya diam.


Catatan: Ini adalah teks khotbah Jumat di Universitas Paramadina pada 06 Maret 2009.

Tuesday, 30 December 2008

Apakah kita inferior?

2 comments:

Saat ini berbagai permasalahan mendera bangsa Indonesia. Mulai dari hal terkecil seperti kemacetan di Jakarta sampai hal terbesar seperti korupsi yang menjangkiti sebagian besar instansi-instansi pemerintah dan lain sebagainya. Begitu rumitnya permasalahan-permasalahan bangsa kita ini sehingga kita cenderung pesimis daripada optimis.

Padahal, Rektor Univ. Paramadina, Anies R. Baswedan, telah mendorong kita untuk tetap optimis dalam mengatasi berbagai permasalahan bangsa melalui tulisannya di harian umum Kompas (27/10/08) yang berjudul, Bentangkan Optimisme Bangsa.

Sebagai sebuah bangsa yang memiliki semangat modernitas yang tinggi-yang memiliki subyektifisme, kritisisme, dan ide kemajuan-optimisme bangsa haruslah ditanam dalam hati kita masing-masing. Berbagai permasalahan bangsa harus dihadapi dengan penuh ketulusan dan optimisme agar kita mampu mewujudkan cita-cita bersama.

Salah satu masalah yang menurut saya begitu penting adalah mentalitas bangsa Indonesia yang inferior. Kita kadang-kadang terlampau merasa bahwa kita adalah bangsa yang lemah yang tidak mampu bersaing dengan yang lain, padahal secara fisik maupun non fisik kita tidak kalah kualitasnya. Misalnya dalam bidang olahraga, sejarah terbuktikan bahwa bangsa Indonesia, pada hakekatnya, mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia khususnya dalam cabang bulutangkis. Dalam cabang tersebut, para pebulutangkis Indonesia mampu mengalahkan para pebulutangkis yang berasal dari negara-negara lain. Tapi dalam cabang sepakbola-bidang olahraga yang paling disoroti oleh dunia saat ini-timnas Indonesia sampai saat ini belum meraih prestasi yang memuaskan. Ada apa gerangan? Dan, mengapa demikian?

Baru-baru ini, saya dihibur oleh sebuah kompetisi sepakbola yang diadakan secara rutin oleh sebagian dari negara-negara Asia yakni Piala AFF Suzuki (yang dulu bernama Piala Tiger). Bagi saya, kompetisi sepakbola ini teramat menarik untuk ditonton. Memang, bila dibandingkan dengan Liga Champion Piala AFF Suzuki tidak terlalu menarik. Tapi, di samping kita menikmati tontonan Liga Champion alangkah lebih baik apabila kita menikmati juga tontonan Piala AFF Suzuki khususnya ketika timnas Indonesia bermain, terlepas gaya bermain mereka baik atau buruk.

Pada kompetisi Piala AFF Suzuki tahun ini, Indonesia mampu bersaing dengan yang lain. Tapi, di semifinal (putaran 1, 16 Desember 2008; putaran 2, 20 desember 2008) timnas Indonesia terpaksa menyelesaikan misi mereka tanpa membawa pulang prestasi yang dicita-citakan karena mereka harus menerima dengan lapang kekalahan dari Thailand. Kekalahan tersebut adalah kekalahan dramatis. Permainan Budi Sudarsono dan kawan-kawan di lapangan memang terlihat kurang optimal padahal dari segi skill dan kualitas bermain mereka tidak kalah bagusnya. Dan, saya yakin bahwa kurang optimalnya permainan Budi Sudarsono dan kawan-kawan bukan karena mereka tidak bekerja keras.

Lantas, apa yang menyebabkan timnas Indonesia kalah bermain dari Thailand? Faktornya adalah inferioritas. Mentalitas inferior menyebabkan kita terpuruk dari bangsa-bangsa lain. Tak ubahnya, Budi dan kawan-kawan yang dikelilingi oleh orang-orang yang bermental inferior di luar lapangan menyebabkan mereka bermain kurang optimal ketika melawan Thailand. Sebenarnya, kualitas bermain timnas kita memadai untuk bersaing dengan yang lain. Sepatutnya, pelatih timnas kita mampu untuk menumbuhkan kepercayaan diri para pemain agar mereka dapat bermain dengan optimal. Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa kita bermental inferior adalah ketika timnas Indonesia menghadapi Singapura dalam memperebutkan gelar juara grup. Indonesia harus menang tapi tuntutan tersebut tidak didasarkan pada supportifitas melainkan didasarkan pada ketakutan menghadapai Thailand di semifinal. Menurut saya ini adalah masalah yang sangat serius.

Oleh karena itu, saatnya kita merubah mentalitas kita yang inferior agar kita mampu keluar dari keterpurukan yang melanda bangsa kita. Dengan membangun kepercayaan diri yang kuat dan spirit yang tinggi kita mampu untuk maju bersama dan bersaing secara sehat dengan yang lain dalam hal apapun.

#Tulisan ini telah didiskusikan dalam klub menulis Lentera Badai HIMAFA Univ. Paramadina. Jakarta, 27 Desember 2008

Monday, 1 December 2008

Kepahlawanan dalam Islam: Konteks Keindonesiaan

No comments:
Hadirin salat Jumat yang berbahagia,

Pada kesempatan kali ini, marilah kita memanjatkan puja dan puji syukur kita kepada Allah swt. Berkat nikmat dan rahmat-Nya berupa iman dan Islam kita mampu melaksanakan kewajiban pekan yakni menunaikan salat Jumat bersama-sama di tempat yang mulia ini.

Selawat serta salam mari kita limpahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad saw, nabi akhir zaman, imam para rasul, yang telah membawa kita dari zaman kegelapan ke zaman modern.

Hadirin yang berbahagia,

Pesan inti dari khotbah Jumat adalah pesan takwa (taqwâ) karena takwa adalah sesuatu yang harus dioptimalkan secara terus menerus tanpa titik final oleh orang-orang yang beriman kepada Allah swt. Takwa kepada-Nya yang sebenar-benarnya adalah menjalankan segala perintah-perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-larangan-Nya di mana pun kita berada. Nabi berpesan, Ittaq-i ‘l-Lâh-a haytsu-mâ kunt-a.

Pada khotbah ini, khatib telah diminta oleh pihak Dewan Keluarga Masjid (DKM) Universitas Paramadina untuk menyampaikan tema kepahlawanan dalam Islam, khususnya dalam konteks keindonesiaan. Ini merupakan sebuah tema yang menarik untuk dikaji, mengingat sebagian bangsa kita cenderung mereduksi dan mempersempit makna pahlawan.

Kata pahlawandalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang yang berjuang dengan gagah berani dalam membela kebenaran. Dengan merujuk kata pahlawanyang tercatat dalam KBBI, menjadi pahlawan adalah hal yang memungkinkan bagi setiap orang, bahkan tukang sapu di jalan pun adalah seorang pahlawan.

Dalam konteks kenegaraan/kebangsaan, seorang pahlawan yang beriman kepada Allah swt yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini di dalam Alquran adalah orang-orang yang berjuang di jalan Allah. Seperti yang tercatat dalam Qs. al-Baqarah: 154:
Dan janganlah kalian sekali-kali mengatakan bahwa orang-orang yang berjuang (terbunuh) di jalan Allah itu mati melainkan mereka hidup tetapi kita tidak merasakan.
Sesungguhnya para pahlawan yang telah memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini, yang kita tahu maupun yang tidak kita tahu, mereka hidup, hidup di hati kita.

Hadirin yang berbahagia,


Lantas, apa pelajaran yang dapat kita petik dari para pahlawan bangsa kita? Di sini, khatib ingin menyampaikan sebuah cerita. Alkisah, seorang raja Persia yang bernama Kisra Anu Syirwan melakukan observasi ke rumah-rumah para penduduk kerajaannya. Ketika ia tiba di satu rumah, di sana ia menemukan seorang kakek yang menanam pohon di halaman rumah tersebut.


Sang raja tertawa dan bertanya, Wahai kakek, kenapa kau menanam sebuah pohon yang akan berbuah 10-20 tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun ke depan, sedangkan kau mungkin tahun depan sudah mati dan kau tidak dapat menikmati buah-buahan dari pohon yang telah kau tanam?


Dengan penuh senyum dan optimisme sang kakek menjawab, Wahai raja, laqad gharas-a man qabla-nâ fa akal-nâ wa naghris-u nahn-u li-ya’kul-a man ba‘da-nâ.” Orang-orang sebelum kita telah menanam pohon dan buah-buahan dari pohon tersebut kita nikmati sekarang maka kita menanam kembali pohon yang buah-buahannya akan dinikmati oleh orang-orang setelah kita.


Dari cerita di atas kita dapat memetik sebuah pelajaran bahwa kemerdekaan ibarat sebuah pohon yang telah ditanam oleh para pahlawan bangsa ini kendatipun mereka tidak pernah menikmatinya melainkan kenikmatan tersebut kita rasakan sekarang.


Oleh karena itu, hadirin salat Jumat Universitas Paramadina, khususnya para mahasiswa, mulai saat ini marilah kita bersama-sama berbuat untuk orang lain, orang-orang setelah kita. Marilah kita bersama-sama menanam pohon untuk mereka agar mereka dapat menikmati buah-buahan dari tanaman kita, hasil dari perbuatan kita, karena apa yang kita nikmati saat ini adalah hasil-hasil dari tanaman orang-orang sebelum kita.


Mudah-mudahan khotbah sederhana ini bermanfaat bagi kita semua untuk meningkatkan ketakwaan kita kepada allah swt.


Catatan: Ini adalah teks khotbah Jumat di Universitas Paramadina pada 21 November 2008

Saturday, 1 November 2008

Islam Agama Kedamaian

5 comments:

Kedamaian merupakan salah satu pesan inti dari misi profetik Nabi besar Muhammad saw. Kedamaian merupakan cita-cita agung yang selalu diperjuangkan oleh semua manusia di muka bumi. Bayangkanlah, bila dunia tanpa kedamaian niscaya semua manusia serta segala sesuatu yang hidup di alam ini akan mengalami kepunahan dan kehilangan peradaban yang telah mereka bangun sendiri. Kedamaian menciptakan ketentraman. Ketentraman meniscayakan kenyamanan dan ketenangan yang pada akhirnya terciptakan keajaiban di hati untuk meraih kebahagiaan hidup.

Islam adalah agama kedamaian. Dalam sejarah kemunculannya, tepatnya ketika Nabi Besar Muhammad saw menyampaikan ajaran-ajarannya kepada umat manusia, tidak ada paksaan bagi mereka untuk memeluk agama Islam (QS 2: 256). Bahkan, umat Islam mampu hidup berdampingan dengan umat lain/non Islam dengan harmonis dan saling menghargai satu sama lain. Adapun konflik dan peperangan yang telah terjadi pada masanya dikarenakan umat Islam ketika itu selalu dipojokkan dan ditindas oleh sebagian umat lain. Situasi itulah yang memaksa mereka untuk melakukan pembelaan terhadap diri sendiri sehingga terjadilah pertempuran yang sebenarnya tidak pernah diinginkan oleh siapapun, di manapun, dan kapanpun. Dengan demikian, merupakan sebuah kesimpulan yang keliru bahwa Islam adalah agama yang disebarkan melalui pedang dan kekerasan.

Teramat menarik, jika kita mengkaji kembali dengan seksama pesan-pesan kedamaian di dalam Islam dengan menelaah kembali kata islām itu sendiri. Di dalam kamus Hans Wehr (A Dictionary of Modern Written Arabic, Third Printing, London: George Allen and Unwin LTD, 1971), kata islām merupakan derivasi dari kata salim-ayaslam-u yang berarti to be safe and sound, unharmed, unimpaired, intact, safe, secure, dan lain sebagainya yang secara sederhana dalam bahasa Indonesia berarti selamat dan damai. Dalam struktur kata bahasa Arab, kata salim-a yaslam-u berkembang menjadi aslam-a yuslim-u yang akhirnya menjadi islām yang tidak hanya berarti selamat dan damai melainkan juga memberikan keselamatan dan menciptakan kedamaian. Maka muslim adalah orang yang memberikan keselamatan dan kedamaian. Namun pada hakekatnya, jika dikaji lebih dalam kata islām juga berarti berserah diri (Nurcholish Madjid, 1992: 2)

Islam, Agama Kedamaian

Dewasa ini, saya kira tidak terlalu berlebihan apabila kita berkeyakian bahwa Islam adalah agama yang penuh kedamaian walaupun pada kenyataanya masih ada sebagian umat Islam yang menggunakan kekerasan sebagai cara untuk mengajak sebagian yang lain kepada keyakinan yang benar menurut mereka sendiri. Suka atau tidak suka, sepakat atau tidak sepakat, itulah yang terjadi.

Mengkaji ulang kembali nilai-nilai keislaman secara keseluruhan, baik di dalam al-Qur’an maupun Sunnah Nabi, akan membantu kita untuk meyakini bahwa Islam adalah agama yang penuh kedamaian, atau paling tidak menumbuhkan kembali kedamaian di dalam maupun luar umat Islam. Nabi Muhammad saw selalu mengajarkan kita untuk hidup di atas landasan etik yang mana satu dengan yang lain saling menghormati dan saling membantu tanpa pandang bulu. Bahkan, banyak dari hadis-hadis nabi yang memerintahkan kita untuk memberikan kedamaian kepada orang lain, salah satunya adalah menghormati tetangga, karena penghormatan kita sebagai umat Islam terhadap umat lain merupakan sebuah kedamaian bagi mereka.

Mencermati fenomena saat ini, umat Islam di Indonesia secara umum sudah mampu memberikan kedamaian kepada umat-umat lain tetapi belum mampu memberikan kedamaian kepada sesama umat Islam. Pemahaman keagamaan yang cukup dangkal dan kaku yang dimiliki oleh sebagian umat Islam memacu mereka untuk tidak menerima dan menolak pemahaman yang cenderung berbeda sehingga menyebabkan mereka bertindak anarkis dan menggunakan kekerasan terhadap sebagian lain. Menurut saya, ini adalah persoalan yang serius. Adapun jalan keluarnya adalah memberikan penjelasan kepada mereka dengan bahasa-bahasa yang lugas dan dapat dipahami sesuai dengan kadar pengetahuan mereka.

Penutup

Di dalam al-Qur’an, terdapat begitu banyak pesan-pesan yang memerintahkan umat Islam untuk menciptakan kedamaian, salah satunya berdakwah dengan hikmah dan kata-kata yang baik ke jalan Tuhan. Seperti yang tercatat dalam QS al-Nahl: 125: “Panggillah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan perkataan yang baik dan berdebatlah dengan mereka dengan sebaik-baiknya. Sesungghnya Tuhanmu maha mengetahui atas siapa yang keluar dari jalan-Nya dan maha mengetahui atas siapa yang mendapatkan hidayah”. Pesan-pesan tersebut tidak hanya sebatas untuk dibaca tapi juga untuk diwujudkan dalam kehidupan umat-umat beragama. Karena pada hakekatnya, kedamaian adalah bagian dari fitrah manusia sekalipun ia tidak beragama.

Muhammad Abduh pernah berkata, Islam itu tertutupi oleh umat Islam, “al-islām-u mahjūb-un bi ‘l-muslimīn”. Kedamaian merupakan salah satu dari ajaran-ajaran inti Islam. Ketika umat Islam tidak mampu menciptakan kedamaian di dunia maka Islam, Agama Kedamaian, tak lebih dari sebuah slogan yang hanya terwujud dalam teori saja tanpa praktek sehari-hari. Wa Allāh-u a‘lam-u bi ‘l-shawāb

*Tulisan ini telah dimuat di Bulletin Jumat al-Shahīfah DKM Universitas Paramadina, Jakarta, 31 Oktober 2008