Tuesday, 30 December 2008

Apakah kita inferior?

2 comments:

Saat ini berbagai permasalahan mendera bangsa Indonesia. Mulai dari hal terkecil seperti kemacetan di Jakarta sampai hal terbesar seperti korupsi yang menjangkiti sebagian besar instansi-instansi pemerintah dan lain sebagainya. Begitu rumitnya permasalahan-permasalahan bangsa kita ini sehingga kita cenderung pesimis daripada optimis.

Padahal, Rektor Univ. Paramadina, Anies R. Baswedan, telah mendorong kita untuk tetap optimis dalam mengatasi berbagai permasalahan bangsa melalui tulisannya di harian umum Kompas (27/10/08) yang berjudul, Bentangkan Optimisme Bangsa.

Sebagai sebuah bangsa yang memiliki semangat modernitas yang tinggi-yang memiliki subyektifisme, kritisisme, dan ide kemajuan-optimisme bangsa haruslah ditanam dalam hati kita masing-masing. Berbagai permasalahan bangsa harus dihadapi dengan penuh ketulusan dan optimisme agar kita mampu mewujudkan cita-cita bersama.

Salah satu masalah yang menurut saya begitu penting adalah mentalitas bangsa Indonesia yang inferior. Kita kadang-kadang terlampau merasa bahwa kita adalah bangsa yang lemah yang tidak mampu bersaing dengan yang lain, padahal secara fisik maupun non fisik kita tidak kalah kualitasnya. Misalnya dalam bidang olahraga, sejarah terbuktikan bahwa bangsa Indonesia, pada hakekatnya, mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia khususnya dalam cabang bulutangkis. Dalam cabang tersebut, para pebulutangkis Indonesia mampu mengalahkan para pebulutangkis yang berasal dari negara-negara lain. Tapi dalam cabang sepakbola-bidang olahraga yang paling disoroti oleh dunia saat ini-timnas Indonesia sampai saat ini belum meraih prestasi yang memuaskan. Ada apa gerangan? Dan, mengapa demikian?

Baru-baru ini, saya dihibur oleh sebuah kompetisi sepakbola yang diadakan secara rutin oleh sebagian dari negara-negara Asia yakni Piala AFF Suzuki (yang dulu bernama Piala Tiger). Bagi saya, kompetisi sepakbola ini teramat menarik untuk ditonton. Memang, bila dibandingkan dengan Liga Champion Piala AFF Suzuki tidak terlalu menarik. Tapi, di samping kita menikmati tontonan Liga Champion alangkah lebih baik apabila kita menikmati juga tontonan Piala AFF Suzuki khususnya ketika timnas Indonesia bermain, terlepas gaya bermain mereka baik atau buruk.

Pada kompetisi Piala AFF Suzuki tahun ini, Indonesia mampu bersaing dengan yang lain. Tapi, di semifinal (putaran 1, 16 Desember 2008; putaran 2, 20 desember 2008) timnas Indonesia terpaksa menyelesaikan misi mereka tanpa membawa pulang prestasi yang dicita-citakan karena mereka harus menerima dengan lapang kekalahan dari Thailand. Kekalahan tersebut adalah kekalahan dramatis. Permainan Budi Sudarsono dan kawan-kawan di lapangan memang terlihat kurang optimal padahal dari segi skill dan kualitas bermain mereka tidak kalah bagusnya. Dan, saya yakin bahwa kurang optimalnya permainan Budi Sudarsono dan kawan-kawan bukan karena mereka tidak bekerja keras.

Lantas, apa yang menyebabkan timnas Indonesia kalah bermain dari Thailand? Faktornya adalah inferioritas. Mentalitas inferior menyebabkan kita terpuruk dari bangsa-bangsa lain. Tak ubahnya, Budi dan kawan-kawan yang dikelilingi oleh orang-orang yang bermental inferior di luar lapangan menyebabkan mereka bermain kurang optimal ketika melawan Thailand. Sebenarnya, kualitas bermain timnas kita memadai untuk bersaing dengan yang lain. Sepatutnya, pelatih timnas kita mampu untuk menumbuhkan kepercayaan diri para pemain agar mereka dapat bermain dengan optimal. Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa kita bermental inferior adalah ketika timnas Indonesia menghadapi Singapura dalam memperebutkan gelar juara grup. Indonesia harus menang tapi tuntutan tersebut tidak didasarkan pada supportifitas melainkan didasarkan pada ketakutan menghadapai Thailand di semifinal. Menurut saya ini adalah masalah yang sangat serius.

Oleh karena itu, saatnya kita merubah mentalitas kita yang inferior agar kita mampu keluar dari keterpurukan yang melanda bangsa kita. Dengan membangun kepercayaan diri yang kuat dan spirit yang tinggi kita mampu untuk maju bersama dan bersaing secara sehat dengan yang lain dalam hal apapun.

#Tulisan ini telah didiskusikan dalam klub menulis Lentera Badai HIMAFA Univ. Paramadina. Jakarta, 27 Desember 2008

Monday, 1 December 2008

Kepahlawanan dalam Islam: Konteks Keindonesiaan

No comments:
Hadirin salat Jumat yang berbahagia,

Pada kesempatan kali ini, marilah kita memanjatkan puja dan puji syukur kita kepada Allah swt. Berkat nikmat dan rahmat-Nya berupa iman dan Islam kita mampu melaksanakan kewajiban pekan yakni menunaikan salat Jumat bersama-sama di tempat yang mulia ini.

Selawat serta salam mari kita limpahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad saw, nabi akhir zaman, imam para rasul, yang telah membawa kita dari zaman kegelapan ke zaman modern.

Hadirin yang berbahagia,

Pesan inti dari khotbah Jumat adalah pesan takwa (taqwâ) karena takwa adalah sesuatu yang harus dioptimalkan secara terus menerus tanpa titik final oleh orang-orang yang beriman kepada Allah swt. Takwa kepada-Nya yang sebenar-benarnya adalah menjalankan segala perintah-perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-larangan-Nya di mana pun kita berada. Nabi berpesan, Ittaq-i ‘l-Lâh-a haytsu-mâ kunt-a.

Pada khotbah ini, khatib telah diminta oleh pihak Dewan Keluarga Masjid (DKM) Universitas Paramadina untuk menyampaikan tema kepahlawanan dalam Islam, khususnya dalam konteks keindonesiaan. Ini merupakan sebuah tema yang menarik untuk dikaji, mengingat sebagian bangsa kita cenderung mereduksi dan mempersempit makna pahlawan.

Kata pahlawandalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang yang berjuang dengan gagah berani dalam membela kebenaran. Dengan merujuk kata pahlawanyang tercatat dalam KBBI, menjadi pahlawan adalah hal yang memungkinkan bagi setiap orang, bahkan tukang sapu di jalan pun adalah seorang pahlawan.

Dalam konteks kenegaraan/kebangsaan, seorang pahlawan yang beriman kepada Allah swt yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini di dalam Alquran adalah orang-orang yang berjuang di jalan Allah. Seperti yang tercatat dalam Qs. al-Baqarah: 154:
Dan janganlah kalian sekali-kali mengatakan bahwa orang-orang yang berjuang (terbunuh) di jalan Allah itu mati melainkan mereka hidup tetapi kita tidak merasakan.
Sesungguhnya para pahlawan yang telah memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini, yang kita tahu maupun yang tidak kita tahu, mereka hidup, hidup di hati kita.

Hadirin yang berbahagia,


Lantas, apa pelajaran yang dapat kita petik dari para pahlawan bangsa kita? Di sini, khatib ingin menyampaikan sebuah cerita. Alkisah, seorang raja Persia yang bernama Kisra Anu Syirwan melakukan observasi ke rumah-rumah para penduduk kerajaannya. Ketika ia tiba di satu rumah, di sana ia menemukan seorang kakek yang menanam pohon di halaman rumah tersebut.


Sang raja tertawa dan bertanya, Wahai kakek, kenapa kau menanam sebuah pohon yang akan berbuah 10-20 tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun ke depan, sedangkan kau mungkin tahun depan sudah mati dan kau tidak dapat menikmati buah-buahan dari pohon yang telah kau tanam?


Dengan penuh senyum dan optimisme sang kakek menjawab, Wahai raja, laqad gharas-a man qabla-nâ fa akal-nâ wa naghris-u nahn-u li-ya’kul-a man ba‘da-nâ.” Orang-orang sebelum kita telah menanam pohon dan buah-buahan dari pohon tersebut kita nikmati sekarang maka kita menanam kembali pohon yang buah-buahannya akan dinikmati oleh orang-orang setelah kita.


Dari cerita di atas kita dapat memetik sebuah pelajaran bahwa kemerdekaan ibarat sebuah pohon yang telah ditanam oleh para pahlawan bangsa ini kendatipun mereka tidak pernah menikmatinya melainkan kenikmatan tersebut kita rasakan sekarang.


Oleh karena itu, hadirin salat Jumat Universitas Paramadina, khususnya para mahasiswa, mulai saat ini marilah kita bersama-sama berbuat untuk orang lain, orang-orang setelah kita. Marilah kita bersama-sama menanam pohon untuk mereka agar mereka dapat menikmati buah-buahan dari tanaman kita, hasil dari perbuatan kita, karena apa yang kita nikmati saat ini adalah hasil-hasil dari tanaman orang-orang sebelum kita.


Mudah-mudahan khotbah sederhana ini bermanfaat bagi kita semua untuk meningkatkan ketakwaan kita kepada allah swt.


Catatan: Ini adalah teks khotbah Jumat di Universitas Paramadina pada 21 November 2008

Saturday, 1 November 2008

Islam Agama Kedamaian

5 comments:

Kedamaian merupakan salah satu pesan inti dari misi profetik Nabi besar Muhammad saw. Kedamaian merupakan cita-cita agung yang selalu diperjuangkan oleh semua manusia di muka bumi. Bayangkanlah, bila dunia tanpa kedamaian niscaya semua manusia serta segala sesuatu yang hidup di alam ini akan mengalami kepunahan dan kehilangan peradaban yang telah mereka bangun sendiri. Kedamaian menciptakan ketentraman. Ketentraman meniscayakan kenyamanan dan ketenangan yang pada akhirnya terciptakan keajaiban di hati untuk meraih kebahagiaan hidup.

Islam adalah agama kedamaian. Dalam sejarah kemunculannya, tepatnya ketika Nabi Besar Muhammad saw menyampaikan ajaran-ajarannya kepada umat manusia, tidak ada paksaan bagi mereka untuk memeluk agama Islam (QS 2: 256). Bahkan, umat Islam mampu hidup berdampingan dengan umat lain/non Islam dengan harmonis dan saling menghargai satu sama lain. Adapun konflik dan peperangan yang telah terjadi pada masanya dikarenakan umat Islam ketika itu selalu dipojokkan dan ditindas oleh sebagian umat lain. Situasi itulah yang memaksa mereka untuk melakukan pembelaan terhadap diri sendiri sehingga terjadilah pertempuran yang sebenarnya tidak pernah diinginkan oleh siapapun, di manapun, dan kapanpun. Dengan demikian, merupakan sebuah kesimpulan yang keliru bahwa Islam adalah agama yang disebarkan melalui pedang dan kekerasan.

Teramat menarik, jika kita mengkaji kembali dengan seksama pesan-pesan kedamaian di dalam Islam dengan menelaah kembali kata islām itu sendiri. Di dalam kamus Hans Wehr (A Dictionary of Modern Written Arabic, Third Printing, London: George Allen and Unwin LTD, 1971), kata islām merupakan derivasi dari kata salim-ayaslam-u yang berarti to be safe and sound, unharmed, unimpaired, intact, safe, secure, dan lain sebagainya yang secara sederhana dalam bahasa Indonesia berarti selamat dan damai. Dalam struktur kata bahasa Arab, kata salim-a yaslam-u berkembang menjadi aslam-a yuslim-u yang akhirnya menjadi islām yang tidak hanya berarti selamat dan damai melainkan juga memberikan keselamatan dan menciptakan kedamaian. Maka muslim adalah orang yang memberikan keselamatan dan kedamaian. Namun pada hakekatnya, jika dikaji lebih dalam kata islām juga berarti berserah diri (Nurcholish Madjid, 1992: 2)

Islam, Agama Kedamaian

Dewasa ini, saya kira tidak terlalu berlebihan apabila kita berkeyakian bahwa Islam adalah agama yang penuh kedamaian walaupun pada kenyataanya masih ada sebagian umat Islam yang menggunakan kekerasan sebagai cara untuk mengajak sebagian yang lain kepada keyakinan yang benar menurut mereka sendiri. Suka atau tidak suka, sepakat atau tidak sepakat, itulah yang terjadi.

Mengkaji ulang kembali nilai-nilai keislaman secara keseluruhan, baik di dalam al-Qur’an maupun Sunnah Nabi, akan membantu kita untuk meyakini bahwa Islam adalah agama yang penuh kedamaian, atau paling tidak menumbuhkan kembali kedamaian di dalam maupun luar umat Islam. Nabi Muhammad saw selalu mengajarkan kita untuk hidup di atas landasan etik yang mana satu dengan yang lain saling menghormati dan saling membantu tanpa pandang bulu. Bahkan, banyak dari hadis-hadis nabi yang memerintahkan kita untuk memberikan kedamaian kepada orang lain, salah satunya adalah menghormati tetangga, karena penghormatan kita sebagai umat Islam terhadap umat lain merupakan sebuah kedamaian bagi mereka.

Mencermati fenomena saat ini, umat Islam di Indonesia secara umum sudah mampu memberikan kedamaian kepada umat-umat lain tetapi belum mampu memberikan kedamaian kepada sesama umat Islam. Pemahaman keagamaan yang cukup dangkal dan kaku yang dimiliki oleh sebagian umat Islam memacu mereka untuk tidak menerima dan menolak pemahaman yang cenderung berbeda sehingga menyebabkan mereka bertindak anarkis dan menggunakan kekerasan terhadap sebagian lain. Menurut saya, ini adalah persoalan yang serius. Adapun jalan keluarnya adalah memberikan penjelasan kepada mereka dengan bahasa-bahasa yang lugas dan dapat dipahami sesuai dengan kadar pengetahuan mereka.

Penutup

Di dalam al-Qur’an, terdapat begitu banyak pesan-pesan yang memerintahkan umat Islam untuk menciptakan kedamaian, salah satunya berdakwah dengan hikmah dan kata-kata yang baik ke jalan Tuhan. Seperti yang tercatat dalam QS al-Nahl: 125: “Panggillah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan perkataan yang baik dan berdebatlah dengan mereka dengan sebaik-baiknya. Sesungghnya Tuhanmu maha mengetahui atas siapa yang keluar dari jalan-Nya dan maha mengetahui atas siapa yang mendapatkan hidayah”. Pesan-pesan tersebut tidak hanya sebatas untuk dibaca tapi juga untuk diwujudkan dalam kehidupan umat-umat beragama. Karena pada hakekatnya, kedamaian adalah bagian dari fitrah manusia sekalipun ia tidak beragama.

Muhammad Abduh pernah berkata, Islam itu tertutupi oleh umat Islam, “al-islām-u mahjūb-un bi ‘l-muslimīn”. Kedamaian merupakan salah satu dari ajaran-ajaran inti Islam. Ketika umat Islam tidak mampu menciptakan kedamaian di dunia maka Islam, Agama Kedamaian, tak lebih dari sebuah slogan yang hanya terwujud dalam teori saja tanpa praktek sehari-hari. Wa Allāh-u a‘lam-u bi ‘l-shawāb

*Tulisan ini telah dimuat di Bulletin Jumat al-Shahīfah DKM Universitas Paramadina, Jakarta, 31 Oktober 2008

Wednesday, 29 October 2008

Tauhid dalam Pandangan Nurcholish Madjid

3 comments:

Terus terang saya tidak pernah bertemu langsung dengan Cak Nur (Nurcholish Madjid). Ketika saya mendaftarkan diri menjadi mahasiswa Program Studi Falsafah dan Agama, Universitas Paramadina, pada tahun 2005 Cak Nur dipanggil oleh Allah swt sehingga keinginan untuk menyimak dan mendengarkan kuliah serta ceramah beliau sirna begitu saja. Wafat beliau meninggalkan kesedihan yang begitu dalam bagi rakyat Indonesia karena mereka merasa kehilangan seorang Guru Bangsa yang kaya dengan khazanah keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan.

Pertama kali mengenal Cak Nur adalah ketika saya masih santri di Pondok Pesantren Manahijussadat, Lebak, Banten, banyak orang membicarakan isu-isu yang esensial dengan dirinya seperti liberalisasi, sekularisasi, dan lain sebagainya. Bahkan, ada seorang guru saya yang mengatakan bahwa Cak Nur telah menyimpang dari Islam karena ia berpendapat bahwa al-Qur’an sudah tidak relevan lagi saat ini. Mungkin itu sesuai dengan apa yang dikatakan dalam pepatah, “wa kam min ‘ā’ib-in qawl-an shahih-an wa āfatuh-u min al-fahm-i ‘l-saqīm”, begitu banyak orang yang mencela perkataan yang baik karena kesalahpahaman mereka sendiri. Begitu banyak orang yang mencela pesan-pesan baik Cak Nur karena mereka tidak membaca langsung karya-karyanya dan menyebabkan mereka salah paham.

Dengan membaca langsung karya-karya Cak Nur dengan penuh penghayatan niscaya setiap pembaca akan terpesona dengan keluasan wawasannya. Dengan penuturan bahasa yang begitu sederhana, mudah untuk dimengerti, setiap pembaca mampu menangkap makna yang tersirat. Walaupun, penuturan bahasa di dalam tulisan-tulisannya begitu sederhana tapi memiliki kedalaman makna yang luar biasa.

Bagi saya, yang paling menarik dari pemikiran-pemikiran Cak Nur adalah tawhid (Ketuhanan Yang Maha Esa). Walaupun beliau memiliki begitu banyak wawasan tentang kenegaraan dan kemodernan, tapi tawhid adalah wawasannya yang paling menarik dan membumi yang bisa dipraktekkan dalam keseharian kita. Dalam karya monumentalnya, Islam, Doktrin, dan Peradaban, beliau mengelaborasi dengan komprehensif prinsip-prinsip ketawhidan dalam Islam yang membebaskan dan tidak membelenggu umat Islam kepada kefanatikan golongan tertentu. Dan tawhid adalah inti dari semua ajaran-ajaran agama Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw.

Tauhid Yang Membebaskan

Tauhid adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Ia merupakan inti dari semua ajaran-ajaran Islam. Tauhid (tawhīd) berasal dari kata hid yang berarti satu atau esa. Maka, tauhid berarti mengesakan Tuhan. Di dalam Islam, tauhid adalah tumpuan dalam beriman sehingga dosa yang tidak akan pernah diampuni oleh Tuhan adalah menyekutukan-Nya (al-syirk).

Dalam pandangan Cak Nur, tauhid adalah kemahaesaan Tuhan sekaligus kemutlakan-Nya dan wujud Tuhan adalah wujud kepastian. Wujud Tuhanlah wujud yang mutlak dan semua wujud selain wujud Tuhan adalah wujud yang nisbi. Termasuk manusia itu sendiri, betapa pun tinggi derajatnya atau kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna, memutlakkan nilai manusia terhadap dirinya sendiri maupun orang lain bertentangan dengan tauhid. Berbuat baik dan beribadah kepada Tuhan tidak akan bisa terjalin dengan baik dengan memutlakkan sesama makhluk, termasuk manusia.

Salah satu kelanjutan logis dari prinsip keesaan Tuhan itu ialah persamaan manusia. Yakni, semua manusia dilihat dari derajatnya, harkatnya, dan martabatnya adalah sama. Tak seorang pun dapat merendahkan atau menjatuhkan derajat, harkat, dan martabat sesama manusia, misalnya dengan memaksakan sesuatu yang ia anggap benar kepada orang lain. Karena keesaan Tuhan adalah kemutlakannya. Ketiadaan sesuatu yang memiliki kebenaran mutlak selain diri-Nya meniscayakan kebenaran yang relatif bagi seluruh makhluknya.

Dari prinsip-prinsip tauhid di atas setiap manusia memiliki hak penuh untuk kebebasan pribadinya dan menentukan kebenarannya tanpa ‘intimidasi’ dari manusia lain. Dengan kebebasan pribadinya, manusia berhak menentukan secara sadar dan bertanggung jawab atas pilihannya yang baik dan yang buruk. Tuhan pun sepenuhnya memberikan kebebasan kepada setiap manusia untuk menentukan pilihannya untuk menerima atau menolak petunjuk-Nya, tentunya dengan risiko yang akan ditanggung oleh manusia itu sendiri berdasarkan pilihannya.

Penutup

Dari sekian banyak pemikiran yang telah ditawarkan oleh Cak Nur, bagi saya yang pada awalnya cenderung memahami tauhid secara sempit, tawhid adalah pemikiran beliau yang paling berpengaruh dan seakan-akan relevansinya tak akan pernah surut ditelan oleh masa. Bila kita mengamati seluruh fenomena keagamaan yang terjadi saat ini maupun yang akan datang seperti klaim kesesatan terhadap aliran-aliran tertentu seperti kemunculan nabi-nabi baru dan Jama’ah Ahmadiyah di negara kita adalah sebuah pemaksaan kebenaran yang bertentangan dengan konsep tauhid yang dimaksudkan oleh Cak Nur. Apabila konsep tauhid yang ditawarkan olehnya dapat kita hayati bersama niscaya persoalan tentang klaim kesesatan terhadap kelompok-kelompok tertentu seperti nabi-nabi baru dan Jama’ah Ahmadiyah dapat teratasi dengan mudah tanpa ada pihak-pihak yang dirugikan.

Friday, 26 September 2008

Hati, Diri, dan Jiwa

7 comments:
Perbincangan mengenai psikologi sufi tidak pernah surut ditelan masa walaupun bagi sebagian orang yang hidup di jaman modern hal tersebut tidak terlalu signifikan dan cenderung memuakkan. Karena, gaya hidup yang ada di jaman tersebut adalah gaya hidup yang serba rasional dan sekular seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi. Padahal, kenyataannya orang yang hidup di jaman modern yang serba rasional dan sekular yang ditopang oleh perkembangan teknologi dan informasi tidak dapat melepaskan belenggu dirinya dari kebutuhan terhadap dimensi spiritualitas yang kita sebut sebagai psikologi sufi.

Psikologi sufi, merupakan bagian dari perkembangan disiplin pengetahuan tasawuf (tashawwuf) dalam Islam. Pengetahuan tersebut adalah salah satu dari empat pilar disiplin pengetahuan dalam Islam yang harus dikuasai oleh umatnya. Empat pilar pengetahuan tersebut adalah fikih (fiqh), kalam (kalâm), filsafat (falsafah), dan tasawuf (tashawwuf) (Nurcholish Madjid, 1992: 205). Sesuai dengan disiplinnya, tasawuf memiliki tingkatan teratas karena dalam pengertiannya yang universal tasawuf mencakup dimensi mistik dan mengakui kebenaran mendasar dari seluruh agama. Agama bagaikan sebatang pohon yang berakar pada amalan-amalan dan memiliki dahan-dahan mistisisme serta berbuah kebenaran. Oleh karena itu, orang yang telah berhasil mencapai tingkatan ini selalu mencari persamaan daripada perbedaan.

Hati, Diri, dan Jiwa: Psikologi Sufi untuk Transformasi, terj. Hasmiyah Rauf (Jakarta: Serambi, 2005) adalah sebuah buku yang telah ditulis oleh seorang mursyid sufi dan profesor psikologi pada Institute of Transpersonal Psychologi, California, Robert Frager, mengulas komparasi tajam antara psikologi Barat dan psikologi sufi yang menjelaskan secara tegas bahwa tasawuf merupakan pendekatan holistik yang mengintegrasikan fisik, psikis, dan spirit serta membimbing jiwa untuk tidak terjebak ke dalam bahaya model yang linear dan dan hirarkis, yang cenderung mengesampingkan dan membenarkan penindasan terhadap kaum perempuan dan minoritas. Tasawuf adalah disiplin pengetahuan (spiritual) yang dapat dimiliki oleh budaya, siapa pun, kapan pun, dan di mana pun.

Dalam buku tersebut, Robert Frager menjelaskan pengertian masing-masing dari hati, diri, dan jiwa. Kita terkadang keasyikan dalam mendengarkan lagu atau dalam percakapan sehari-hari mengatakan tiga hal tersebut tanpa mengetahui pengertian atau definisi masing-masing. Berbicara tentang hati, berbicara tentang diri, dan berbicara tentang jiwa tanpa mengetahui perbedaan pengertian dari ketiganya bagaikan “tong kosong nyaring bunyinya”. Bagi saya, buku Hati, Diri, dan Jiwa: Psikologi Sufi untuk Transformasi ini adalah sebuah buku yang teramat menarik untuk dibaca. Penjelasan tentang isi buku tidak membosankan karena disertai dengan cerita-cerita sufistik yang lucu namun kelucuan cerita-cerita sufistik tersebut tidak mendistorsi hikmah maupun pesan yang hendak disampaikan kepada para pembaca.

Hati dijelaskan sebagai sesuatu yang identik dengan spiritualitas. Ketulusan, niat baik, belas kasih, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan spiritualitas bersumber dari hati. Maka, kita cenderung mengatakan bahwa orang yang tidak memiliki ketulusan, niat baik, belas kasih, dan lain sebagainya tidak memiliki hati. Dalam psikologi sufi, hati memiliki kecerdasan dan kearifan terdalam. Kecerdasan yang dimiliki oleh hati lebih mendalam dan mendasar daripada kecerdasan yang kecerdasan yang cenderung abstrak, yang dimiliki oleh akal kita. Hati juga menyimpan roh ilahiah. Karenanya, bagi para sufi hati adalah kuil Tuhan dan rumah cinta. Semakin kita menggunakan hati kita untuk belajar mencintai orang lain, kita semakin mampu mencintai Tuhan.

Sedangkan diri atau nafs dalam psikologi sufi adalah sebuah aspek psikis pertama yang menjadi musuh kita. Tapi, nafs bisa menjadi teman yang sangat berharga bagi kita dan tak terhingga nilainya. Secara sederhana nafs memiliki beberapa tingkatan. Tingkat terendah adalah nafs tirani. Ia merupakan nafs yang dapat menjauhkan kita dari spritualitas. Pada sisi yang lain, tingkat tertinggi adalah nafs yang suci. Pada tingkat ini, kepribadian mencapai tingkat yang optimal bagaikan mencapai tingkat kesempurnaan yang dapat memantulkan cahaya Ilahi.

Terakhir, jiwa. Dalam psikologi sufi, jiwa diidentikkan dengan sesuatu yang selalu berevolusi. Jiwa memiliki tujuh aspek: mineral, nabati, hewani, pribadi, insani, rahasia, dan maharahasia. Setiap aspek memiliki penjelasan masing-masing dan ditulis dalam bab khusus. Namun secara umum, ketujuh aspek jiwa tersebut dapat dicapai secara bertahap dan tasawuf bertujuan agar ketujuh tingkat kesadaran ini bekerja secara seimbang dan harmonis.

Tasawuf memberikan pendekatan yang sangat holistik, sehingga jiwa terhindar dari bahaya model linear dan hirarkis yang digunakan untuk pembenaran dalam melakukan penindasan terhadap kaum perempuan dan minoritas. Ketujuh aspek jiwa kita mampu mengintegrasikan fisik, psikis, spiritual. Aspek kehidupan fisik kita ditopang oleh kearifan mineral, nabati, dan hewani sejak dahulu kala. Fungsi psikis kita berakar dari jiwa pribadi. Sedangkan, jiwa insani, jiwa rahasia, dan jiwa maharahasia berada dalam hati spiritual. Jiwa insani adalah tempat kasih sayang dan kreativitas. Jiwa rahasia adalah tempat berzikir kepada Tuhan dan jiwa maharahasia adalah percikan ilahiah yang tak terbatas.

Demikian, Robert Frager menjelaskan pengertian tentang hati, diri, dan jiwa. Penjelasan yang begitu sederhana namun memiliki pengertian yang teramat dalam. Selain menjelaskan hati, diri, dan jiwa, ia juga menjelaskan berbagai amalan tasawuf, bagaimana hubungan antara syekh dan darwis untuk bimbingan spiritual dalam tasawuf, dan menyingkap tabir, yang mungkin penjelasan tentang hal-hal tersebut tidak dapat diuraikan dalam tulisan yang sangat sederhana ini dan memiliki banyak kekurangan. Akhirnya, hanya kepada Allah kita berserah diri. Wa Allâh-u a‘lam bi ‘l-shawâb

*Tulisan ini telah dimuat di Tabloid al-Shahifah DKM Universitas Paramadina, Edisi Ramadhan 1429 H./01/IX/2008 M.

Friday, 19 September 2008

Gerakan Pembaruan Islam Awal di Minangkabau

2 comments:

Kira-kira pada akhir abad ke-18/19 orang-orang Islam di Indonesia mulai menyadari bahwa mereka tidak mampu untuk berkompetisi dengan pihak-pihak yang mempunyai dukungan dan kekuasaan dari kolonialisme Belanda, menetrasi gerakan-gerakan yang dilancarkan oleh para penganut agama Kristen dan perjuangan untuk maju di masa depan apabila mereka tidak melakukan pembaruan-pembaruan dan terus melanjutkan praktek-praktek yang bersifat tradisional dalam mengembangkan, membangkitkan, dan menegakkan Islam.

Mereka mulai menyadari bahwa pentingnya perubahan-perubahan inovatif, apakah dengan cara menggali kembali khazanah intelektual Islam pada abad pertengahan yang mampu mencapai masa keemasannya dalam peradaban sehingga berpotensi untuk mengungguli peradaban-peradaban lain yang ada di dunia (salah satunya adalah dari segi ilmu pengetahuan) ataukah dengan cara mengadopsi metode-metode lain yang dipakai oleh negara-negara kolonial yang menguasai Indonesia dan para missionaris Kristen.

Kegelisahan inilah yang melatarbelakangi umat Islam di Indonesia untuk melakukan pembaruan dengan merekonstruksi pemikiran-pemikiran keagamaan yang sedang berkembang dan mengakar saat itu. Mau tidak mau, mereka harus menyadari betapa mereka tertinggal dari umat-umat yang lain dalam hal pengetahuan, infrastruktur masyarakat, dan lain sebagainya.

Setidak-tidaknya, ketika kita berbicara tentang “Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia”, kita harus memulai dari salah satu daerah yang terdapat di kepulauan Sumatera Barat yaitu Minangkabau, mengingat pentingnya peranan daerah tersebut dalam penyebaran gerakan-gerakan pembaruan ke daerah-daerah lain yang ada di Indonesia. Tapi juga, karena di daerah inilah terdapat berbagai indikasi dari gerakan-gerakan pembaruan yang ketika itu daerah-daerah lain di Indonesia merasa puas dan berkecukupan dengan gerakan-gerakan tradisional yang masih mereka lakukan. Maka dalam tulisan ini, akan diulas aspek-aspek penting dalam “Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia” – walaupun sukar untuk dikategorikan sebagai sebuah ulasan yang sempurna dan komprehensif – hal-hal yang kira-kira meliputi asal usul dan pertumbuhan dari gerakan-gerakan pembaruan di daerah tersebut.

Minangkabau, Tempat Para Pembaru Awal

Seperti yang telah diungkapkan di atas bahwa daerah yang paling memiliki peranan dalam pembaruan-pembaruan pemikiran Islam di Indonesia adalah Minangkabau yang terletak di kepulauan Sumatera bagian barat. Banyak sekali tokoh-tokoh pembaruan Islam yang berasal dari daerah tersebut, dari mulai Syaikh Ahmad Khatib, Agus Salim, sampai M. Natsir dan lain sebagainya dilahirkan dan dibesarkan di sana.

Dari sekian tokoh-tokoh tersebut Syaikh Ahmad Khatib adalah pembaru pertama, yang lahir pada tahun 1855 di Bukittinggi, di tengah-tengah keluarga yang kental dengan tradisi keagamaan dan adat istiadat yang kuat. Ia adalah seorang yang telah memperoleh pendidikan rendah namun mampu belajar ke Mekkah pada tahun 1876, di mana ia mendapatkan gelar yang tertinggi selaku imam besar dari mazhab Syafi’i di Masjidil Haram dan merupakan salah satu dari jaringan ulama internasional. Melalui dirinya pembaruan pemikiran Islam di Indonesia bermula.

Dikarenakan ia seorang penganut mazhab Imam Syafi’i maka ia tak kuasa untuk berpaling darinya atau meninggalkannya. Pemikiran keagamaannya cenderung berseberangan dengan para pembaru lain yang berasal dari Timur Tengah, khususnya Mesir, yang terwakili oleh Muhammad Abduh. Namun, walaupun begitu adanya, ia tidak pernah melarang murid-muridnya untuk membaca karya-karya dari Muhammad Abduh dengan tujuan agar mereka menolak pandangan-pandangannya berdasarkan pada pemahaman mereka sendiri terhadap agama. Sedangkan mengenai permasalahan-permasalahan yang terjadi di Minangkabau, Syaikh Ahmad Khatib terkenal sangat menolak aliran Thariqat Naqsyabandiyah dan peraturan pembagian hak waris yang berlaku di masyarakat karena menurutnya sudah tidak sejalan dengan pesan inti ajaran Islam. Kedua hal ini menjadi polemik/perdebatan yang terus menerus diperbincangkan oleh para pembaru lain di masanya.

Para pembaru lain di Minangkabau adalah Syaikh Thaher Djalaluddin yang mencoba melakukan gerakan-gerakan pembaruan dengan cara dengan menerbitkan majalah yang bernama Al-Imam berisi tentang isu-isu kontemporer seputar dunia Islam agar dapat meyakinkan dan membangkitkan semangat umat Islam bahwa mereka tidak ketinggalan dan mampu berkompetisi dengan Barat, serta mendirikan sekolah yang bernama Al-Iqbal al-Islamiyah di Singapura bersama Raja Haji Ali bin Ahmad.

Selain Syaikh Thaher Djalaluddin, ada juga beberapa tokoh pembaru Islam di Minangkabau seperti Syaikh Muhammad Djamil Djambek (disingkat Syaikh Djambek), yang telah dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1860. Ia – tidak berbeda jauh dengan Syaikh Ahmad Khatib – telah memperoleh pendidikan dari Mekkah. Setelah kembali dari sana ia memberikan pelajaran-pelajaran agama dengan memanfaatkan cara-cara tradisional. Tepatnya pada tahun 1913 ia mendirikan sebuah organisasi yang bernama Tsamaratul Ikhwan di Bukittinggi dengan tidak berorientasi untuk mencari keuntungan.

Setelah Syaikh Djambek ada Haji Abdul Karim Amrullah yang biasa dipanggil dengan Haji Rasul. Ia dilahirkan di Maninjau pada tahun 1879. ia memperoleh pendidikan elementer tradisional dan tepatnya pada tahun 1894 ia berangkat ke Mekkah untuk belajar di sana. Setelah kembali dari sana ia mengajar ke berbagai daerah di Minangkabau tanpa terikat dengan suatu tempat tertentu.

Kemudian ada Haji Abdullah Ahmad yang lahir di Padang pada tahun 1878. Ia adalah seorang ulama muda yang berpendapat bahwa dulu ketika ia belum bergerak bersama kawan-kawanya masayarakat telah diperosokkan ke limbah kesengsaraan oleh guru-guru dan pedagang-pedagang yang tidak benar (Abdullah, 1987: 88). Dengan alasan itulah ia melakukan pembaruan pemikiran Islam dengan mendirikan berbagai majalah yang di antaranya adalah Al-Munir, Al-Akhbar, dan lain sebagainya.

Penutup

Apabila kita mengamati perjuangan dari para pembaru awal di Indonesia maka kita bisa belajar bahwa perjuangan yang telah dilakukan didorong oleh realita sosial umat Islam ketika itu yang menuntut pencerahan. Gerakan-gerakan pembaruan tersebut dapat menjadi motivasi bagi kita untuk tetap mempertahankan tradisi-tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi-tradisi baru yang lebih baik, untuk tetap memelihara gagasan-gagasan lama yang baik dan mengambil gagasan-gagasan baru yang lebih baik demi kepentingan umat Islam.

Para pembaru Islam yang ada di seluruh pelosok dunia memiliki corak pemikiran masing-masing namun permasalahan yang dihadapi cenderung sama yaitu ketertinggalan umat Islam dari umat-umat lain. Relasi antara para pembaru Islam di Indonesia dengan para pembaru Islam di Timur Tengah saling menginspirasi satu sama lain. Para pembaru Islam di Indonesia terinspirasi dari para pembaru Islam dan sebaliknya. Wallahu a‘lamu bi ‘l-shawab

* Tulisan ini telah dimuat di Pendar Pena Nomor 9, Tahun 1, Agustus 2008

Saturday, 6 September 2008

Mereguk Hikmah di Bulan Ramadhan

No comments:
Bulan Ramadhan adalah bulan suci yang selalu dinanti-nanti oleh setiap Muslim di seluruh penjuru dunia. Khususnya di Indonesia (yang mayoritas penduduknya beragama Islam), merupakan sebuah tradisi ketika datang Bulan Ramadhan banyak acara-acara dan iklan-iklan yang ditayangkan di televisi maupun media-media lain untuk menyambut dan memeriahkan bulan penuh hikmah tersebut. Tak lain, itu semua diadakan karena kegembiraan dan kerinduan yang dalam dan tiada tara kepadanya.

Bulan Ramadhan, Bulan Penuh Hikmah

Bulan Ramadhan adalah bulan yang paling istimewa di antara sebelas bulan lainnya bagi umat Islam. Mengapa demikian? Di dalam Bulan Ramadhan banyak sekali hikmah-hikmah yang dapat kita petik. Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa sepuluh hari pertama di bulan tersebut penuh dengan kasih sayang (rahmat), sepuluh hari kedua penuh dengan ampunan (maghfirah), dan sepuluh hari ketiga terhindar dari api neraka (‘itq-un min al-nâr). Bahkan, hasil dari seluruh amal baik yang kita lakukan akan dibalas dengan berlipat ganda oleh Allah swt.

Salah satu keistimewaan dari Bulan Ramadhan adalah turunnya al-Qur’an pertama kali atau yang sering kita kenal dengan istilah Nuzûl-u ‘l-Qur’ân di bulan itu. Seperti yang tercatat dalam QS 02: 185: “Bulan Ramadhan adalah bulan yang diturunkan di dalamnya (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang baik dan yang benar).” Dengan demikian, sudah menjadi tradisi bagi masyarakat kita untuk memperingati Nuzûl-u ‘l-Qur’ân setiap tahun.

Selain itu, ada lagi satu keistimewaan pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan yakni Laylat-u ‘l-Qadr. Ini adalah salah satu momen yang ditunggu-tunggu oleh orang-orang beriman karena ia lebih baik daripada seribu bulan, yang mana pada malam itu para malaikat dengan ijin Tuhannya turun untuk mengatur setiap urusan, maka malam itu penuh dengan kesejahteraan sampai terbit fajar (QS 97: 1-5).

Secara bahasa, Laylat-u ‘l-Qadr berarti “Malam Kepastian” atau “Malam Kemuliaan”, yang terdapat pada malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir di Bulan Ramadhan. Maka, pada malam-malam tersebut setiap Muslim dianjurkan untuk ber-i‘tikâf dengan penuh konsentrasi di masjid untuk memperoleh keberkahan dari malam tersebut. Dan Laylat-u ‘l-Qadr juga adalah malam diturunkannya al-Qur’an. Tapi, di Indonesia ada sebuah tradisi untuk memperingati hari turunnya (permulaan) al-Qur’an yakni Nuzûl-u ‘l-Qur’ân pada tanggal 17 Ramadhan, berbeda dengan waktu adanya Laylat-u ‘l-Qadr. Itulah beberapa hikmah yang dapat kita petik di Bulan Ramadhan, bulan suci yang penuh dengan rahmat, maghfirah, dan ‘itq-un min al-nâr.

Sesungguhnya, banyak sekali hikmah-hikmah yang mungkin belum kita ketahui, tapi hikmah-hikmah tersebut tidak dapat kita petik tanpa menunaikan ibadah-ibadah wajib maupun sunnah di bulan tersebut yang dilandaskan pada keikhlasan dalam mencari ridha Allah swt.

Berpuasa di Bulan Ramadhan

Yang paling esensial dari seluruh ibadah orang-orang beriman adalah berpuasa di Bulan Ramadhan. Puasa adalah sebuah kewajiban yang sudah ada sejak umat-umat sebelum kita dan bertujuan agar kita bertakwa (QS 02: 183). Dan berpuasa di Bulan Ramadhan merupakan sebuah pelatihan kita dalam beribadah kepada Sang Pencipta yang memiliki dampak personal maupun sosial.

Puasa dalam bahasa Arab berarti al-shawm yang berarti juga al-imsâk. Sedang al-imsâk berarti menahan. Maka puasa adalah menahan diri dari makan, minum, dan segala sesuatu hal yang membatalkannya dari mulai terbitnya sampai tenggelamnya fajar. Namun, jika dikaji lebih dalam lagi berpuasa di Bulan Ramadhan berarti juga menahan diri dari hal-hal yang bersifat negatif dari diri kita sendiri seperti meninggalkan gosip (ghîbah) dan lain sebagainya.

Di samping itu, berpuasa di Bulan Ramadhan memberikan kita latihan untuk menumbuh-kembangkan kesadaran personal yakni berbuat jujur terhadap diri sendiri sebagai bukti kecintaan kita kepada Allah swt. Karena, ibadah puasa bersifat tersembunyi (makhfî) dan tidak pernah ada yang dapat membuktikan jika seorang individu itu berpuasa atau tidak. Maka jelaslah bahwa puasa mendidik kita sebagai orang-orang yang beriman untuk senantiasa bertakwa kepada Sang Pencipta melalui kejujuran terhadap diri sendiri.

Yang tidak kalah penting dari kesadaran personal dalam berpuasa di Bulan Ramadhan adalah kesadaran sosial. Agama Islam adalah agama yang selalu mengajarkan umat untuk senatiasa menumbuh-kembangkan kesadaran sosial dalam bermasyarakat yang salah satunya adalah berpuasa di Bulan Ramadhan. Puasa, selain memberikan kita latihan untuk menumbuh-kembangkan kesadaran personal juga memberikan kita latihan untuk menumbuh-kembangkan kesadaran sosial. Dengan berpuasa kita menahan haus dan lapar yang secara tidak langsung mendidik kita agar ikut merasakan apa yang diderita oleh saudara-saudara kita yang kelaparan dan memiliki keterbatasan usaha. Dengan demikian, kita mampu menyadari bahwa penderitaan tersebut harus dihilangkan secara bersama sebagai bukti kesadaran sosial kita dalam berpuasa.

Kesimpulan

Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh hikmah. Berpuasa di Bulan Suci tersebut merupakan sebuah kewajiban yang memiliki makna yang dalam dan dampak personal serta sosial yang tinggi. Semua umat Islam selalu bergembira menyambut kedatangannya dan selalu meningkatkan volume ibadahnya agar dapat meraih hikmah dan keberkahan di dalamnya. Tapi, hikmah maupun berkah dari Bulan Ramadhan tidak hanya dapat kita raih pada bulan suci tersebut melainkan hikmah maupun berkah dari Bulan Ramadhan juga dapat kita raih pada sebelas bulan lainnya. Peningkatan volume ibadah kita di Bulan Ramadhan bisa menjadi sebuah berkah yang sesungguhnya apabila kita tetap mempertahankannya di sebelas bulan lainnya.

*Tulisan ini telah dimuat di Buletin Jumat al-Shahîfah DKM Universitas Paramadina, Jakarta

Tuesday, 29 July 2008

Islam dan Barat dalam Perspektif Pemikiran Nurcholish Madjid (1939-2005 M)

4 comments:
Islam adalah agama peradaban. Salah satu bukti nyata yang menunjukkan bahwa Islam agama peradaban adalah perkembangan ilmu pengetahuan yang telah memberikan kontribusi besar terhadap peradaban lain, salah satunya peradaban Barat. Perkembangan ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam merupakan sebuah masa keemasan yang tiada bandingnya karena faktor yang paling penting dalam membangun basis peradaban adalah ilmu pengetahuan yang didasarkan pada keterbukaan.

Peradaban Islam, Peradaban Ilmu Pengetahuan

Seorang Cendekiawan Muslim dan juga Guru Bangsa kita, Nurcholish Madjid (yang akrab disapa dengan Cak Nur) yang telah wafat pada tanggal 29 Agustus 2005 M telah menyumbangkan karya-karyanya yang begitu istimewa dan luar biasa kepada umat Islam di Indonesia untuk diolah kembali agar senantiasa mereka meneruskan ide-ide pembaruannya untuk membangun kembali peradaban Islam.

Cak Nur (1992) dalam karya monumentalnya, Islam, Doktrin, dan Peradaban, mengelaborasi secara sistematis pandangan-pandangannya tentang peradaban Islam. Bahkan, ia menerangkan pula bahwa agama Islam selama lima sampai enam abad menjadi pengemban misi utama dalam bidang ilmu pengetahuan di seluruh umat manusia. Keterbukaan yang dimiliki oleh seluruh umat Islam yang berlandaskan kepada al-Qur’ân dan Sunnah (al-Kitâb dan al-Hikmah) pada awal datangnya agama tersebut mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dengan pesat tanpa ada perdebatan yang menyebabkan pertumpahan darah di antara mereka.

Tidak bisa dinafikan bahwa peradaban Islam memberikan kontribusi yang sangat signifikan kepada peradaban Barat meskipun Islam saat ini jauh tertinggal oleh Barat, namun kemajuan Barat itu sendiri saat ini sebagian besar berkat Islam. Nama-nama ilmiah yang masih bertahan untuk dipergunakan di Barat yang sebagian besar berasal dari bahasa Arab seperti dalam bidang matematika dan astronomi, kedokteran, logika dan metafisika, dan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya mengafirmasi hal tersebut (Montgomery Watt, 1972).

Nama penting pertama dalam bidang matematika dan astronomi adalah al-Khawârizmî yang di kalangan para sarjana Latin dikenal dengan Algorismus atau Alghoarismus. Dari namanya lah diambil istilah algorisme/algoritma. Dua nama matematikawan lain yang karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin adalah al-Nayrîzî atau Anaritius dan Ibn al-Haytham atau Alhazen.[1]

Kemajuan ilmu pengetahuan yang membangun basis peradaban Islam itu terwujud karena sikap keterbukaan yang dimiliki oleh seluruh umatnya yang berlandaskan kepada al-Kitâb dan al-Hikmah (seperti yang telah dijelaskan di awal) sehingga filsafat yang berasal dari tradisi Yunani maupun Suryani dan seluruh disiplin ilmu pengetahuan lainnya dapat berkembang dengan sangat mudah sekali.

Peradaban Barat, Peradaban Masa Kini

Saat ini, Barat sedang menikmati masa keemasannya. Kemajuan teknologi dan informasi yang ada di seluruh dunia berkiblat ke sana. Dengan demikian, tak dapat disangkal bahwa peradaban Barat adalah peradaban yang paling maju saat ini. Sepatutnya bagi umat Islam mengakui hal tersebut dengan penuh kelapangan dada. Dalam arti bahwa mereka mengakui kemajuan peradaban Barat di masa ini dengan sepenuh hati tanpa terjebak ke dalam jurang pesimisme untuk membangun kembali peradaban Islam. Sudah saatnya umat Islam belajar dari Barat sebagai langkah awal untuk membangun kembali basis peradabannya sehingga mereka dapat mewujudkan kembali masa-masa romantis maupun keemasan pernah mereka alami.

Permulaan dari kemajuan peradaban Barat adalah pengkajian yang dalam terhadap peradaban Islam di masa silam. Sehingga, Barat mampu menghasilkan produk-produk peradaban mereka yang dapat digunakan oleh seluruh umat manusia di seluruh dunia sampai saat ini. Namun, nampaknya umat Islam saat ini belum cukup terbuka untuk menerima kenyataan tersebut dan hanya berkutat dalam romantisme belaka tanpa ada terobosan maupun aksi yang konkrit untuk membangun kembali peradaban mereka. Seyogyanya bagi umat Islam, mengintrospeksi diri agar senantiasa lebih meluaskan wawasan dan lebih terbuka.

Universitas Paramadina, Universitas Peradaban

Cak Nur dalam membumikan gagasan-gagasannya, pertama-tama, membentuk Yayasan Paramadina dan kemudian mendirikan Universitas Paramadina pada tahun 1998 M. Latar belakang berdirinya universitas tersebut adalah keinginan Cak Nur untuk membangun kembali peradaban Islam. Paramadina berarti perkumpulan peradaban. Dari namanya sendiri, kita paham bahwa itu terkait dengan gagasan-gagasan yang telah ditawarkan oleh Cak Nur dalam karya-karyanya.

Universitas Paramadina didirikan berlandaskan pada al-Kitâb dan al-Hikmah seperti yang terukir dalam lambangnya – kâf dan hâ’ – sebagaimana yang tertulis dalam surat al-Nisâ’ ayat 113: ”Allah menurunkan kepadamu Kitab dan Hikmah dan mengajarkan kepadamu sesuatu yang belum kamu tahu.” Maka, diharapkan bagi seluruh civitas akademik secara umum dan seluruh mahasiswa secara khusus sanggup menjawab seluruh tantangan perkembangan bangsa pada masa depan yang terus berubah serta mampu memberikan kontribusi untuk memperbaiki model pendidikan yang berlaku sambil kemungkinan melahirkan model alternatif melalui pengembangan universitas sebagai pusat penelitian dengan menumbuhkan budaya riset.

Selain itu, Universitas Paramadina mengemban tugas untuk membina ilmu pengetahuan dengan kesadarana akhlak mulia melalui penciptaan lingkungan kampus sebagai pusat ilmu dan budaya, yang memiliki tradisi masyarakat ilmiah kuat dan kreatif yang berkepribadian teguh dan sikap yang menjunjung tinggi kebebasan mimbar akademik dengan tujuan untuk menghasilkan lulusan yang memiliki kedalaman iman, kepekaan nurani, ketajaman nalar, kecakapan berkarya, keluasan wawasan, dan kemandirian jiwa.

Cita-cita Cak Nur begitu agung. Untuk mewujudkan cita-citanya dalam membangun kembali peradaban Islam ia menawarkan gagasan-gagasan yang termuat dalam karya-karyanya dan mencoba untuk merealisasikannya dalam sebuah universitas yakni Universitas Paramadina yang terdiri dari tiga Fakultas – Ilmu dan Rekayasa, Ekonomi dan Bisnis, serta Falsafah dan Peradaban – yang diharapkan dapat menjadi penengah antara peradaban Islam dan peradaban Barat dan menyumbangkan ilmu pengetahuan yang dilandaskan pada keluasan wawasan dan keterbukaan.

Keluasan wawasan dan keterbukaan yang dijunjung tinggi oleh Universitas Paramadina diharapkan mampu mengajak seluruh umat Islam di dunia untuk mengintrospeksi diri agar senantiasa lebih mengembangkan sikap keterbukaan dalam bidang ilmu pengetahuan sebagai basis awal dalam membangun sebuah peradaban. Wa Allâh-u a‘lam bi ‘l-shawâb


*Tulisan telah dimuat di International Relation Media Center (IRMC) Universitas Paramadina
__________________
[1] W. Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan, terj. Hendro Prasetyo (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm. 47-50.

Wednesday, 28 May 2008

Musyawarah Besar Para Tikus

3 comments:
Di dalam sebuah kota, terdapat satu rumah yang begitu indah yang dimiliki oleh seorang kaya raya. Sehingga, setiap orang yang berkunjung ke sana dan masuk ke dalam rumahnya seakan-akan melihat sesuatu yang indah dari surga karena tata ruang rumah tersebut bagaikan sebuah istana yang megah.

Tapi, tak disangka di dalam rumah tersebut juga terdapat seekor kucing dan sekelompok tikus.

Alkisah, para tikus merasa tertindas dan ketakutan karena satu persatu dari mereka hilang entah ke mana. Tapi kemungkinan besar, menurut mereka, dibunuh dan dimakan oleh seekor kucing yang hidup berdampingan dengan mereka.

Akhirnya, mereka pun berinisiatif untuk mengadakan musyawarah besar demi mempertahankan kelangsungan hidup mereka di dalam rumah yang begitu megah. Musyawarah besar dimulai oleh pemimpin para tikus.

Dalam prosesnya, ada perdebatan panjang hampir tak berujung yang membuat mereka kebingungan dalam memecahkan masalah sehingga salah satu dari mereka mengacungkan tangan untuk menginterupsi.

“Kita tahu bahwa kucing itu telah membunuh satu persatu dari kita dan mengancam keberlangsungan hidup kita. Maka, saya mengusulkan untuk menggantungkan lonceng di lehernya sehingga setiap ekor dari kita tahu bahwa suara lonceng adalah sebuah tanda dari kedatangan kucing.”

Secara spontan, pemimpin para tikus menanggapi usulan tersebut dan berkata, “Usulan anda benar tapi siapa dari kita yang mau menggantungkan lonceng.”