Thursday, 30 December 2010

PSSI dan Naturalisasi

No comments:
Ternyata perjalanan (Timnas) Indonesia di Piala AFF Suzuki 2010 sejauh ini tak begitu mulus. Optimisme yang tadinya membentang pun untuk mengganyang Malaysia di final telah sirna begitu saja. Sesuai dengan prediksi, Malaysia tentunya tidak akan tinggal diam dan telah memperbaiki performa mereka di pertandingan sebelumnya. Dan itu pun terbukti dengan kesuksesan mereka mengganyang Indonesia di Stadion Bukit Jalil dengan skor 3-0 dan 1-2 di Stadion Gelora Bung Karno (SGBK).

Walaupun Indonesia gagal meraih gelar juara, kebanggaan tetap disematkan kepada mereka dan tuntutan mundur tetap disematkan pula kepada Nurdin Halid. Para suporter berbondong-bondong membawa spanduk yang menuntutnya untuk turun. Memang tak bisa dinafikan bahwa capaian Firman Utina dan kawan-kawan saat ini tidak lepas dari kontribusi dua pemain naturalisasi, Cristian “El Loco” Gonzales dan Irfan Bachdim. Kolaborasi kedua pemain tersebut mampu mengoyak-oyak pertahanan lawan. Sehingga, gol demi gol dapat tercipta dengan baik dan meyakinkan. Bahkan, di pertandingan melawan Filipina pada leg pertama semifinal El Loco mempersembahkan gol semata wayangnya untuk rakyat Indonesia.

Selain itu, langkah Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) mengontrak pelatih asal Austria, Alfred Riedl, tidak sia-sia. Kedisiplinan para pemain yang diterapkan dan kecerdasan Riedl meracik skuad dan menyusun pola permainan Indonesia menjadi kebanggaan tersendiri. Bahkan, Riedl tak segan-segan memberikan denda kepada pemain yang tidak berdisiplin. Menurutnya, kedisiplinan merupakan sebuah kekuatan dari metode kepelatihannya. Walaupun Indonesia gagal, dengan mengandalkan pola kedisiplinan dan kecerdasannya cita-cita Indonesia untuk meraih prestasi lebih tinggi di masa depan masih memiliki harapan.

PSSI dan Naturalisasi

PSSI yang diketuai Nurdin Halid sejauh ini belum menunjukkan kesuksesannya. Kegagalan Indonesia menambah ketidakpercayaan publik terhadap PSSI. Proses naturalisasi pemain yang dilakukan memang memberikan hasil yang memuaskan. Namun, itu terkesan instan dan PSSI cenderung mengabaikan proses kaderisasi para pemain muda lokal. Padahal, yang terpenting adalah penanaman bibit-bibit unggul yang akan meneruskan perjuangan Indonesia ke pentas sepakbola yang lebih tinggi: Piala Asia dan Piala Dunia.

Selama ini Indonesia belum pernah masuk putaran final Piala Asia, apalagi Piala Dunia. Indonesia biasanya lebih dulu tersingkir di babak kualifikasi. Pola permainan yang monoton dan stamina yang terbatas selalu menjadi kendala bagi semuanya. Walaupun demikian, tidak ada kata terlambat bagi PSSI untuk menanam bibit-bibit unggul yang akan meneruskan perjuangan Firman Utina dan kawan-kawan di masa yang akan datang.

Sepakbola merupakan sebuah olahraga paling disukai di dunia. Setiap pertandingan memiliki dua puluh dua pemain yang terbagi dua tim dengan satu bola yang menjadi concern. Sehingga, pemain yang membawa bola dapat menunjukkan talentanya mengolah si kulit bundar dengan indah dan atraktif. Bermodalkan talenta mengolah si kulit bundar dengan atraktif, setiap pemain mampu menyihir para penonton untuk ikut terlibat dalam emosi permainan. Maka tak heran, Piala Dunia―yang melibatkan seluruh negara di dunia―adalah sebuah momen yang menjadi kebanggaan tersendiri bagi setiap bangsa. Luapan emosi pun tidak lagi menjadi sesuatu yang asing.

Di samping itu, sepakbola juga menjadi olahraga favorit di Indonesia. Bahkan, sejak awal berdirinya bangsa ini sepakbola selalu menjadi tren masyarakat. Indonesia sebagai sebuah negara yang terdiri dari berbagai suku, bangsa, dan bahasa, memiliki ratusan juta jiwa dari Sabang sampai Meraoke (yang berjajar pulau-pulau). Dengan mengingat sepakbola sebagai sebuah olahraga paling diminati, kemungkinan besar itu akan dilakukan setiap hari di pelosok negeri. Sebab, di atas hamparan tanah yang luas pun tanpa garis pembatas dan bermodalkan satu bola setiap orang dapat mengambil bagian untuk bermain.

Hal di atas menunjukkan tanda positif bagi PSSI. Dengan begitu, naturalisasi bukanlah satu-satunya jalan keluar untuk mendongkrak prestasi Timnas kita. Proses pengkaderan berorientasi pada kepentingan jangka panjang. Sedangkan, naturalisasi cenderung instan dan tidak bisa diterapkan seterusnya. Dengan kata lain, PSSI saat ini harus memikirkan orientasi Timnas untuk jangka panjang yang hanya dengan kaderisasi dapat dicapai.

Paling tidak, ada dua pola kaderisasi untuk mencetak pemain-pemain muda lokal berbakat yang akan menggantikan Firman Utina dan kawan-kawan di masa depan. Pertama, dengan membenahi infrastruktur yang ada. Dalam hal ini, pembenahan sarana-sarana yang menunjang kemajuan persepakbolaan tanah air dan mengoptimalkan semua sekolah sepakbola yang ada begitu penting, terutama lapangan latihan. Kurangnya kenyamanan lapangan latihan mengganggu pola yang dilakukan. Bahkan, Riedl meminta secara langsung kepada Presiden renovasi lapangan latihan tersebut. Dan tanpa pembenahan infrastruktur, harapan untuk menuju ke arah yang lebih baik akan sirna begitu saja.

Kedua, menanam bibit–bibit unggul di setiap pelosok negeri dengan mengoptimalkan sekolah sepakbola yang ada. Saat ini penyebaran sekolah sepakbola di Indonesia belum cukup merata. Jumlah sekolah sepakbola di Pulau Jawa lebih dominan dibanding yang lain. Hal ini juga patut mendapatkan perhatian khusus. Belum meratanya penyebaran sekolah sepakbola di Indonesia akan menyulitkan proses perekrutan pemain-pemain muda lokal berbakat. Dan untuk memberikan kemudahan, pemerataan adalah jalan satu-satunya.

Pada hakikatnya, Indonesia yang begitu luas secara geografis memiliki sumber daya manusia (SDM) yang memadai. Dalam hal sepakbola, PSSI tentunya tidak perlu khawatir dengan kekurangan bibit-bibit unggul. Masalah tersebut dapat diatasi dengan ketulusan niat dari para pejabatnya untuk memperbaiki sistem yang berlaku dengan melakukan kedua langkah di atas. Sehingga, proses pembibitan pun menjadi kebutuhan dalam jangka panjang dan naturalisasi bukanlah satu-satunya solusi. Lebih dari itu, cita-cita PSSI untuk menjadikan sepakbola sebagai kebanggaan nasional pun juga dapat tercapai.

Friday, 17 December 2010

Membaca Jalan Raya Pos, Jalan Daendels

No comments:
Pramoedya Ananta Toer (Pram) telah menghabiskan hampir separuh hidupnya di dalam penjara—3 tahun dalam penjara kolonial, 1 tahun di Orde Lama, dan 14 tahun di Orde Baru. Separuh hidupnya yang hampir dihabiskan di dalam penjara, tidak membuatnya berhenti sedikit pun untuk menulis. Baginya, menulis adalah tugas pribadi dan nasional. Dan Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (Jakarta: Lentera Dipantara, 2007) merupakan salah satu karyanya.

Buku tersebut menceritakan pembangunan jalan yang diprakarsai Daendels, yang membentang seribu kilometer sepanjang utara Pulau Jawa, dari Anyer sampai Panarukan. Daendels adalah seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda tahun 1808 yang diangkat Raja Belanda Louis Nepoleon, adik Kaisar Perancis Napoleon Bonaparte yang ketika itu menduduki Belanda. Tugasnya mempertahankan Hindia Belanda dari kemungkinan direbut Inggris dari India.

Karya Pram yang satu ini merupakan sebuah kesaksian, kesaksian tentang peristiwa genosida kemanusiaan paling mengerikan. Dan ini merupakan salah satu kisah tragedi kerja paksa terbesar sepanjang sejarah di Hindia Belanda. Pram menuturkan sisi paling kelam pembangunan jalan yang beraspalkan darah dan air mata semua manusia Pribumi. Membacanya menjadikan pembaca terhanyut dalam bacaannya.

Gaya penulisan yang dimiliki Pram dapat menghanyutkan pembaca untuk merasakan lebih dalam tragedi yang disampaikan. Sehingga, pembaca pun akhirnya larut dan seakan-akan ikut terlibat di dalamnya. Penuturan yang sistematis memudahkan pembaca memahami alur kisah secara bertahap.

Dalam bukunya, Pram menuturkan kota-kota (yang disinggahi dan yang tidak) secara rinci yang dihubungkan jalan Daendels, seperti Anyer, Cilegon, dan lain sebagainya. Tidak hanya sebatas itu, Pram juga mengungkap kisah-kisah sejarah klasik yang memiliki kaitan historis dengan kota yang dijelaskan, Banten contohnya.

Pada awalnya Banten merupakan bandar penumpukan komoditi perdagangan internasional yang berasal dari seluruh wilayah Kesultanan Banten dan dari tempat-tempat sepanjang Selat Sunda. Persaingan antara Banten dan Batavia sebagai bandar perdagangan internasional tak pernah menyusut. Jadi dalam pemerintahan Gubernur Jenderal van Imhoff, seorang gadis Arab, Fatimah, dipersembahkan Belanda kepada Sultan Arifin untuk diperistri.

Begitu diperistri, Fatimah langsung melakukan aksi-aksi sesuai dengan apa yang dikehendaki Kompeni Belanda. Langkah pertama adalah mengajukan dakwaan bahwa putera mahkota berniat menyerbu istana, membunuh Sultan, dan mengangkat dirinya menjadi Sultan Banten. Karena lebih percaya pada Fatimah, akhirnya putera mahkota ditangkap dan diserahkan kepada Kompeni Belanda untuk dibuang ke Ambon.

Kemudian Fatimah mengangkat kemenakannya sendiri menjadi putera mahkota Banten. Menyadari kekeliruannya, Sultan Arifin kehilangan akal warasnya. Pemberontakan besar pun terjadi. Apalagi masih dalam masa hidupnya kemenakan Fatimah tersebut diangkat menjadi Sultan Banten. Sehingga, Kompeni Belanda dengan mudahnya dapat mengendalikan Kesultanan Banten. Inilah secuil kisah klasik yang telah diungkapkan Pram tentang Banten.

Selanjutnya Pram juga menceritakan pengalaman hidupnya yang terkait dengan kota-kota yang dihubungkan jalan Daendels. Walaupun begitu singkat, pengalaman hidupnya yang diceritakan pasti mengundang tawa pembaca. Kekonyolan dan kecerobohan mewarnai perjalanan hidup si Kandidat Pemenang Nobel Sastra ini.

Inilah komentar singkat dari hasil bacaanku, Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Tentunya pembaca yang lain memiliki komentar berbeda dari hasil bacaannya sendiri. Tapi apa pun komentar dari hasil bacaan itu, buku yang ditulis Pram ini merupakan sumbangan Indonesia untuk dunia.

Friday, 10 December 2010

Makna Hijrah

No comments:
Tahun baru Hijriyah adalah tahun yang membuka semangat baru bagi umat Islam. Di Indonesia perayaannya tidak semeriah perayan Idul Fitri dan Idul Adha. Walaupun demikian, itu tidak mengurangi hikmah yang dapat diambil dari peristiwa hijrah Nabi dari Mekkah ke Madinah. Tahun baru Hijriyah juga memberikan ilham kepada umat Islam untuk mengintrospeksi diri dari masa lalu ke masa depan, dengan harapan di masa depan akan menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Islam sebagai sebuah agama yang mengubah mitos menjadi logos, memberikan pandangan baru tentang sesuatu yang tadinya tidak rasional menjadi rasional. Sebab, Islam adalah agama yang cocok dengan akal manusia (al-mula’im-u li ‘l-‘uqul). Segala sesuatu yang diperintahkan dalam Islam memberikan hikmah, entah hikmah yang dapat kita ketahui secara zahir maupun tidak. Oleh karena itu, Islam selalu mendasarkan setiap ajarannya kepada spirit ukhrawi tanpa harus melupakan spirit dunyawi. Tahun (kalender) Hijriyah adalah salah satunya.

Dalam sejarah Islam tercatat bahwa penentuan kalender/tahun Hijriyah merupakan salah satu keberhasilan dari pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Penentuan tersebut didasarkan pada hijrahnya Nabi Besar Muhammad saw bersama para sahabat dari Mekkah ke/menuju Madinah untuk menghindari tekanan dari kaum kafir Quraisy ketika itu. Sebab, umat Islam ketika berada di Mekkah selalu diperlakukan dengan tidak adil, sehingga mereka berhijrah untuk masa depan yang lebih baik. Pada hakikatnya, peristiwa tersebut mengandung hikmah.

Kata hijriyah atau hijrah di dalam kamus Hans Wehr (A Dictionary of Modern Written Arabic, Third Printing, London: George Allen and Unwin LTD, 1971), diambil dari kata hajar-a–yahjur-u yang berarti to emigrate, to dissociate, etc., yang secara sederhana dalam bahasa Indonesia berarti berpindah dari satu tempat ke/menuju tempat yang lain. Maka, dalam struktur kata bahasa Arab, kata hajar-a harus selalu disertai dengan kata min (dari) dan kata ila (ke/menuju). Contohnya, hajar-a fulan min-a ‘l-syarr-i ila ‘l-khayr, si fulan telah berpindah dari keburukan ke/menuju kebaikan. Dari peristiwa hijrah Nabi Besar Muhammad saw bersama para sahabat kita dapat memetik hikmah bahwa tindakan mereka didasarkan pada keinginan untuk berpindah dari situasi yang buruk (al-syarr) ke/menuju situasi yang baik (al-khayr).

Berdasarkan peristiwa di atas, keinginan untuk berhijrah di dalam Islam harus dilandasi spirit memperoleh kebaikan yang lebih baik dan bermakna. Seorang Muslim hendaknya memaknai hijrah tidak hanya sebatas peristiwa sejarah belaka, tapi juga memaknai hijrah sebagai peristiwa yang mengandung spirit kehidupan bermanfaat.

Seyogyanya, dengan spirit tahun baru Hijriyah ini kita mampu berhijrah dengan ketulusan hati. Sehingga, maknanya dapat diraih dengan sesungguhnya. Kita berhijrah untuk masa depan yang lebih baik, seperti yang telah diteladankan Nabi Besar Muhammad saw.

Wednesday, 16 June 2010

JALAN SUTRA BARU: Dialog Kreatif Islam-Buddha

4 comments:

Tahun 2001 adalah tahun dideklarasikannya dialog antar-peradaban yang dimotori Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Tahun 2001 juga adalah tahun awal dari abad 21, sebuah abad yang menjadi pintu gerbang menuju perdamaian dunia. Setelah ramalan tentang benturan peradaban (Clash of Civilizations) yang ditulis Huntington, bahwa agama memiliki peran penting dalam peradaban (central defining characteristic of civilizations), nampaknya dialog antar-agama menjadi solusi untuk menghindari benturan tersebut.

Dialog antar-agama merupakan sebuah keniscayaan untuk meredam konflik di antara para penganutnya. Sebab, sejarah dunia tidak bisa dilepaskan dari sejarah agama-agama, bahkan semua perang yang tercatat di dalam sejarah hidup manusia, salah satunya disebabkan keyakinan masing-masing umat beragama, walaupun faktor tersebut tidak begitu dominan. Maka, dialog antar-agama memiliki relevansi yang tak lekang oleh masa.

Di samping itu, sejarah agama-agama dunia menunjukkan bahwa dialog antara agama Islam dan agama Buddha sangat jarang sekali. Hal ini disebabkan perjalanan kedua agama tersebut berbeda-beda. Islam sebagai agama yang dibawa Muhammad, lahir di kawasan Timur Tengah pada abad ke-7 Masehi yang secara geografis begitu tandus. Sedangkan Buddha sebagai agama yang dibawa Siddharta Gautama, lahir jauh sebelum Islam tepatnya pada abad ke-6 sebelum Masehi yang tercatat sebagai agama tertua di dunia yang masih dianut sampai saat ini. Karena itu, Jalan Sutra Baru: Dialog Kreatif Islam-Buddha (Bandung: Mizan, 2010) merupakan sebuah terobosan luar biasa untuk menjembatani berbagai ajaran keduanya untuk menemukan sebuah titik persamaan.

Di dalam buku tersebut, ditampilkan rangkaian percakapan antara Islam dan Buddha, diwakili Majid Tehranian dari Iran dan Daisaku Ikeda dari Jepang. Rangkaian percakapan tersebut mencakup tema-tema perjumpaan antara kedua peradaban sejak abad ke-7 sampai saat ini. Ibarat membuka jalan sutra di masa modern, dialog antar-iman bukan hanya diletakkan sebagai cara untuk meningkatkan kehidupan keagamaan, melainkan juga sebagai langkah penting dalam sejarah keagamaan manusia.

Dialog kreatif Islam-Buddha ini memberikan para pembaca pandangan menyegarkan untuk senantiasa mengakui bahwa ada persamaan-persamaan universal di balik perbedaan-perbedaan antar-agama. Bahkan, menurut Daisaku Ikeda, dalam agama yang mengakui keanekaragaman sebagai manifestasi kekuatan yang alamiah, perbedaan akan diterima sebagai kekayaan masyarakat manusia, sebagai kebijaksanaan dalam bentuknya yang paling kreatif dan berharga. Dalam dialog kreatif ini juga, Daisaku Ikeda dan Majid Tehranian berusaha melacak sumber-sumber spiritual yang darinya mengalir tradisi-tradisi Sakyamuni (Buddha) dan Muhammad, tradisi-tradisi Islam dan Buddha, dan untuk menemukan bagaimana agar semangat yang mendasarinya dapat dibangkitkan kembali pada masa sekarang. Maka, di dalam dialog berbagai persamaan dan perbedaan diungkapkan dengan jelas.

Sedangkan, menurut Majid Tehranian, dialog merupakan suatu metode di antara berbagai metode lain dari komunikasi manusia. Setiap metode memiliki aturan-aturannya sendiri. Dialog merupakan tujuan dan sekaligus cara untuk memahami manusia. Dalam komunikasi yang dialogis, kedua narasumber melibatkan orang lain sebagai berbeda namun sama. Mereka mencoba memasuki dunia makna melalui proses komunikasi dan eksplorasi yang bersifat terbuka. Dialog ini didasarkan atas saling menghormati dan saling mempelajari.

Secara garis besar, semua agama menyampaikan pesan universal: kasih-sayang (rahmat), tidak terkecuali Islam dan Buddha. Sebab, dalam dimensi esoterik semua agama cenderung sama dan dalam dimensi eksoterik cenderung berbeda. Islam adalah agama monoteistik yang mana tauhid menjadi landasan utama seluruh ajarannya. Sedangkan Buddha, menurut Ikeda, meski bukan agama monoteistik, memiliki ajaran yang sama dengan Islam. “Bodhisatwa—makhluk yang mendedikasikan dirinya demi kebahagiaan makhluk semesta—mengangkat diri mereka di satu sisi, tetapi di sisi lain, mereka menurunkan diri ke tingkat makhluk yang belum mencapai pencerahan untuk menyelamatkan mereka”. Dengan kata lain, di samping bertujuan mencapai pencerahan, para Bodhisatwa juga berusaha meningkatkan kondisi masyarakat nyata sebagai wadah manifestasi kearifan Buddha sebagaimana zakat di dalam Islam yang pada dasarnya berarti membayar kembali utang-utang kepada Allah, tetapi dalam kenyataan, uang itu digunakan untuk membantu anak yatim, janda, dan orang miskin.

Dengan demikian, spirit dasar kedua agama besar ini adalah untuk mendapatkan dunia yang ideal di bumi, sambil melanjutkan pencarian keilahian. Semangat kemanusiaan menjadi fondasi di dalam keberagamaan para penganutnya.

Last but not least, Islam dan Buddha merupakan dua agama besar di dunia memiliki sejarah panjang masing-masing. Perkembangan kedua agama tersebut memiliki ranah geografis yang berbeda sehingga dalam sejarah agama-agama, Islam dan Buddha relatif tidak berinterakasi secara langsung. Namun, hal tersebut tidak menafikan pentingnya dialog di antara keduanya. Dialog kreatif Islam-Buddha merupakan sebuah langkah untuk menemukan titik-titik persamaan di balik titik-titik perbedaan, sehingga menjadi solusi untuk menuju perdamaian dunia dan menghindari benturan antar-peradaban.

Monday, 31 May 2010

Kejujuran dan Pertemanan

No comments:
Dalam sejarah kehidupan manusia, ada satu tokoh paling berpengaruh di dunia yang sampai saat ini ia selalu dijunjung tinggi dan dikenang para pengikutnya sepanjang masa. Dia adalah Muhammad saw, Nabi Besar kita, yang terkenal dengan kearifannya dan selalu menjadi panutan bagi umat Islam.

Sifat maupun sikap hidup Nabi Muhammad saw penuh dengan kejujuran (al-shidq), amanat (al-amānah), kecerdasan (al-fathānah), dan menyampaikan (al-tablīgh). Karena kejujurannya ia selalu melaksanakan amanat yang diberikan sehingga ketika ia masih muda dan belum mendapatkan risālah ia dianugerahkan gelar al-amīn (orang yang dapat dipercaya dan selalu melaksanakan amanat). Keempat sifat tersebut bersifat integral satu sama lain dan kejujuran adalah pangkalnya.

Dari keberhasilan yang telah dicapai Nabi Muhammad saw di dunia didasarkan pada keempat sifat dimilikinya yang berpangkal pada kejujuran (al-shidq), maka kita dapat menyimpulkan bahwa kejujuran adalah pangkal keberhasilan dalam hidup.

Jujur dalam bahasa Arab berarti al-shidq. Apabila dikaji lebih dalam kata tersebut memiliki makna yang sangat luas. Jujur (al-shidq)—dalam al-Munjid maupun kamus-kamus bahasa Arab yang lain—berasal dari kata shadaq-a yang berarti jujur/benar. Kata tersebut memiliki derivasi kepada shadaqah yang berarti sedekah/berbuat baik dalam al-Qur’an. Seperti yang tercatat dalam surat al-Baqarah ayat 263: “Perkataan yang baik lebih baik daripada berbuat baik yang diikuti dengan perkataan yang menyakitkan dan Allah maha kaya lagi maha penyantun.

Shadaqah yang berasal dari satu rumpun kata dengan al-shidq yang berarti sedekah/berbuat baik dalam al-Qur’an harus dibarengi dengan kejujuran. Ketika kita berbuat baik maka harus ada kejujuran dalam perbuatan baik kita bahwa kita berbuat semata-mata karena Allah swt. Bersedekah adalah perbuatan yang baik/jujur bagi setiap orang, maka ketika ia belum bersedekah niscaya ia belum jujur terhadap dirinya sendiri. Maka, ketika kita berbuat baik sudah sepatutnya ada kejujuran dalam perbuatan kita, entah kejujuran terhadap diri sendiri maupun kejujuran terhadap orang lain.

Selain itu, al-shidq yang berarti jujur/benar memiliki derivasi kata shadāqah yang berarti pertemanan atau persahabatan. Shadīq berarti teman dan shiddīq berarti yang dapat dipercaya (jujur). Ibn Miskawayh, tokoh etika Islam memakai kata shadāqah yang berarti pertemanan atau persahabatan dalam karyanya Tahdzīb al-Akhlāq (Menuju Kesempurnaan Akhlak).

Shadāqah yang berarti pertemanan berasal dari kata al-shidq yang berarti jujur/benar dan shadīq yang berarti teman dengan shiddīq yang berarti orang yang dapat dipercaya berasal dari satu akar kata yakni al-shidq. Maka, dalam pertemanan atau persahabatan harus ada kejujuran dan menjadi seorang teman harus jujur karena kata shadīq (teman) dan kata shiddīq (yang dapat dipercaya) berasal dari kata al-shidq (jujur/benar). Ketika kita mendapatkan seorang teman yang tidak jujur maka sesungguhnya ia bukan teman kita dan ketika kita mendapatkan seorang yang dapat dipercaya maka sesungguhnya ia teman kita.

Itulah makna kejujuran (al-shidq) yang kita kaji secara luas. Semoga kejujuran menjadi prinsip dalam hidup kita sebagaimana yang telah diteladankan Nabi Muhammad saw.

Friday, 16 April 2010

Peran Penting Pendidikan di Indonesia

No comments:
Sebuah bangsa yang benar-benar ingin maju dan bersaing dengan yang lain, sudah sepatutnya setiap orang yang menjadi bagian dari bangsa tersebut mengenyam pendidikan. Pendidikan adalah hak setiap orang dan pendidikan merupakan ruh kebangkitan dan kemajuan sebuah bangsa. Mengingat pendidikan begitu penting bagi bangsa ini dalam setiap sektor kehidupan hendaknya pandangan bahwa pendidikan adalah hak setiap orang tidak hanya sebatas dicita-citakan tapi juga harus mampu diwujudkan.

Pendidikan harus bisa diakses oleh setiap orang kapan pun dan di mana pun. Dengan kata lain, pendidikan tidak memandang usia dan belajar adalah sebuah keniscayaan yang tidak pernah mengenal batas umur. Tak ada titik final untuk belajar dan kalaupun titik final itu ada maka titik final tersebut adalah ajal. Seperti yang disabdakan oleh Nabi Besar Muhammad saw: “Tuntutlah ilmu sejak lahir sampai liang lahad” (al-Hadīst)

Berdasarkan pandangan di atas, pendidikan di Indonesia sudah semestinya menjadi fokus utama untuk dijadikan diskursus yang pada akhirnya dapat diturunkan ke tataran yang lebih praktis. Jadi, perbincangan mengenai pendidikan tidak hanya meliputi hal-hal yang bersifat teoritis tapi juga perbincangan pendidikan harus meliputi hal-hal yang bersifat praktis. Maksudnya, seluruh pengetahuan yang telah didapat tidak hanya cukup dengan teori tapi juga harus dengan praktek yang memadai.

Dengan semangat kebangsaan seluruh warga Negara Indonesia sepatutnya mampu memahami nilai-nilai dasar filosofis pendidikan di Indonesia seperti slogan yang telah diungkapkan oleh Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara: “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”, ungkapan di atas secara harfiah berarti di depan memberi teladan, di tengah membangun kehendak/karya, mengikuti dari belakang memberikan daya. Slogan tersebut adalah sebuah cita-cita yang diharapkan olehnya bagi kita agar senantiasa memahami hakikat pendidikan yang sebenar-benarnya. Pendidikan tidak hanya sebatas pengajaran belaka. Pendidikan tidak hanya di dalam kelas semata. Pendidikan bisa dilakukan di mana saja.

Tulisan sederhana ini akan mengulas secara singkat hakikat pendidikan peran penting pendidikan itu sendiri di Indonesia. Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa saat ini makna pendidikan cenderung tereduksi maka tak heran perbedaan yang signifikan antara pendidikan dan pengajaran secara tidak sadar terlupakan.

Pendidikan dan pengajaran

Indonesia merupakan sebuah bangsa yang berbeda dengan bangsa-bangsa yang lain. Indonesia memiliki ke-bhineka-an yang mungkin hampir tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa yang lain. Kehidupan bangsa Indonesia diwarnai dengan berbagai-bagai suku di berbagai-bagai pulau yang menuntut mereka untuk saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Semangat saling menghormati dan menghargai di dalam bangsa Indonesia ditanamkan tidak hanya melalui pengajaran tapi juga pendidikan.

Berdasarkan hal tersebut, ada perbedaan mendasar antara pendidikan dan pengajaran. Sayangnya, perbedaan antara pendidikan dan pengajaran di Indonesia hampir terabaikan. Secara umum orang mengatakan bahwa pengajaran itu adalah pendidikan. Pada hakikatnya pandangan tersebut kurang tepat. Tetapi yang tepat adalah bahwa pengajaran merupakan bagian dari pendidikan.

Pengajaran secara umum mengandaikan formalitas sedangkan pendidikan tidak mengandaikan formalitas. Artinya, pengajaran terbatas pada sebuah kegiatan yang dilakukan oleh guru dan murid sedangkan pendidikan terkadang tidak membutuhkan hal tersebut. Pendidikan tidak hanya dilakukan di dalam kelas seperti halnya pengajaran. Tetapi, pendidikan bisa dilakukan di mana saja sebagaimana yang telah diungkapkan di atas. Setiap orang bisa menjadi guru dan bisa menjadi murid tanpa terbatas kepada ruang dan waktu.

Pendidikan merupakan ruh kehidupan. Menurut Redja Mudyahardjo (2001), pendidikan dalam definisi luas merupakan hasil dari seluruh pengalaman belajar yang telah berlangsung di mana saja dan kapan saja, di setiap lingkungan dan sepanjang hidup. Dan pendidikan adalah segala situasi hidup yang memengaruhi pertumbuhan individu. Pendidikan tidak pernah mengenal batasan ruang dan waktu, tidak pernah mengenal batasan umur. Sampai akhir hidup setiap orang dituntut untuk menempuh pendidikan. Sedangkan pendidikan dalam definisi sempit adalah sekolah. Pendidikan adalah pengajaran yang diselenggarakan sebagai lembaga formal. Pendidikan adalah segala pengaruh yang diupayakan sekolah terhadap anak dan remaja yang diserahkan kepadanya agar mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh terhadap hubungan-hubungan dan tugas sosial mereka.

Di dalam agama Islam pendidikan tidak hanya sebatas pengajaran. Pengajaran hanya menghasilkan pengetahuan yang didapat dan apabila tidak diamalkan (dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari) yang didapat hanyalah sebatas pengetahuan yang tidak akan teraktualisasi menjadi ilmu. Sebab, pada hakikatnya pengetahuan akan menjadi ilmu apabila diamalkan dalam kehidupan sehari-hari dan apabila tidak diamalkan niscaya bagaikan pohon tanpa buah. Seperti yang disebutkan dalam pepatah, “Ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah”.

Ada sebuah perbedaan yang sangat signifikan antara orang yang berilmu dengan orang yang berpengetahuan. Orang yang berilmu dalam bahasa Arab diartikan dengan `âlim dari akar kata `alim-a sedangkan orang yang berpengetahuan dalam bahasa Arab diartikan dengan `ârif dari akar kata `araf-a. Orang yang tahu akan sesuatu kemudian ia mengamalkan/mengajarkannya kepada orang lain dalam kesehariannya maka ia menjadi seorang `âlim dan orang yang tahu akan sesuatu kemudian ia tidak mengamalkan/mengajarkannya kepada orang lain dan hanya sekadar tahu saja maka ia tidak menjadi seorang `âlim melainkan seorang `ârif. Tentu saja kedudukan seorang `âlim lebih tinggi daripada kedudukan seorang `ârif karena ia lebih berpotensi untuk menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain maupun masyarakat sekitar.

Pendidikan mengandaikan orang yang berilmu yang mau berbuat atas pengetahuan-pengetahuan yang telah didapat sebelumnya. Apapun kurikulum yang dipakai, siapa pun menteri pendidikannya nilai-nilai dasar seperti ini yang harus diterapkan di dalam sistem pendidikan bangsa Indonesia.



Mengembalikan Makna pendidikan


Mengingat makna pendidikan telah hampir tereduksi menjadi hanya sebatas pengajaran alangkah lebih baik bila kita mengembalikan pendidikan ke makna dasarnya. Tujuan pendidikan dalam seluruh ajaran agama khususnya Islam adalah akhlak mulia (noble character). Pendidikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1988) berasal dari kata didik yang memiliki kata kerja mendidik yang berarti memelihara, dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan berarti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan; proses, perbuatan, dan cara mendidik.

Orang yang berpendidikan diharapkan mampu menjadi role model bagi yang lain yang hidup di sekitarnya. Oleh karena itu, pendidikan jangan hanya dipahami dalam definisi sempit tapi juga pendidikan harus dipahami dalam definisi luas. Dalam konteks definisi luas pendidikan setiap orang mampu menjadi pendidik atau mampu menjadi guru paling tidak bagi dirinya sendiri.

Guru/pengawas tidak hanya sebatas pengajar. Guru/pengawas selain mengajarkan pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki ia juga dituntut untuk menjadi pendidik. Setiap orang mampu menjadi pendidik bagi dirinya sendiri dan orang lain. Pendidik tidak hanya sebatas mengajar tapi juga harus mampu mendidik. Pendidikan dan pengajaran memiliki arti yang berbeda – sebagaimana yang telah diungkapkan di atas. Pengajaran hanya sebatas menyampaikan pengetahuan dari seorang pengajar kepada yang diajar. Pendidikan lebih dari itu, pendidikan harus mampu memberikan pembekasan dan pengendapan kepada yang diajar dengan setiap sarana yang ada sehingga mampu memberikan peningkatan kepadanya dari segi badan, akal, dan akhlak. Oleh karena itu, pendidikan tidak cukup disampaikan di dalam kelas tapi juga di luar kelas.

Alam diciptakan oleh Tuhan untuk dijadikan sarana belajar seluruh manusia. Tanda-tanda kekuasaan Tuhan ditujukan kepada seluruh manusia untuk memetik hikmah karena alam adalah juga guru. Sebagaimana yang tertulis dalam QS 03: 190-191: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”

Seorang guru dapat mendidik muridnya melalui alam, dalam arti bahwa seorang guru tidak harus secara lisan mendidik muridnya. Melalui prilaku kehidupan sehari-hari ia mampu mendidik muridnya dengan hal-hal yang baik dan bermanfaat di masa depan. Pendidikan seperti inilah pendidikan yang menjadikan alam sebagai sarananya (alamiah). Sebab, seorang murid tidak cukup hanya mendengarkan gurunya berkata tapi juga ia selalu berharap pendidiknya adalah contoh yang bisa dijadikan sebagai panutan hidup.

Pendidikan yang berkualitas memang membutuhkan biaya mahal. Tetapi, yang paling penting bukanlah pendidikan dengan biaya yang mahal melainkan pendidikan yang didasarkan pada konteks definisi luas pendidikan itu sendiri dan didasarkan dengan spirit keagamaan, berlandaskan kepada nilai-nilai Kitab Suci (al-Qur’an) yang menjadi tuntunan hidup.

Penutup

Menilik sistem pendidikan di Indonesia yang selalu berganti setiap periode kita menyadari bahwa sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia seakan-akan tidak pernah menemukan bentuk yang baku. Sistem tersebut membuat kita mengeluarkan biaya yang lebih untuk berpartisipasi di dalamnya, khususnya ketika pembelian buku paket pelajaran. Tetapi, mungkin juga sistem pendidikan di Indonesia yang selalu diganti didasarkan pada kebutuhan zaman yang selalu berkembang yang menuntut kita untuk dapat bersaing dengan yang lain. Dengan demikian, kita juga harus belajar untuk mempercayakan seluruh perkara kepada pemerintah khususnya dalam masalah pendidikan.

Berdasarkan pemaparan di atas pendidikan memiliki peran penting di setiap bangsa khususnya bangsa Indonesia. Pendidikan adalah modal persaingan sehat yang mencerdaskan setiap peserta didik. Sebab, cepat atau lambat, siap atau tidak Indonesia akan menjadi bagian yang tak terelakkan dari proses globalisasi di segala bidang kehidupan. Revolusi teknologi komunikasi dan transportasi sanggup melelehkan batas-batas negara, bangsa, dan budaya dan akan memaksa kita untuk memikirkan bahkan meninjau kembali pikiran-pikiran tetang pilihan dan tata nilai yang berlaku sebelumnya (Utomo Dananjaya, 2005: 233).

Proses transformasi tersebut tidak bisa dihadapi oleh kita bangsa Indonesia apabila pendidikan yang diterapkan hanya terfokus ke dalam definisi sempit pendidikan. Dengan begitu, pendidikan harus dimaknai ke dalam definisi luas yang memiliki kedalaman visi untuk menatap lebih jauh masa depan kita bangsa Indonesia. Wa Allâh-u a‘lam-u bi ‘l-shawâb

Thursday, 4 March 2010

Islam dan Pluralisme Nurcholish Madjid

No comments:

Nurcholish Madjid (yang akrab disapa Cak Nur [1939-2005]) telah memberikan berbagai penyegaran pemikiran dalam isu-isu soal keislaman. Salah satu gagasan pembaruannya dalam soal tersebut adalah pluralisme yang sering kali menjadi hal kontroversial di kelompok-kelompok Islam yang cenderung tidak setuju.

Pluralisme menurut Cak Nur, adalah sebuah paham yang menganggap adanya kebenaran di agama-agama lain. Sebab, agama yang benar adalah agama yang mengakui keesaan Tuhan (tawhīd), berbeda dengan paham para pengkritiknya yang menganggap bahwa pluralisme adalah paham yang menganggap semua agama itu sama.

Tidak hanya soal keislaman, Cak Nur juga banyak memberikan gagasan baru dalam soal kemodernan dan keindonesiaan. Pluralisme sebenarnya, berangkat dari spirit keagamaan yang dimiliki Cak Nur yang memiliki cakupan luas dalam konteks kemodernan dan keindonesiaan. Pluralisme juga merupakan gagasan yang merespon kemajemukan di Indonesia dan toleransi keberagamaan di masa modern.

Islam dan Pluralisme Nurcholish Madjid (Jakarta: PSIK Universitas Paramadina, 2007) yang ditulis Budhy Munawar-Rachman merupakan sebuah karya yang memadatkan gagasan-gagasan pluralistiknya. Buku tersebut menurut Budhy sendiri, memang diterbitkan isinya persis seperti “Pengantar” dalam Ensiklopedi Nurcholish Madjid, dan pendekatan yang dipakai adalah deskriptif, memaparkan apa adanya secara sistematis pikiran-pikiran Cak Nur terutama pluralisme.

Di bagian awal buku, Budhy menyeru para pembaca untuk membaca kembali pikiran Cak Nur secara utuh dan menyeluruh. Dimulai dengan biografi intelektual, para pembaca hendaknya memahami dengan apa adanya latar belakang perjalanan hidup Cak Nur sehingga dapat dipahami bahwa pikiran-pikiran Cak Nur sama sekali tidak berdiri di atas angin. Namun, pikiran-pikirannya lahir dari kehidupan sosial-keagamaan yang bagi Cak Nur membutuhkan ide-ide penyegaran dan etika al-Qur’an adalah solusi legitimatif untuk menyampaikan ide-ide tersebut.

Di bagian selanjutnya, Budhy merefleksikan gagasan-gagasan Cak Nur sebagai argumen filosofis tentang keimanan demi peradaban. Di bagian ini, pikiran-pikiran Cak Nur dipadatkan ke dalam beberapa hal: 1) agama sebagai pesan; 2) takwa sebagai dasar pengalaman keimanan; 3) banyak jalan menuju Tuhan, dan; 4) ibadat sebagai pengalaman kehadiran Ilahi. Keempat hal ini sudah sering dibahas di berbagai tulisan Cak Nur, namun masih bersifat umum. Budhy berhasil memaparkan pemadatan pembahasan dengan menyajikan kutipan yang diambil dari tulisan-tulisan Cak Nur. Bagi Cak Nur, dalam garis besarnya al-Qur’an itu adalah “pesan keagamaan” yang harus selalu dirujuk dalam kehidupan keagamaan seorang Muslim. Seluruh isi al-Qur’an―bahkan semua Kitab Suci yang pernah diturunkan kepada para nabi―pada dasarnya merupakan “pesan keagamaan” itu.

Di bagian ketiga, Budhy memaparkan pemadatan pikiran-pikiran Cak Nur soal Islam sebagai sumber keinsyafan, makna, dan tujuan hidup. Di bagian ini, pikiran-pikiran Cak Nur dipadatkan ke dalam tataran teologis tanpa mengabaikan aspek-aspek sufisme (tashawwuf). Pembahasan tentang kepribadian kaum beriman dan simpul keagamaan yang membawa makna hidup: istighfar, syukur, dan doa merupakan aspek sufisme yang menekankan “kesadaran Ketuhanan” yang dimaknai dengan kesadaran bahwa Tuhan selalu hadir di setiap amal-usaha hidup manusia. Sedangkan, pikiran-pikiran Cak Nur yang lain dipadatkan ke dalam tataran teologis-eskatologis (masalah Hari Akhir) yang melibatkan ateisme dalam cermin monoteisme, kejatuhan manusia dan konsep khilafah, dan peristiwa-peristiwa keagamaan seperti Isra’ Mi‘raj dan Hijrah Nabi.

Di bagian keempat, Budhy memadatkan pikiran-pikiran Cak Nur tentang Islam dalam tantangan modernitas. Di bagian ini, pikiran-pikiran Cak Nur tentang demokrasi dalam sistem kenegaraan, etika politik, pluralisme, dan keislaman dalam kontek kemodernan dipaparkan dengan detail. Bagi Cak Nur, sepatutnya umat Islam saat ini belajar lagi menjadi modern dengan menghilangkan masalah psikologi: yaitu takut melakukan kontak dengan orang lain (xenophobia).

Di bagian terakhir, Budhy memberikan penutup dengan memadatkan pikiran-pikiran Cak Nur soal pemikiran Islam di kanvas peradaban. Di bagian terakhir ini, pikiran-pikiran Cak Nur tentang peradaban Islam yang dipaparkan Budhy dilatarbelakangi keresahan Cak Nur akan menguatnya kultus dan fundamentalisme di umat Islam. Sebenarnya, pemikiran keislaman Cak Nur yang terefleksi hendak menjawab tantangan Islam dari dua sudut ekstrem ini.

Terakhir, buku ini memang sebuah ringkasan dari pikiran-pikiran Cak Nur yang tertulis dalam Ensiklopedi Nurcholish Madjid sebagai bahan untuk program kampus Nurcholish Madjid Memorial Lecture yang telah diinisiasi oleh Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina dan Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) di tahun 2007. Walaupun demikian, buku ini tetap otoritatif untuk dijadikan pembuka pintu gerbang menuju pemikiran-pemikiran Cak Nur yang utuh dan menyeluruh.